Mengabadikan Kepuasan

Catatan Eko Prasetyo

Dalam Safari Diklat Jurnalistik yang dihelat Jawa Pos (Oktober-Desember 2009), banyak pengalaman yang saya tuai. Pengalaman itu saya dapat dari para peserta diklat, terutama guru. Salah satunya,mengabadikan kepuasan.

Saya merasa perlu berbagi di sini lantaran ada hikmah dari pengalaman menulis seorang guru. Guru sebuah sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Surabaya itu punya minat besar terhadap dunia tulis-menulis, khususnya artikel opini. Tak sekadar minat, dia mengaplikasikannya lewat praktik menulis.

Usia yang menapak senja bukan berarti tak bisa mengukir prestasi. Ibu guru tersebut membuktikannya. Prestasi tentu tidak hanya menjuarai kompetisi tertentu. Menurut saya, mendapatkan nilai lima dalam ujian tanpa nyontek pun bisa disebut prestasi.

Ibu guru tadi berbagi kisah dengan kami, narasumber opini. Dia membicarakan pengalaman menulisnya. "Saya kepengen sekali tulisan saya bisa dimuat di koran. Rasanya gimana gitu. Pasti membanggakan," tuturnya saat itu.

Perempuan berjilbab tersebut akhirnya mulai belajar menulis artikel opini. Dia mencari beberapa referensi sebagai data pendukung tulisannya. Boleh dibilang, ibu guru yang satu ini belajar secara otodidak menulis opini untuk koran.

Beliau juga tak mau ketinggalan mengikuti workshop dan semiloka kepenulisan sebagai bekal. Namun, saya pikir, guru tersebut sudah punya modal yang amat bagus, yakni kemauan untuk menulis!

Akhirnya, guru itu melahirkan tulisan opininya yang pertama. Tulisan bertema pendidikan tersebut dikirim ke sebuah surat kabar lokal di Surabaya. Sayang, artikel itu tidak dimuat. ”Tapi, saya coba menulis lagi. Siapa tahu bisa dimuat,” harapnya.

Waktu terus berlalu. Tak terasa, dua bulan berjalan si guru sudah menelurkan banyak artikel opini. Berkali-kali dikirim ke koran, selama itu pula tulisannya tidak termuat.

Namun, perempuan 48 tahun tersebut tidak putus asa. ”Saya coba lagi dan coba lagi. Mungkin saja keberuntungan bakal berpihak kepada saya,” tegasnya.

Dua bulan, tiga bulan, empat bulan berlalu. Sang guru telah menghasilkan belasan tulisan. Namun, ya itu tadi: tidak ada yang dimuat di koran. Putuskah sampai di situ? Belum!

Suatu ketika, dia memberanikan diri mengirimkan artikel ke rubrik opini Metropolis Jawa Pos. Salah satu tulisannya akhirnya termuat. Peristiwa tersebut sudah berlangsung sekian tahun silam. Namun, raut kebahagiaan dan kebanggaan masih tampak saat guru itu menuturkan pengalamannya tentang keberhasilan menembus media massa.

Saya bersama peserta lain menyimak kisahnya yang hebat itu.
Belum usai sampai di situ. Dia menuturkan mendapatkan honor Rp 500 ribu sebagai imbalan tulisannya ketika itu. ”Senangnya bukan main. Pokoknya rasane wis gak karu-karuan,” ucap guru tersebut disambut tawa peserta diklat lainnya.

Begitu senangnya ibu guru itu, sampai-sampai uang honor tersebut tidak dipakai untuk membeli kebutuhannya. ”Uang itu sengaja saya simpan. Bahkan, saya bingkai dengan pigura khusus,” tegasnya yang lagi-lagi disambut ger-geran peserta diklat.

Mengapa sampai dipigura begitu? Dia menjawab, itulah hasil jerih payahnya berpikir yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Untuk menghasilkan karya yang dimuat tersebut, dia rela begadang sampai pukul tiga pagi, saat sang suami sudah terbuai mimpi. ”Rasanya beda menerima Rp 500 ribu dari suami dan mendapatkan Rp 500 ribu dari jerih payah sendiri,” tuturnya.

Ya, ibu tersebut mencapai prestasi terbaiknya. Saya menyebut ibu itu mengabadikan kepuasan. Kepuasan yang tak bisa diukur dengan uang jutaan rupiah sekalipun!

Hampir ketika menjadi narasumber di beberapa sekolah lain, saya mengisahkan pengalaman hebat guru tersebut. Tujuannya, memotivasi guru lain untuk menulis.

”Menulis itu sulit banget, Mas!” kata seorang guru kepada saya. Dia mengatakan tak tahu harus memulai bagimana ketika menulis.

Saya katakan kepada beliau bahwa menulis itu ibarat belajar naik sepeda. Kalau seseorang ingin bisa naik sepeda, ya dia harus belajar mencoba menaikinya. Kalaupun terjatuh karena belajar, itu adalah konsekuensi dari belajar. Begitu pula halnya dalam menulis. Orang tak akan bisa menulis baik hanya lewat teori. Silakan dibuktikan.

Graha Pena, 1 Maret 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Pagar Tinggi



Catatan Eko Prasetyo

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke Kabupaten Ponorogo untuk memenuhi undangan seorang teman. Sepanjang perjalanan, saya melihat berhektare-hektare sawah dan perbukitan. Saya juga meninjau Pondok Pesantren Modern Gontor yang terkenal itu. Saya merasakan perjalanan cukup jauh dari Surabaya menuju Ponorogo.

Bus yang saya tumpangi seakan tak bisa melelapkan mata saya meski lelah. Pasalnya, pemandangan di kanan kiri cukup hijau dan sayang jika dilewatkan. Setiba di Kecamatan Sawoo, saya berkunjung ke sebuah dusun. Di sana sudah menunggu teman saya yang punya hajat tersebut.

Saya memperhatikan rumah-rumah warga sekitar. Benar-benar masih ndeso. Tak sedikit rumah yang beratap daun kelapa. Bahkan, banyak rumah yang masih berlantai tanah. Kalau musim kemarau, lantai rumah itu harus disiram air agar tidak berdebu dan mengganggu pernapasan.

Sedikit pun saya tak merisi dengan suasana ala pedesaan itu. Pekarangan rumah milik warga setempat rata-rata cukup luas dan digunakan untuk bercocok tanam. Misalnya, melon, singkong, dan terong. Ya, rata-rata penduduk di sana bekerja sebagai petani ataupun peternak.

Selain bertani, warga mencari kayu di hutan sekitar untuk dijual. Tak heran, saya sempat menyaksikan bukit di sekitar dusun itu agak tandus. Rupanya, penduduk sekitar kian gencar menebang kayu, namun tak ada upaya reboisasi. Saya mengonfirmasi teman saya perihal tersebut. Dia tak menampik kenyataan itu.

Dia mengatakan, warga setempat rata-rata berpendidikan rendah. Bahkan, paling banter cuma lulusan SMP atau MTs. Yang lulusan S-1 bisa dihitung dengan jari. Di tengah rendahnya kesadaran warga akan pentingnya penghijauan, sosialisasi pemerintah setempat masih kurang. Karena itu, dusun setempat rawan terkena bencana longsor jika terjadi hujan lebat. Sebab, bukit di daerah tersebut benar-benar memprihatinkan.

Meski demikian, saya tak melulu mencatat kekurangan di sana-sini. Dusun tersebut berpenduduk kurang lebih 70 kepala keluarga (KK). Seorang warga menuturkan kepada saya bahwa warga setempat cukup guyup, tak ada yang tak saling kenal.

Ya, saya menyaksikan bahwa pagar rumah warga tingginya rata-rata tak sampai 1 meter. Bahkan lebih banyak yang pagarnya jadul. Saat ada hajatan, tidak hanya warga satu dusun itu yang datang. Bahkan, warga dari beberapa dusun lain akan mendatangi hajatan si empu hajat. Pertemuan di acara itu sangat gayeng karena hampir seluruh tamu undangan saling mengenal.

*****

Suatu ketika, ada warga di salah satu perumahan meninggal dunia. Ironisnya, kematiannya tidak diketahui oleh tetangganya, bahkan tetangga sebelah rumahnya! Warga perumahan itu baru tahu kejadian tersebut dari pengumuman lewat pengeras suara di masjid setempat.

Mungkin, pemandangan seperti itu bisa dijumpai di mana saja, terutama perumahan-perumahan elite dan mewah. Tak pelak, jarang dijumpai keguyupan di sana. Di perkotaan, sikap individual lebih menonjol daripada kebersamaan. Tak heran, seseorang tidak tahu jika ada tetangga sebelahnya yang sakit. ”Mungkin, karena pagar temboknya terlalu tinggi,” celetuk seorang teman.

Graha Pena, 8 Februari 2010

Gaji Saya Kecil, Pak!

Catatan Eko Prasetyo

Seorang rekan wartawan meliput penggeberekan kurir narkoba di wilayah Surabaya Selatan akhir Januari lalu. Kebetulan, saya mengedit naskah berita tersebut. Menurut saya, saya rugi besar kalau hanya mengedit tanpa bisa mengambil hikmah di setiap berita yang saya sunting.

Kurir narkoba itu berperawakan tinggi kurus. Usianya 35 tahun. Belum terlalu tua, tapi juga tidak terlalu muda. Seperti kebanyakan penjahat yang tertangkap, pelaku itu selalu beralasan di balik aksinya. Ada yang beralasan terpaksa merampok karena kepepet utang. Semuanya bermuara pada ekonomi.

Saat diinterogasi polisi, si pelaku mengatakan terpaksa menjadi kurir narkoba untuk menjaga dapur tetap mengepul. "Gaji saya kecil, Pak!" ujarnya kepada penyidik.

Tentu saja, polisi tak langsung percaya dengan alasan klasik itu. Ya, si pelaku mengaku sehari-hari bekerja sebagai pelayan toko. Dari pekerjaan tersebut, keringatnya dibayar tak sampai Rp 600 ribu tiap bulan. Tentu, jumlah tersebut amat kecil untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup di kota besar seperti Surabaya.

Karena itu, dia mengaku terpaksa nyambi jadi kurir narkoba karena tergiur dengan keuntungannya. Untuk sekali kirim sabu-sabu, misalnya, dia mendapatkan jatah Rp 50 ribu-Rp 100 ribu.

****

Saya pernah menjadi relawan di salah satu lembaga di bawah naungan Pemprov Jatim. Saya dikontrak selama enam bulan. Tiap bulan saya diberi uang lelah Rp 100 ribu. Saya tak mengeluh. Meski, jumlah itu amat sangat kecil tentunya.

Tugas saya adalah memberikan santunan kepada warga duafa (miskin) dari para donatur. Saya senang dan menikmati pekerjaan sebagai relawan tersebut. Sebab, banyak ilmu dan hikmah bertemu dengan banyak orang duafa.

Bicara soal honor Rp 100 ribu itu, lantas apa cukup bagi saya segitu? Tentu saja tidak. Meski demikian, saya mencoba untuk tidak mengeluh. Saat berada dalam kondisi terpepet (baca: pegang uang minim), kita tak boleh hanya mengeluh. Tapi, kita juga dituntut untuk bisa mengatasi masalah itu.

Sebenarnya, saya tak mutlak dapat honor Rp 100 ribu. Sebab, tiap kali mengantarkan bantuan dari pemprov, saya mendapatkan uang bensin. Saya bersyukur karena Allah menganugerahi tangan ini bisa menggores pena dan menerjemahkan tiap peristiwa. Jadilah saat itu saya nyambi menulis artikel di beberapa surat kabar dan majalah. Alhamdulillah, terkadang ada satu dua artikel saya yang "nongol".

Selain itu, saya menuliskan banyak pengalaman dari pertemuan dengan warga duafa yang juga dimuat di salah satu media. Bermula dari situ, kumpulan tulisan tersebut akhirnya bisa jadi buku. Alhamdulillah, dapat fulus lagi.

Saya yakin, betapa pun kecil penghasilan kita, jika disyukuri, tentu berkahnya akan bertambah. Sebab, jika menilai dari nomina, tentu angka Rp 700 ribu tiap bulan yang saya dapat saat itu masih kurang. Jumlah tersebut didapat dari honor sebagai relawan dan tulisan yang termuat tiap bulan. Apalagi jika mendasarkan pada sifat manusia yang tak pernah puas.

Dalam kesempatan lain, saya dibikin terheran-heran dengan pengalaman seorang teman. Gajinya tak sampai satu juta rupiah tiap bulan. Istrinya membantu keuangan rumah tangga dengan menjadi penjahit. Rata-rata join income mereka tak sampai Rp 2 juta. Namun, jumlah tersebut ternyata bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka dan dua putra mereka yang menginjak usia TK. Saat saya tanya resep pengelolaan keuangannya, dia menjawab: bersyukur!

*****

Kurir narkoba tadi mungkin salah satu di antara sekian banyak orang yang terjebak pada rasa kurang puas. Memang, ketimpangan sosial di negeri kita sangat kentara. Sehingga, itu memungkinkan munculnya kriminalitas akibat sempitnya lapangan kerja.

Namun, kesulitan tak lantas dan tak pantas dijadikan alasan pembenar untuk bertindak kriminal. Deraan masalah tidak harus membuat kita lemah dan menyerah. Kita justru dituntut untuk bisa mengatasinya dengan berbagai solusi. Jika merasa sulit, lantas apa fungsi otak dan tubuh yang merupakan anugerah Allah terbesar ini?

Wallahu’alam bishshawab.
Graha Pena, 2 Februari 2010