Pagar Tinggi



Catatan Eko Prasetyo

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke Kabupaten Ponorogo untuk memenuhi undangan seorang teman. Sepanjang perjalanan, saya melihat berhektare-hektare sawah dan perbukitan. Saya juga meninjau Pondok Pesantren Modern Gontor yang terkenal itu. Saya merasakan perjalanan cukup jauh dari Surabaya menuju Ponorogo.

Bus yang saya tumpangi seakan tak bisa melelapkan mata saya meski lelah. Pasalnya, pemandangan di kanan kiri cukup hijau dan sayang jika dilewatkan. Setiba di Kecamatan Sawoo, saya berkunjung ke sebuah dusun. Di sana sudah menunggu teman saya yang punya hajat tersebut.

Saya memperhatikan rumah-rumah warga sekitar. Benar-benar masih ndeso. Tak sedikit rumah yang beratap daun kelapa. Bahkan, banyak rumah yang masih berlantai tanah. Kalau musim kemarau, lantai rumah itu harus disiram air agar tidak berdebu dan mengganggu pernapasan.

Sedikit pun saya tak merisi dengan suasana ala pedesaan itu. Pekarangan rumah milik warga setempat rata-rata cukup luas dan digunakan untuk bercocok tanam. Misalnya, melon, singkong, dan terong. Ya, rata-rata penduduk di sana bekerja sebagai petani ataupun peternak.

Selain bertani, warga mencari kayu di hutan sekitar untuk dijual. Tak heran, saya sempat menyaksikan bukit di sekitar dusun itu agak tandus. Rupanya, penduduk sekitar kian gencar menebang kayu, namun tak ada upaya reboisasi. Saya mengonfirmasi teman saya perihal tersebut. Dia tak menampik kenyataan itu.

Dia mengatakan, warga setempat rata-rata berpendidikan rendah. Bahkan, paling banter cuma lulusan SMP atau MTs. Yang lulusan S-1 bisa dihitung dengan jari. Di tengah rendahnya kesadaran warga akan pentingnya penghijauan, sosialisasi pemerintah setempat masih kurang. Karena itu, dusun setempat rawan terkena bencana longsor jika terjadi hujan lebat. Sebab, bukit di daerah tersebut benar-benar memprihatinkan.

Meski demikian, saya tak melulu mencatat kekurangan di sana-sini. Dusun tersebut berpenduduk kurang lebih 70 kepala keluarga (KK). Seorang warga menuturkan kepada saya bahwa warga setempat cukup guyup, tak ada yang tak saling kenal.

Ya, saya menyaksikan bahwa pagar rumah warga tingginya rata-rata tak sampai 1 meter. Bahkan lebih banyak yang pagarnya jadul. Saat ada hajatan, tidak hanya warga satu dusun itu yang datang. Bahkan, warga dari beberapa dusun lain akan mendatangi hajatan si empu hajat. Pertemuan di acara itu sangat gayeng karena hampir seluruh tamu undangan saling mengenal.

*****

Suatu ketika, ada warga di salah satu perumahan meninggal dunia. Ironisnya, kematiannya tidak diketahui oleh tetangganya, bahkan tetangga sebelah rumahnya! Warga perumahan itu baru tahu kejadian tersebut dari pengumuman lewat pengeras suara di masjid setempat.

Mungkin, pemandangan seperti itu bisa dijumpai di mana saja, terutama perumahan-perumahan elite dan mewah. Tak pelak, jarang dijumpai keguyupan di sana. Di perkotaan, sikap individual lebih menonjol daripada kebersamaan. Tak heran, seseorang tidak tahu jika ada tetangga sebelahnya yang sakit. ”Mungkin, karena pagar temboknya terlalu tinggi,” celetuk seorang teman.

Graha Pena, 8 Februari 2010

Tidak ada komentar: