Flower in The Desert



"Sebuah ruang yang kosong memberimu kesempatan untuk mengisinya."
Kalimat tersebut pernah diucapkan Putu Wijaya (novelis dan budayawan) di Gedung Kesenian Buleleng, Bali, pada 19 November 1996.

Terus terang, kalimat tersebut sangat memotivasi saya. Karena itu, saya mafhum ketika Andy F. Noya mengundurkan sebagai pemred Metro TV atau Dhimam Abror yang keluar dari jabatannya sebagai pemred harian Surya.

Saya tersentuh ketika seorang rekan wartawan muda berkisah tentang keputusannya untuk mundur dari surat kabar tempat dia bekerja. Banyak yang menganggap keputusannya keluar adalah hal yang bodoh. Apalagi, mencari kerja sekarang sangat sulit dengan persaingan yang sangat tinggi pula. Namun, dia berharap keputusannya itu tidak salah. Saya akhirnya bisa memahami sikapnya.

Perempuan muda itu menuturkan, menjadi wartawan adalah impiannya. "Ternyata tak seindah yang dibayangkan," ujarnya dengan nada berat. Di pengujung April dia kembali ke kotanya, Jogjakarta. ya, dia telah resign. Selembar tulisan berjudul "Kenapa Saya Ingin Jadi Wartawan" saat dia melamar jadi wartawan dikembalikan kepadanya. Dia menjadikan lembaran tersebut sebagai prasasti.

Tak sempat berpamit kepada rekan-rekan wartawan lainnya, dia mengucapkan kalimat perpisahan kepada saya suatu sore, ketika kami terakhir bertemu.

"Aku pulang. Kembali ke barat. Aku bukan kalah. Aku bukan pecundang," terakhir saya menangkap lirih suaranya menahan kesedihan.

Saya menghela napas pagi ini. Banyak sekali kisah yang saya lalui. Berada di sebuah kapal besar sebagai kelasi rendahan harus siap menantang ombak ganas sewaktu-waktu. Sebagai pemuda, saya tidak terbiasa menyerah dengan keadaan. Tantangan dan risiko adalah hal yang wajar dalam kehidupan. Berani hidup harus berani menghadapi tantangan. Meski semua ini telah Dia gariskan, kita tetap tidak boleh menyerah pada keadaan. Sungguh, hati saya bergetar mendengar kisah jurnalis muda tersebut. Tegap, saya memberikan salam perpisahan kepadanya.

Dulu, Agung Putu Iskandar, wartawan Jawa Pos yang juga kawan perempuan tersebut, pernah mengungkapkan hal serupa. Yakni, betapa tidak mudahnya menjadi seorang wartawan. Kini saya mulai mempercayainya. Bukan karena terlambat percaya, tapi saya terlalu mengagumi profesi seorang jurnalis sehingga tak berani mengamini kata-kata itu lebih dulu.

Tentang Bang Andy, Pak Abror, dan mantan wartawan itu, keputusan mereka pun bisa jadi terjadi pada saya atau orang lain. Sebuah ruang yang kosong memberimu kesempatan untuk mengisinya. Entah kapan.


Graha Pena, 5 Sept 2008

Eko Prasetyo
(maaf rindu, aku terlambat memelukmu saat dia gagal membawa pulang cintaku)

Tidak ada komentar: