Poem for Palestine



Oleh: Eko Prasetyo

”Mas, Anda kan jurnalis, apa pendapat Anda tentang agresi Israel saat ini di Palestina?” tanya seorang ibu lewat sebuah e-mail singkatnya. Beliau baru saja membaca salah satu tulisan saya di rubrik oase iman eramuslim. Beliau bertanya demikian dan saya menilainya sebagai sebuah sindiran, yakni mengapa saya tidak mengambil tulisan bertema Palestina di awal tahun yang basah ini.

”Maaf Bu, saya bukan jurnalis,” jawab saya, mengawali kalimat balasan untuk beliau.

Pukul delapan malam, suasana di redaksi kami masih hiruk-pikuk dengan aktivitas kerja untuk mempersiapkan berita yang bakal terbit keesokan harinya. Namun, kondisi itu tiada sebanding dengan hiruk-pikuknya suara deru bom dan mortir yang berdentuman di Jalur Gaza, Palestina. Mencekam.

”Saya speechless, kehilangan kata-kata,” lanjut saya.
Saya menambahkan, saya terus mengikuti berita-berita seputar perang antara Israel dan pihak Hamas dari Palestina di Gaza saat ini.

Ya, dari beberapa mailing list (milis) yang saya ikuti, saya mendapati beberapa orang yang mem-forward foto-foto kekejaman Israel. Mereka membunuhi warga sipil Palestina. Memburu sasaran perempuan dan anak-anak tak berdosa dengan dalih mengejar tentara Hamas.

Bahwa Israel biadab dan tak punya nurani, sejarah telah mencatatnya, bahkan sejak zaman nabi-nabi. Tak ada yang memungkiri, kecuali simpatisan mereka sendiri.

”Bu, jika saya jurnalis, mungkin saya akan dikeluarkan,” sambung saya.
Mengapa? Sebab, seorang pewarta harus memperhatikan sebuah peristiwa dari dua sisi, bahkan banyak sisi (cover both side). Tujuannya, agar berita tersebut berimbang dan tak menimbulkan polemik atau terkesan memihak ke salah satu pihak tertentu.

”Dan saya yakin tak akan mampu melakukannya saat ini,” tutur saya.

Saya punya alasan tersendiri mengatakan hal tersebut. Mungkin di seberang sana, ibu itu bertanya-tanya di balik lontaran paparan pena maya saya tersebut.

Ya, apabila saat ini saya berposisi sebagai jurnalis, saya yakin akan dipecat. Pasalnya, kala itu saya akan membuat opini yang membela Palestina habis-habisan dan menghujat Israel, juga habis-habisan. Tak akan ada rambu cover both side yang saya pegang ketika itu. Sebab, saya tak tahan melihat darah warga sipil Palestina membanjiri bumi mereka sendiri akibat kekejaman Israel.

Menjelang pukul satu pagi, lewat waktu deadline dan hawa dingin yang menghinggapi, saya tak mendapati lagi kabar balasan dari ibu tersebut. Saya mengajak serta jari-jari lemah ini untuk menulis sebuah sajak. Bukan saya tujukan untuk tersaji di forum penyair, melainkan puisi itu adalah pertautan panjang bagi saudara kami di sana: Palestina.

Poem for Palestine

Tuhan, aku masih punya mata
Kau saksinya
sehingga bisa kusaksikan derai pilu dari bibir bocah kecil yang kehilangan ibunya
di sana
: Palestina

Tuhan, aku masih punya telinga
Kau saksinya
sehingga dapat kudengar teriak histeris seorang ibu yang bayinya tewas tanpa kepala
di sana
: Palestina

Tuhan, aku masih punya hati
Kau saksinya
sehingga kubiarkan jiwa dan nurani ini luruh melihat wajah-wajah ketakutan
antara perempuan dan anak-anak yang menyebut-nyebut nama-Mu
di sana
: Palestina

andai padang gurun bergemuruh terhapus badai debu,
sesak dadaku menghirup terik yang membanjiri tubuh, tak mengapa
namun kupinta lenyapkan cinta ini dengan cinta
agar bisa kubeli dedaunan segar dari pelepah pohon palma
biar kutulis ayat-ayat cinta-Mu di atas lembarannya
kuusap di wajahku
dari cahaya wajah-Mu yang memenuhi segenap penjuru arsy-Mu
meregang doa-doa yang membekap dua lautan
lantas, jawablah dengan cinta
sewujud kemenangan atau entah apa namanya
untuk saudara kami
di sana
:Palestina

Graha Pena, 15 Januari 2009
Publikasi: Eramuslim (16 Januari 2009)

Berartinya Terima Kasih



Oleh: Eko Prasetyo

Saat membaca dan menyunting salah satu berita kriminal, saya tertegun. Ada seorang istri yang tega membunuh suaminya hanya karena sang suami punya wanita idaman lain (WIL).

Jelang tutup tahun 2008, di Jakarta ada berita serupa, namun lebih mengerikan. Seorang wanita memutilasi suaminya menjadi 13 potongan. Diduga, wanita muda itu memutilasi suaminya karena motif dendam. Wanita tersebut gelap mata karena sang suami kawin lagi meski sudah memiliki tiga istri. Mayat si suami dipotong-potong lalu dimasukkan ke tas kresek. Ironisnya, tas kresek berisi 13 potongan tubuh manusia itu diserakkan di bus Mayasari Bakti. Kontan, peristiwa tersebut sempat menggegerkan Jakarta dan nasional.

Sebegitu beringaskah seorang perempuan jika telanjur memendam kekesalan tak terperi terhadap lelaki yang -mungkin- sebenarnya dicintainya?

Tiap orang tentu tak ingin dikhianati, apalagi disakiti. Karena itu, ketika tahu cintanya dikhianati, seseorang bisa mengakhiri drama hidup ke bunuh diri. Saat sadar dirinya telah dibohongi, seseorang pun dapat berubah menjadi serigala buas yang beringas. Tak kenal kasihan, apalagi jika setan sukses membisikkan bujuk rayu busuknya di hati orang yang merasa teraniaya atau tersakiti.

Mata hati dua perempuan yang saya di atas telah tertutup. Sehingga, keduanya tiba-tiba memiliki keberanian dan kenekatan untuk menghabisi nyawa suami masing-masing. Mungkin, wanita tersebut adalah sedikit di antara banyak orang yang mengalami masalah serupa. Yakni, mereka tak ingin dikhianati oleh sang suami.

Kendati ada pula wanita yang mau dimadu, bahkan rela dipoligami, namun angka yang tak setuju dengan hal itu sangat jomplang dibandingkan jumlah wanita yang ridha suaminya menikah lagi. Memang, masalah hati siapa yang tahu meski lidah berkata setuju?

Meski ada perempuan yang nyata-nyata mau diduakan, ditigakan, dst oleh suaminya, tapi benarkah hati kecilnya membiarkan perhatian dan kasih sayang sang suami terpecah? Antara lisan dan hati terkadang sulit diterka meski di luar menampakkan kekompakan.

***

Jika langit sore sedang memperlihatkan wajah cerah kemerahan, seperti itulah rona nenek saya ketika mendapati dua buah daster baru di atas meja dekat kamar saya. Beliau begitu semringah menerimanya. Saya memang sengaja membelikan dua daster tersebut untuk beliau. Tidak ada maksud apa-apa, tidak pula ada perayaan hari istimewa saat itu. Itu saya lakukan karena saya memang ingin menyenangkan hati beliau.

Beliau tertawa kecil, menampakkan deret gigi yang tak selengkap dulu. Bahagia. Bertahun-tahun saya tinggal bersama nenek, tapi rasa perhatiannya terhadap saya masih sama dengan saat saya kuliah dulu. Tak berkurang sedikit pun! Satu hal yang beliau selalu ingatkan kepada saya, yakni jangan sampai lupa mengucapkan terima kasih kepada orang lain yang telah menolong kita. Dan itu saya camkan betul hingga sekarang.

Dulu, saat belum bergelut dengan stroke, nenek tak jarang menghadirkan menu lezat di atas meja makan untuk saya dan kakek di rumah. Beliau pun sering mengingatkan waktu salat kepada saya. Saya pun membalasnya dengan siap sedia mengantarkan beliau ke gereja pada misa kebaktian tiap Minggu. Perbedaan tak jadi alasan kuat untuk mengindahkan rasa toleransi dan menghargai. Kasih sayang beliau mengalir begitu saja bagai sungai merindu samudera. Romansa.

Pernah, suatu ketika nenek menyeduh kopi untuk saya. Sore sebelum berangkat ke Graha Pena, saya menyeruput kopi tersebut. Namun, kali itu rasanya berbeda dibandingkan hari biasanya. Rasanya tak manis, pahit. Rupanya, nenek lupa menambahkan gula di gelas kopi tadi.

Meski demikian, saya menyembunyikan raut menahan rasa pahit kopi itu.

"Jangan lupa habiskan dulu kopimu sebelum berangkat," seru nenek kepada saya.

"Suwun Mbah," jawab saya sambil berusaha menguatkan lidah ini untuk mengucap kata nikmat meski rasa kopi itu amat getir.

Di kesempatan lain, nenek memasak sup buat kami. Kebetulan, ketika itu saya berkesempatan makan bersama setelah sekian lama jarang makan di rumah. Namun, saat menyantap sup tersebut, untuk kali kedua saya mendapati rasanya ambar, tak seperti dulu. Saya baru mafhum bahwa nenek jarang menaburkan garam pada masakan-masakannya setelah divonis memiliki hipertensi.

"Wuik, sueger Mbah," seru saya, menyembunyikan raut muka menahan rasa ambar sup tersebut.

Kalimat pujian tersebut saya lontarkan untuk mengganti ucapan terima kasih. Tak dinyana, selepas mengucapkan "terima kasih" hari itu, esoknya muncul menu perkedel, telur dadar, dan sambal kecap tersaji. Lebih variatif dan rasanya agak "lebih baik".

***

Memang, ucapan terima kasih -dalam bentuk apa pun- kadang mampu membuat seseorang lebih bersemangat. Sayang, kini sekadar terima kasih saja masih sulit dilontarkan sepenuh hati.

Tak sedikit laki-laki yang alpa mengucapkan terima kasih kepada istrinya. Meski hanya berupa sajian seduhan kopi atau teh tiap pagi, seharusnya para istri tersebut amat pantas menerima kata-kata itu, bukan malah perlakuan yang menyakiti atau bahkan menduakannya dengan perempuan lain.

Mungkin, dua wanita yang membunuh suami mereka hanya gara-gara tak terima jadi korban selingkuh atau poligami tak biasa menerima ucapan terima kasih dari sang suami. Bisa pula itu disebabkan hal lain. Meski demikian, jika ditinjau lebih dalam, pengorbanan wanita jauh lebih tinggi ketimbang lelaki. Pasalnya, kaum Hawa harus merasakan bertaruh dengan maut takkala melahirkan putranya, hal yang tak dirasakan oleh kaum Adam.

Karena itu, sungguh pantas wanita mendapatkan haknya yang bisa membuatnya lebih bergairah, berbahagia, dan bersemangat, yaitu ucapan terima kasih. Mudah dituturkan di lidah, tapi acapkali sukar terlontar karena lupa atau sengaja menilainya tak perlu.

Pagi dini hari di kantor, udara mulai menguap. Surabaya basah karena sepanjang sore tadi gerimis tak henti mengakrabi. Sejuk. Tiap malam, saya menerima pesan pendek di ponsel dari pujaan hati. Perempuan cantik tersebut sekadar mengucapkan terima kasih karena saya sering membangunkannya di malam hari untuk bertahajud. Ucapan tersebut terbukti membuat saya kian bersemangat untuk selalu rajin mengirimkan pesan serupa, mengingatkan salat malam. Rindu berpadu bukan karena kami berdua tak berada di kota yang sama, melainkan sang waktu turut bersuka di saat kami saling berkirim pesan zikir untuk Sang Kekasih yang Maha Penyayang. Jika waktu saja berterima kasih lewat zikir siang hingga malam, pantaskah kita mengabaikannya meski itu sebatas ucapan lirih?


Eko Prasetyo
(ran, ketjup mesra di keningmu)

Publikasi: Eramuslim (14 Januari 2009)

Jadi Guru Bergaji Rp 0

Oleh: Eko Prasetyo

Bagaimana rasanya menjadi guru dengan bayaran Rp 0?

Diam-diam, saya tertarik untuk menyaru menjadi guru. Meski tidak duduk di instansi pendidikan resmi, saya benar-benar terjun langsung memberikan materi kepada beberapa "murid" saya.

Bermodal komputer jinjing berukuran mini, saya memulai mencari "customer" yang tidak lain adalah famili sendiri. Karena masih tinggal bersama kakek, saya mengenalkan ilmu komputer kepada beliau.

Dimulai dari pengenalan tentang peranti lunak dan keras, saya mengarahkannya untuk belajar mengetik di atas kotak kecil bernama laptop tersebut. Melihat antusiasmenya untuk belajar, saya merasa senang dan bersemangat untuk menularkan ilmu.

Kebetulan, kakek masih aktif di kegiatan gereja seperti ikut koor lansia di paroki setempat. Jadi, tiap ada undangan atau menulis surat untuk kolega di Nederland, saya membimbing beliau untuk membuatnya sendiri. Ketika ada salah ketik atau bingung memencet tombol di keyboard, beliau melepas tawa berderai. "Hahaha... Wis sepuh dadi tangane timik-timik," ujarnya.

Berawal dari situ, kakek mulai mempromosikan saya ke tetangga sebelah yang memiliki anak usia pelajar SD dan SMP. "Iku loh, nek sinau komputer karo Eko ae," ucapnya penuh semangat.

Uniknya, bukan anaknya yang tertarik, justru orang tua mereka yang ingin belajar kepada saya. "Wis piro Mas bayarane, sing penting aku isok laptopan. Mosok kalah karo Tukul," tutur salah seorang di antaranya.

Kegiatan padat di kantor tak mengurangi semangat saya untuk menularkan sedikit pengetahuan tersebut kepada "murid-murid" saya tersebut. Pernah, suatu ketika komputer jinjing saya rewel karena masalah teknis. Tampak sekali di wajah kakek dan beberapa tetangga yang mengangsu ilmu memendam kekecewaan. Saya bisa memahaminya. Semangat yang luar biasa.

Saat saya sebutkan bahwa di antara mereka telah mengalami peningkatan, wajah mereka terlihat semringah. Bangga. Ada pula yang bermaksud "menitipkan" anak mereka kepada saya untuk diajari komputer. "Iki gawe bensin sampeyan Mas," ujar seorang bapak sambil memasukkan amplop kecil ke saku baju saya.

Kontan, saya menolaknya. "Kalau ada beginian (uang, Red), saya nggak mau ngajari putra Bapak," tegas saya.

Hari demi hari berlalu. Saya bahagia bisa memperkenalkan teknologi dan membuka jendela di lingkungan tempat saya tinggal sekarang.

Kini, saya kembali bertugas di program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Tentu saja, kegiatan itu banyak menyita perhatian, tenaga, dan waktu. Saya jarang bisa berkumpul dengan para "murid" saya tersebut. Rindu rasanya.

Melihat wajah mereka begitu senang, mendengar tawa mereka ketika keliru mengoperasikan komputer, itu menjadi bayaran yang sungguh tinggi bagi saya.

Siang mulai dekat. Sore hendak merapat. Tanah di bumi ini masih datar, tapi semangat saya bagai gelombang. Rp 0 memang tak bisa membeli sebuah ilmu. Namun, bukankah ilmu memang berasal dari sebuah rasa ingin tahu? Ia nol. Kini saya mendapat bayaran yang lebih tinggi daripada sekadar lembaran kertas rupiah. Anda tentu sudah tahu...

Graha Pena, 5 Januari 2009
Publikasi: eramuslim 7 Januari 2009