Oleh Eko Prasetyo
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Kalimat tersebut kerap diucapkan oleh guru kepada murid atau orang tua kepada anak sebagai pesan yang bijak. Maknanya kurang lebih adalah memberi lebih baik daripada menerima.
Namun, seiring perkembangan zaman, rasa solidaritas dan sosialitas ikut tergerus. Yang memberi memang lebih banyak. Tapi, yang memberi dengan maksud tertentu atau berharap imbalan pun tak sedikit. Pejabat yang doyan menerima ketimbang memberi juga banyak, maksudnya menerima suap dan sejenisnya.
***
Minggu pagi (11/10), saya dan istri bermaksud membeli tiket kereta api jurusan Jakarta di Stasiun Gubeng, Surabaya. Jam menunjukkan pukul 09.30. Di perempatan Jl Raya Gubeng, lampu rambu menyalakan warna merah. Tak jauh dari kendaraan saya, beberapa bocah menjajakan koran. Setelah lampu hijau menyala, ada uang kertas milik salah seorang pengendara motor yang jatuh.
Dia tak menyadarinya. Seorang loper koran perempuan cilik berteriak-teriak memanggil pengendara motor tersebut. Bocah itu berseru sambil membawa dua lembar uang kertas pecahan Rp 20 ribu. Saya tetap melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, bermaksud melihat apa yang selanjutnya terjadi.
Saya menghentikan kendaraan di dekat restoran Hanamasa, tepat di seberang Stasiun Gubeng lama. Kami melihat pengendara motor tadi berhenti dan menerima uangnya yang terjatuh tersebut dari loper koran itu.
Pemandangan itu mampu menarik perhatian saya. Jauh lebih menarik ketimbang pemilihan ketua umum Partai Golkar di Pekanbaru yang baru saja dihelat.
Bagi kami, dua lembar uang Rp 20 ribuan itu mungkin tak seberapa. Namun, buat loper koran tersebut, uang itu mungkin sangat besar. Tak gampang mencari uang Rp 1.000 di kota besar ini. Kendati demikian, dia tidak silau dengan jumlah tersebut. Kalau mau, dia bisa saja mendiamkan dan tidak memanggil si pengendara motor agar dapat menguasai uang itu. Namun, loper koran itu tak melakukannya.
Sebelumnya, saya menjumpai sekelompok anak-anak dari sebuah yayasan yatim piatu di Surabaya menyetorkan bantuan untuk para korban gempa di Sumatera Barat. Bantuan itu disalurkan melalui kantor kami. Memang, musibah gempa tersebut tidak hanya mengoyak hati para korban selamat. Indonesia pun sangat berduka.
***
Pada zaman serbadigital seperti sekarang, aroma kapitalisme teramat kental. Materi berada di atas segala sesuatu. Keuntungan dijadikan dewa dan target utama. Ikhlas seakan terkikis. Tanpa disadari, kita terkadang hanya mau memberi jika mendapatkan lebih banyak. Mau memberi bila ada maksud tertentu.
Dua pemandangan tadi menggoda saya untuk menelaah hikmahnya. Saya bersyukur bisa melihatnya secara langsung. Setidaknya, di tengah-tengah iklim kapitalis, masih ada orang-orang berhati mulia dan mau memberi tanpa berharap imbalan.
Graha Pena, 11 Oktober 2009
(dimuat Eramuslim, 22 Okt 2009)
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar