Catatan: Eko Prasetyo
Hidup di zaman sekarang benar-benar harus kuat iman. Pasalnya, apa-apa serbaduit. Mau buang air kecil saja harus bayar. Ketika saya belanja ke Pasar Keputran, Surabaya, uang Rp 10 ribu cuma dapat tempe, tahu, plus minyak goreng setengah kilo. Meski demikian, saya bersyukur bahwa dini hari nanti punya persiapan sahur dengan lauk istimewa: Tempe! Alhamdulillah. Karena masih bujangan, mungkin saya masih bisa mengirit pengeluaran. Saya tak bisa membayangkan bahwa banyak orang miskin yang tak mampu beli beras.
Saya punya langganan bakul cabai di Pasar Keputran. Si penjual sudah sepuh, sepantaran nenek saya. Dulu sebelum kena stroke, nenek sayalah yang belanja ke pasar tersebut. Tiap belanja, nenek tak pernah absen beli cabai di ibu bakul lombok itu. Witing akrab jalaran soko kulina. Karena sering bersua, mereka menjadi layaknya sahabat karib. Stroke telah membuat kaken dan nenek saya tak mampu berjalan sempurna seperti dulu. Kini sayalah yang mengalih alih tugas belanja. Si mbah penjual lombok tadi sebenarnya tidak menjual cabai segar. Dia mengaku, tiap pukul dua pagi ada truk pengangkut cabai dari daerah lain untuk dibawa ke Surabaya. Nah, tiap ada cabai yang jatuh dari truk tersebut, cabai itulah yang dijarah oleh sebagian penjual, termasuk si mbah tadi, untuk dijual kembali. "Nek tuku larang (Kalau beli, mahal)," tuturnya.
Karena hidup bertiga dengan penghasilan saya plus pensiunan kakek, jelas kami harus benar-benar hemat. Lha piye wong semua harga kebutuhan pokok serbamahal. Karena itu, saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa banyak orang yang membelanjakan uangnya untuk hal yang salah seperti membeli ijazah instan. Saya mafhum, mungkin mereka belum pernah merasakan sulitnya mencari seperti kami dan rakyat kecil lainnya.
Saat membaca berita cover story di Metropolis Jawa Pos edisi kemarin (18/9) dan hari ini, saya terkesiap. Betapa tidak, tak perlu susah-susah kuliah, orang bisa dengan mudah mendapatkan ijazah instan seharga Rp 8 juta.
Dengan minimal Rp 8 juta, titel apa saja bisa Anda dapatkan. Tinggal pilih mau sarjana ekonomi, hukum, atau psikologi. Tak perlu duduk di dalam kelas selama empat tahun. Bahkan sehari pun tak perlu. Proposal skripsi dan skripsi sudah ada yang mengerjakan. Pokoknya tinggal bayar. Dalam waktu sekitar sebulan, semuanya beres (Metropolis Jawa Pos, 18/9/08).
Bahkan, si konsumen ijazah instan akan mendapatkan indeks prestasi 3,01. Nilai yang lumayan, karena nilai itu diperoleh tanpa harus mengikuti kuliah sama sekali. Peminat ijazah instan tersebut pun tidak sedikit. Disebutkan tim Jawa Pos bahwa segmen pasar terbesar ijazah instan adalah instansi pemerintahan (PNS dan guru) serta lembaga negara non-pemerintah (legislatif). Mahasiswa putus kuliah masih kalah besar. Masya Allah.
Ah, saya sedikit menggerutu dalam hati. Untuk mencapai sarjana, saya pernah harus jualan kopi di Jl Basuki Rahmat hingga jadi cleaning service di Gramedia. Mereka yang punya duit dengan mudahnya mendapatkan ijazah sarjana tanpa harus kuliah dan susah payah. Duit kini bak dewa, dipuja dan berkuasa. Jika ada uang, urusan lancar. Jika tak punya uang, jangan pernah ngimpi jadi sarjana di sini! Masya Allah.
Subuh sudah melambaikan tangannya. Mata ini begitu lelah dan mengantuk. Sesampai rumah, saya tengok kamar kakek nenek saya. Mereka masih terlelap. Saya lantas mendesah. Hari ini saya hanya berhasil belanja tempe lagi. Beli dua ribu rupiah sudah bisa dimakan bertiga. Sambil menggoreng tempe tanpa garam buat mbah berdua, saya membayangkan punya uang Rp 8 juta seperti mereka yang membeli ijazah instan. Tentu saja saya menginginkan sekali-sekali di meja makan kami tersaji sayur segar dengan lauk daging atau apalah selain tempe. Tentu itu akan sangat membahagiakan kami bertiga ketimbang beli ijazah yang tak banyak menolong perut kami ketika lapar. Oh Tuhan.
Graha Pena, 29 September 2008
Eko Prasetyo
(bimbang, rapikan bekas kecup mesraku agar tak tertengok cemburu)
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar