Gaji Saya Kecil, Pak!

Catatan Eko Prasetyo

Seorang rekan wartawan meliput penggeberekan kurir narkoba di wilayah Surabaya Selatan akhir Januari lalu. Kebetulan, saya mengedit naskah berita tersebut. Menurut saya, saya rugi besar kalau hanya mengedit tanpa bisa mengambil hikmah di setiap berita yang saya sunting.

Kurir narkoba itu berperawakan tinggi kurus. Usianya 35 tahun. Belum terlalu tua, tapi juga tidak terlalu muda. Seperti kebanyakan penjahat yang tertangkap, pelaku itu selalu beralasan di balik aksinya. Ada yang beralasan terpaksa merampok karena kepepet utang. Semuanya bermuara pada ekonomi.

Saat diinterogasi polisi, si pelaku mengatakan terpaksa menjadi kurir narkoba untuk menjaga dapur tetap mengepul. "Gaji saya kecil, Pak!" ujarnya kepada penyidik.

Tentu saja, polisi tak langsung percaya dengan alasan klasik itu. Ya, si pelaku mengaku sehari-hari bekerja sebagai pelayan toko. Dari pekerjaan tersebut, keringatnya dibayar tak sampai Rp 600 ribu tiap bulan. Tentu, jumlah tersebut amat kecil untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup di kota besar seperti Surabaya.

Karena itu, dia mengaku terpaksa nyambi jadi kurir narkoba karena tergiur dengan keuntungannya. Untuk sekali kirim sabu-sabu, misalnya, dia mendapatkan jatah Rp 50 ribu-Rp 100 ribu.

****

Saya pernah menjadi relawan di salah satu lembaga di bawah naungan Pemprov Jatim. Saya dikontrak selama enam bulan. Tiap bulan saya diberi uang lelah Rp 100 ribu. Saya tak mengeluh. Meski, jumlah itu amat sangat kecil tentunya.

Tugas saya adalah memberikan santunan kepada warga duafa (miskin) dari para donatur. Saya senang dan menikmati pekerjaan sebagai relawan tersebut. Sebab, banyak ilmu dan hikmah bertemu dengan banyak orang duafa.

Bicara soal honor Rp 100 ribu itu, lantas apa cukup bagi saya segitu? Tentu saja tidak. Meski demikian, saya mencoba untuk tidak mengeluh. Saat berada dalam kondisi terpepet (baca: pegang uang minim), kita tak boleh hanya mengeluh. Tapi, kita juga dituntut untuk bisa mengatasi masalah itu.

Sebenarnya, saya tak mutlak dapat honor Rp 100 ribu. Sebab, tiap kali mengantarkan bantuan dari pemprov, saya mendapatkan uang bensin. Saya bersyukur karena Allah menganugerahi tangan ini bisa menggores pena dan menerjemahkan tiap peristiwa. Jadilah saat itu saya nyambi menulis artikel di beberapa surat kabar dan majalah. Alhamdulillah, terkadang ada satu dua artikel saya yang "nongol".

Selain itu, saya menuliskan banyak pengalaman dari pertemuan dengan warga duafa yang juga dimuat di salah satu media. Bermula dari situ, kumpulan tulisan tersebut akhirnya bisa jadi buku. Alhamdulillah, dapat fulus lagi.

Saya yakin, betapa pun kecil penghasilan kita, jika disyukuri, tentu berkahnya akan bertambah. Sebab, jika menilai dari nomina, tentu angka Rp 700 ribu tiap bulan yang saya dapat saat itu masih kurang. Jumlah tersebut didapat dari honor sebagai relawan dan tulisan yang termuat tiap bulan. Apalagi jika mendasarkan pada sifat manusia yang tak pernah puas.

Dalam kesempatan lain, saya dibikin terheran-heran dengan pengalaman seorang teman. Gajinya tak sampai satu juta rupiah tiap bulan. Istrinya membantu keuangan rumah tangga dengan menjadi penjahit. Rata-rata join income mereka tak sampai Rp 2 juta. Namun, jumlah tersebut ternyata bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka dan dua putra mereka yang menginjak usia TK. Saat saya tanya resep pengelolaan keuangannya, dia menjawab: bersyukur!

*****

Kurir narkoba tadi mungkin salah satu di antara sekian banyak orang yang terjebak pada rasa kurang puas. Memang, ketimpangan sosial di negeri kita sangat kentara. Sehingga, itu memungkinkan munculnya kriminalitas akibat sempitnya lapangan kerja.

Namun, kesulitan tak lantas dan tak pantas dijadikan alasan pembenar untuk bertindak kriminal. Deraan masalah tidak harus membuat kita lemah dan menyerah. Kita justru dituntut untuk bisa mengatasinya dengan berbagai solusi. Jika merasa sulit, lantas apa fungsi otak dan tubuh yang merupakan anugerah Allah terbesar ini?

Wallahu’alam bishshawab.
Graha Pena, 2 Februari 2010

Tidak ada komentar: