Oleh: Eko Prasetyo
Beberapa waktu lalu, saya tak sengaja menyerempet sebuah mobil toyota kijang di Jl A. Yani. Jalan memang agak macet sore itu. Dan saya memang agak terburu-buru sore itu. Bagian spion kiri mobil tersebut agak lecet akibat senggolan dengan motor saya.
Pemilik mobil itu kemudian minggir dan menyapa saya, "Hei goblok! Matamu sudah buta ya?"
Saya lalu meminta maaf karena tidak sengaja menyenggol mobil orang itu. Dari penampilannya yang perlente, saya jelas ora ono apa-apane. Meski demikian, saya berusaha tetap tenang dan terus meminta maaf. Tapi, orang itu malah tidak terima dan terus memaki-maki saya.
"Aku gak terimo! Kamu harus ganti spion mobil saya. Motomu picek yo (Matamu buta ya)! Naik sepeda motor nggak liat-liat!" kata laki-laki tersebut.
"Akan saya ganti Pak spion yang kegores itu. Maafkan saya Pak," ujar saya.
"Alah gak usah akeh omong. Aku minta kamu ganti sekarang," katanya dengan nada tinggi.
Orang itu tampak sinis memandang saya. Mungkin, dia mengira saya tak akan mampu membayar kerugian sebesar harga spion mobilnya. Apalagi, melihat tampang saya yang kucel begini.
Kemudian, dia kembali menghampiri saya. "Sudah aku minta 200 ribu saja. Sekarang," ujar laki-laki itu.
"Waduh Pak, uang saya cuma 115 ribu iki," jawab saya sambil memperlihatkan isi dompet saya untuk meyakinkan dia.
"Motomu picek yo," ucapnya tidak terima dengan kata-kata saya.
"Kekurangannya saya ambilkan di kantor saya dulu ya Pak karena di sana ada ATM," tawar saya dengan nada memelas.
Eh dia malah nggak terima. Dia menuduh saya dan semakin memaki-maki.
Karena agak kesal, saya kemudian bilang, "Sudah deh Pak, saya ganti 500 ribu. Tapi, uangnya saya ambil di kantor dulu. Di sana soalnya ada ATM," jawab saya.
"Alah rai koyok awakmu mosok duwe duwit," kata dia terus-menerus menghina saya.
Kalau nggak percaya, silakan ikut saya ke kantor yang dekat dari sini (orang itu akan saya ajak ke Graha Pena)," jawab saya.
Alhamdulillah dia mau saya ajak ke Graha Pena. Setelah mengambil uang di ATM, saya benar-benar menyerahkan uang sebesar Rp 500 ribu ke orang tersebut.
Laki-laki itu kelihatan bingung dan bertanya kepada saya, "Memangnya kamu kerja di sini? Di mana? Saya kan cuma minta 200 ribu?"
Saya tidak lantas menjawab pertanyaan orang itu. "Saya minta maaf Pak sudah menyenggol mobil Bapak. Saya sangat berterima kasih sudah diingatkan agar berhati-hati. Matur nuwun Pak," tutur saya kepadanya.
Wajah laki-laki itu tambah bingung. Mungkin dia bertanya-tanya wong dia tadi marah dan memaki saya, tapi saya justru berterima kasih sudah diingatkan.
"Ini kartu nama saya Pak. Silakan main-main ke kantor saya kapan-kapan. Maaf ya Pak, saya harus segera kerja karena ada rapat hari ini. Silakan hubungi saya nanti. Nomornya ada di kartu nama saya itu," ujar saya meninggalkan laki-laki tadi yang masih melongo melihat saya ngacir sebelum sempat berkata-kata.
Alhamdulillah, hari itu saya bisa meredam marah dan tidak membalas makian/hinaan dari bapak tadi. Bapak itu tidak lama kemudian mengirimkan SMS dan berkali-kali meminta maaf kepada saya. Saya membalas SMS beliau dan berterima kasih sudah diingatkan. Dia tambah bingung.
"Mas Eko nyindir saya ya?" tulisnya heran dalam SMS balasannya.
"Lho bapak nggak sadar sudah menasihati saya? Bapak marah-marah tadi itulah yang saya maksud mengingatkan saya agar saya lebih berhati-hati lagi jika di jalan raya," balas saya.
"Mas saya benar-benar minta maaf atas sikap saya tadi," balas dia.
SMS itu kemudian saya tutup dengan ucapan maaf dan terima kasih lagi.
Saya lalu merenung. Mungkin saja, di satu sisi, saya memiliki kelebihan dibandingkan orang itu meski saya berada dalam posisi yang lemah saat itu. Namun, saya memetik hikmah dari kejadian tadi. Yakni, menguasai emosi dan mencoba berpikir positif di saat-saat yang tidak menguntungkan. Sebagai pemuda, saya tetap harus menghormati orang yang lebih tua, tak peduli siapa pun dia dan tanpa melihat kelebihan diri sendiri. Dalam kamus kehidupan, tak ada kata dendam untuk saling menghargai dan mengasihi sesama makhluk Tuhan. Ah, cinta! Ingin kupeluk engkau erat-erat agar tak kabur saat emosiku di atas logika...
Graha Pena, Juli 2008
(merenung sendiri di Jawa Pos pukul tiga pagi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar