Catatan Eko Prasetyo
Ada sebuah anekdot terkenal tentang polisi. Yakni, di Indonesia hanya terdapat tiga polisi yang tak bisa disuap. Mereka adalah patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng. Tentu saya tidak ingin mengupas tentang polisi di sini, melainkan sosok Hoegeng yang terkenal gigih dalam melawan korupsi itu.
Drs Hoegeng Iman Santoso dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 21 Oktober 1921. Perwira polisi yang sempat menjadi anggota TNI-AL pada masa revolusi tersebut dikenang karena kejujurannya.
Ketika menjadi kepala reskrim di Sumatera Utara, dia ditugasi untuk memberantas smokel, judi, dan korupsi. Meski sebuah tantangan berat, Hoegeng mampu mengemban tugasnya dengan baik. Suatu kali, seorang pengusaha hendak memberikan hadiah bagi Hoegeng. Hadiah itu dikirim langsung ke rumah dinas Hoegeng di Medan. Tentu saja, tujuan pemberian tersebut adalah mohon perlindungan kepada pejabat polisi yang dinilai bisa menjadi backing.
Beberapa saat setelah hadiah itu ditaruh, Hoegeng datang. Dia bertanya kepada istrinya tentang asal barang-barang mewah tersebut. Setelah mendapat penjelasan, Hoegeng meminta segala perabot mewah itu dikembalikan ke pemiliknya. Meski berkali-kali diyakinkan bahwa itu hanya hadiah, Hoegeng bersikeras tak mau menerimanya. "Saya tak mau utang budi atas pemberian ini," tegasnya kala itu.
Sikapnya yang tegas dan keras tersebut membuat Hoegeng begitu disegani. Bahkan, seorang anak buah Hoegeng pernah mengingatkan agar tidak coba-coba menyuap Pak Hoegeng.
Prestasi gemilang Hoegeng berlanjut hingga dia diangkat menjadi menteri iuran negara oleh Bung Karno. Meski sudah menjadi pejabat, ciri khasnya tak hilang. Yakni, tegas dalam memerangi korupsi. Hingga menjadi Kapolri pada zaman Orde Baru pun, Hoegeng tak punya rumah dan mobil pribadi.
Dia baru punya mobil setelah dicopot sebagai Kapolri oleh Soeharto. Pencopotan Hoegeng waktu itu menjadi kontroversi. Sebab, disinyalir Hoegeng dicopot dari jabatannya karena mengurai kasus penyelundupan mobil mewah yang diduga melibatkan keluarga Cendana.
Awalnya, Hoegeng menolak pemberian mobil itu. Namun, setelah diyakinkan oleh Kapolri penggantinya bahwa mobil tersebut adalah hasil "urunan" Kapolri dan para Kapolda, baru Hoegeng mau menerimanya.
Hidup Hoegeng kian sulit setelah pensiun sebagai polisi. Betapa tidak, setelah menandatangani Petisi 50 bersama mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan kawan-kawan, Hoegeng "dimusuhi" oleh penguasa Orde Baru. Mereka dicekal. Pensiunan sebagai Kapolri pun tak diterima secara utuh.
Namun, Hoegeng tidak mau berkeluh kesah. Istri dan keluarganya sangat mendukung dan selalu memotivasi dia. Hidup dalam kesulitan tak membuat Hoegeng rendah diri. Dia menyambung hidup dengan menjual lukisan-lukisannya. Kegigihannya menjadi legenda.
*****
Pendidikan antikorupsi kini didengung-dengungkan. Gemanya ke mana-mana. Hingga dibuatlah sebuah "proyek idealisme": warung kejujuran. Hasilnya? Belum terlalu signifikan. Di sebuah SMA negeri di Tulungagung, misalnya, warung kejujuran terus merugi setelah dioperasikan. Namun, cerita memprihatinkan itu tak selalu mewarnai warung kejujuran. Banyak pula sekolah yang berhasil menerapkan program baik tersebut.
Ketika koruptor di negeri ini makin "berani" melancarkan aksi, banyak yang setuju antikorupsi masuk ke dalam kurikulum sekolah. Agaknya, antikorupsi menjadi agenda yang amat mendesak.
Antikorupsi memang harus diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini.
Saya sangat menyesalkan terjadinya "insiden" memalukan di gedung dewan. Yakni, aksi saling hujak dan olok antara ketua pansus kasus Bank Century dan seorang anggotanya. Begitu gencarnya media mengekspos kejadian memalukan itu. Sehingga saya khawatir "sinetron ala dewan -yang katanya- terhormat tersebut mewabah ke garda depan pendidikan kita, yakni generasi muda.
Memerangi korupsi memang agenda yang besar dan "mahal". Saya sebut mahal karena memusuhi korupsi itu -apalagi secara masal- sangat berisiko. Bisa difitnah, diolok-olok, ditertawakan, bahkan dipenjara.
Maka, cara paling elegan untuk merealisasikan agenda antikorupsi adalah menanamkan pada diri sendiri dulu, kemudian ditularkan kepada eleman lain, termasuk anak didik kita.
Tak mudah memang.
Pasalnya, secara tak sadar, virus korupsi telah menjadi endemi di kalangan pendidik. Jika sudah demikian, tentunya angin korupsi akan semakin kencang menerpa.
Maka, saya sangat mendukung bila Hoegeng bisa dijadikan "pahlawan" dalam menanamkan antikorupsi kepada anak didik kita. Agar anak didik kita tidak hanya mengenal superhero dari luar negeri saja. Agar anak didik kita tak cuma mengelu-elukan budaya Barat yang belum tentu baik. Bisakah?
Graha Pena, 10 Januari 2010
1 komentar:
Sangat setuju, namun sayangnya sosok seorang 'Hoegeng", tidak dimunculkan oleh media, mengapa ...???
Posting Komentar