Catatan Eko Prasetyo
Sebuah undangan pernikahan dari seorang sahabat berhasil menarik perhatian saya. Saya berencana datang ke pernikahannya bersama istri saya. Sebab, kebetulan kami berada di satu kota. Sebenarnya, sahabat tersebut bukan rekan sekantor, bukan pula kawan sekolah saya. Dia mulanya memperkenalkan diri sebagai salah seorang pembaca di sebuah media online.Dia mengatakan sering membaca tulisan-tulisan saya di salah satu rubrik di media itu.
Kalimat-kalimat dalam undangan tersebut tak asing bagi saya. Sangat puitis. Ya, deret kata itu memang bait-bait puisi milik seorang penyair terkenal, Sapardi Djoko Damono. Profesor yang juga guru besar Universitas Indonesia (UI) tersebut dikenal mampu mengurai kata-kata yang sederhana menjadi puisi yang enak dinikmati. Sangat sederhana dan tentu saja bagus! Berikut saya petikkan puisi tersebut.
AKU INGIN
”aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat disampaikan
hujan kepada awan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Damono, 1982)
*****
Beberapa hari belakangan, istri saya kerap mengomel. Sensitif sekali. Jika air di bak kamar mandi kotor, dia menggerutu. Saat saya lupa mengucapkan salam ketika pulang kerja, raut wajahnya sedikit tak sedap. Semuanya saya anggap wajar. Saya tahu bahwa istri saya pasti capek sekali mengurusi rumah tangga. Mulai memasak, mencucikan pakaian saya, membuatkan saya kopi, hingga mendengarkan segala curhat saya.
Saya sangat menghargai omelan-omelan itu. Pasti ada sesuatu yang positif di baliknya. Saya tak pernah berusaha untuk menyanggah dan membela diri ketika istri mengomel. Sebuah pengalaman berharga saya ambil dari seorang rekan kerja. Dia baru saja digugat cerai sang istri. Gara-garanya sepele: tak ada yang mau mengalah ketika sedang terjadi perselisihan antara mereka. Mereka sama-sama merasa benar sehingga tak mau mengalah.
Saya sangat menyayangkan karena mereka akhirnya cerai. Pasalnya, mereka telah membina mahligai rumah tangga hampir lima tahun! Putri tunggal mereka kini telah berusia hampir empat tahun.
Suatu ketika, saya menghabiskan masakan istri saya. Dia senang bukan main. Sebab, dia merasa tak sia-sia memasak. Ya, sebisa-bisanya saya berusaha menyantap masakan buatan istri. Meski, saya tidak sedang mood makan. Saya tak mau mengecewakannya. Kompor di tempat tinggal kami cuma satu. Ketika dia memasak dua menu saja, pasti cukup memakan waktu. Pasti lelah. Saya mencoba memahami perasaan istri saya dengan sederhana.
Ketika berkontemplasi, saya kerap menggarisbawahi tentang apa saja yang telah saya dapat pada hari itu.
Puisi ”Aku Ingin” karya Sapardi Djoko Damono telah menggoda saya untuk menganalisisnya. Itu tidak saya terapkan dalam metode penelitian sastra, tapi perlakuan dan penghargaan kepada istri saya.
Terkadang, tanpa kita sadari, kita kerap mengabaikan hal yang sederhana. Misalnya, memahami perasaan istri ketika dia sedang mengomel. Atau, sekadar memuji masakannya, tidak dengan kata-kata, tapi menghabiskannya.
Graha Pena, 12 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar