Cukup Allah sebagai Penolong

Catatan Eko Prasetyo

Selalu ada hikmah dalam tiap kisah. Begitu pula saat saya berkunjung ke luar kota, selalu ada pengalaman yang tak bisa dilupakan. Suatu ketika, saya berangkat ke Rembang sekitar pukul 00.00 untuk memenuhi undangan seorang sahabat di sana. Saya berangkat dengan menumpang bus jurusan Surabaya–Semarang. Tak lupa, ketika baru duduk di kursi, saya berdoa terlebih dulu. Saya memohon agar Allah melindungi perjalanan kami.

Awalnya, perjalanan kami lancar-lancar saja. Namun, ketika sampai di perbatasan Babat–Lamongan, bus yang saya tumpangi berpapasan dengan truk yang mengalami kecelakaan. Truk yang mengangkut makanan ringan tersebut terguling di tengah jalan. Namun, keadaan belum seberapa macet dini hari itu karena masih sepi kendaraan.

Memasuki hutan di kawasan Kabupaten Tuban, baru saya sport jantung. Betapa tidak, dua kali bus yang kami tumpangi nyaris terlibat kecelakaan. Pertama, bus tersebut hampir menabrak sebuah sedan dari arah berlawanan menyalip sebuah truk dengan kecepatan tinggi. Jaraknya dari bus kami sangat dekat. Terlambat sepersekian detik, mungkin akan terjadi kecelakaan. Alhamdulillah, saya bisa bernapas lega karena terhindar dari kecelakaan.

Kejadian serupa terjadi ketika memasuki Kabupaten Rembang. Bus tersebut nyaris menabrak mobil dari arah berlawanan. Permulaannya sama, dua kendaraan itu menyalip kendaraan lain dengan kecepatan tinggi. Saya sudah pasrah. Bibir ini tak berhenti berzikir. Alhamdulillah, saya selamat sampai di tempat tujuan. Begitu pula sekembali ke Surabaya.

Beberapa hari kemudian, saya mengedit berita kecelakaan di Tuban. Saya terkejut karena bus yang saya tumpangi ke Rembang sebelumnya bertabrakan dengan sebuah truk boks di daerah Tuban, Jawa Timur. Kecelakaan itu menewaskan sopir truk boks. Bagian kiri truk boks itu ringsek setelah ”dikepras” bus. Saya lebih kaget karena sopirnya ternyata tetangga saya. Innalillahi wainnailaihirajiuun.

Kejadian itu mengantarkan saya pada pengalaman seorang rekan kerja. Beliau redaktur senior di tempat kami bekerja. Beliau terkena penyakit hipertiroid. Namun, ternyata ada kanker di penyakit tersebut. Setelah berkonsultasi dengan dokter dan keluarga, beliau memutuskan untuk menjalani kemoterapi. Itu dilakukan hingga enam kali.

Setelah kemoterapi keempat, beliau mengalami kolaps. Sang istri menceritakan bahwa suaminya sempat pingsan. Ketika sadar, dia mengigau. Karena khawatir, rekan kami tersebut langsung dilarikan ke rumah sakit oleh keluarganya.

Setelah dirawat beberapa hari, kondisinya berangsur membaik dan diperbolehkan pulang. Saya pun berniat menjenguk beliau di rumahnya. Sesudah salat Jumat, saya bergegas ke minimarket bersama istri. Kami membeli buah apel dan roti untuk redaktur senior tersebut.

Alhamdulillah, saya bisa bertemu beliau setelah beberapa minggu tak bersua di kantor. Tubuhnya jauh lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Keriput mulai banyak menyapa di wajahnya, membuat beliau tampak lebih tua. Sisa-sisa kemoterapi pun terlihat dari kepala beliau yang botak. Ya, rambutnya rontok setelah menjalani beberapa kemoterapi.

Kami saling bertegur sapa. Beliau ketika itu mengenakan kaus pendek dan sarung. Senyum tersungging di bibirnya. Masih sama dengan dulu, murah senyum. Melihat kondisi fisiknya yang sangat jauh berbeda dengan dulu, hati saya iba. Tampak jelas bahwa beliau baru saja melalui perjuangan berat dan perjuangannya belum usai.

Beliau menuturkan bahwa gula darahnya sangat tinggi sehingga menyulitkan dirinya ketika menjalani kemoterapi. Sebelum saya berpamit pulang, beliau mengatakan bahwa dirinya bisa bertahan hidup semata karena Allah. ”Saya tidak ngopi dan merokok. Saya pun tidak makan yang neko-neko. Tapi, Allah memberi saya sakit. Alhamdulillah, kita terima saja,” ujarnya.

Hikmahnya, beliau mengatakan kini lebih dekat dengan Allah SWT. Dalam tiap kesempatan, dia menyempatkan berzikir dan membaca Alquran. Sakit tak menyurutkan semangatnya dalam beribadah. Mumpung hayat masih di kandung badan.

Benar! Urip ing dunya mung mampir ngombe (hidup di dunia ibarat mampir minum). Karena itu, saat masih diberi kesempatan menghirup napas di dunia, hendaknya kita perbanyak dengan ibadah dan meningkatkan takwa kepada Allah SWT. Sebab, jika ajal sudah menjemput, terputuslah segala amal ibadah di dunia.

Rekan saya tadi tak lupa mengucapkan kalimat ”Hasbunallah wani’mal wakil (cukup Allah sebagai penolong kami).” Saya terharu tiap kali mendengar kalimat dalam surat Ali Imron ayat 173 tersebut.

Melihat pengalaman di atas bus tadi dan perjuangan rekan saya dalam melawan penyakitnya, saya tak henti-henti mengucapkan syukur kepada Allah. Sebab, saya masih diberi kesempatan untuk beramal baik. Mudah-mudahan bisa istiqomah. Amiin.

Graha Pena, 14 Mei 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: