Jangan Lepas Jilbabmu tanpa Alasan Jelas



Oleh Eko Prasetyo

Tak bisa dimungkiri, mencari kerja saat ini sangat sulit. Persaingannya begitu ketat. Alih-alih mendapatkan pekerjaan, bayang-bayang menjadi pengangguran siap menyapa. Pada zaman serbamahal dan serbasulit ini, apa pun dihalalkan asal tujuan tercapai. Begitu pula dalam hal mencari kerja. Tak sedikit yang menggunakan ”jalan belakang” seperti menyuap.

Moralitas di negeri ini betul-betul telah tereduksi. Coba saja lihat kasus video mesum artis yang menghebohkan dan meresahkan itu. Belum lagi aksi korupsi para pejabat nakal. Di kalangan masyarakat bawah pun, persaingan tak sehat juga terjadi. Misalnya, banyak pedagang mengurangi timbangan demi mengeruk keuntungan. Sungguh, saat ini bangsa kita benar-benar sangat membutuhkan obat paling manjur untuk mengatasi masalah moral ini. Yakni, akhlakul karimah.

Ya, kita sangat membutuhkan oase iman untuk mengatasi krisis moral yang sedemikian hebat ini. Iman adalah benteng paling tangguh untuk menghadang gempuran-gempuran godaan setan dan hawa nafsu. Ketika banyak tayangan televisi yang tidak mendidik, mengikuti majelis taklim bisa menjadi solusi paling jitu untuk memperkuat iman. Ketika banyak kasus korupsi, zikir bisa membentengi diri. Kehormatan sebagai muslim dan muslimah benar-benar harus dijaga sebaik-baiknya.

Namun, itu pun tak mudah. Suatu ketika, istri saya bertutur tentang pengalaman seorang temannya. Teman istri saya tersebut adalah perempuan asal Semarang, Jawa Tengah. Suatu sore, dia bertanya kepada istri saya untuk bisa mendapatkan kos di Pekalongan. Dia menanyakannya karena istri saya kebetulan berasal dari kota itu. Perempuan tersebut menuturkan, dirinya baru saja diterima bekerja di sebuah bank perkreditan rakyat (BPR) di kota pesisir tersebut.

Tak lama, saya mendengar kabar bahwa perempuan itu telah mendapatkan tempat kos di Pekalongan. Saya turut senang dengan kabar tersebut. Namun, beberapa hari kemudian saya mendapatkan kabar mengejutkan. Yakni, teman istri saya itu dipermasalahkan oleh tempatnya bekerja. Kantornya meminta dia untuk melepas jilbabnya. Kepada istri saya, perempuan itu mengatakan bimbang. Di satu sisi, dia tak mau mengorbankan kehormatannya dengan melepas jilbab. Di sisi lain, dia sangat membutuhkan pekerjaan demi mendapatkan penghasilan. Apalagi, mendapatkan pekerjaan pada saat ini sulitnya minta ampun.

Mendengar kabar tersebut, emosi saya tersulut. Saya meminta istri saya turut meneguhkan hati temannya itu. ”Jangan lepas jilbab tanpa jelas, apalagi demi pekerjaan,” tegas saya. Untuk hal yang satu ini, saya termasuk keras. Saya tak segan menegur istri saya apabila alpa memakai jilbab saat ada keluarga berkunjung. Bagi saya, jilbab bukan sekadar aksesori. Namun, lebih dari itu, jilbab adalah simbol kehormatan seorang muslimah. Karena itu, melepas jilbab tanpa alasan jelas bisa dikatakan melepas kehormatan sebagai seorang muslimah.

Saya bersyukur karena akhirnya perempuan tadi mau keluar dari pekerjaannya. Dia mempertahankan jilbabnya, kehormatannya. Saya berdoa semoga Allah SWT memberikan perempuan tadi kemudahan dan karunia atas kesabarannya. Saya yakin, rezeki tidak akan terhenti hanya karena mempertahankan memakai jilbab. Pintu rezeki Allah pasti terbuka sangat luas bagi hamba-hamba-Nya yang mau berusaha dan teguh mempertahankan iman.

”Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakal dan hanya kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada Engkau kami kembali, Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana.” (QS Al-Mumtahanah: 4–5).

Graha Pena, 13 Juli 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Begadang Boleh, Ibadah Lebih Penting!



Oleh Eko Prasetyo

Begadang jangan begadang kalau tiada artinya
Begadang boleh saja kalau ada perlunya
Begadang, Rhoma Irama)

Saya kira, pesan yang disampaikan Rhoma dalam lirik lagu Begadang sudah tepat. Begadang memang tidak layak dipelihara. Sebab, dampaknya tentu tidak baik bagi kesehatan. Jika tubuh tidak fit karena begadang, produktivitas kerja tentu terhambat. Inilah yang banyak terjadi di sekitar kita. Apalagi, saat ini dunia tengah disambut euforia Piala Dunia.

Sebagaimana diketahui, Piala Dunia 2010 yang dilangsungkan di Afrika Selatan (Afsel) menyedot perhatian jutaan manusia. Nah, bagi orang yang tinggal di sebagian wilayah, termasuk Indonesia, pertandingan-pertandingan Piala Dunia bisa dinikmati pada malam dan pagi dini hari. Namun, sejak perempat final hingga final, semua laga dilangsungkan pada dini hari (pukul 01.30 WIB).

Diperkirakan, final Piala Dunia 2010 antara Belanda versus Spanyol ditonton oleh kurang lebih 700 juta manusia. Fantastis. Sepak bola memang olahraga yang paling digemari di muka bumi ini. Wajar jika gaung Piala Dunia di Afsel itu mampu menyedot perhatian jutaan penikmat sepak bola.

Terlepas dari itu, hobi tidak harus mengorbankan hal lain yang jauh lebih penting. Meski menonton sepak bola pada dini hari, ibadah pada pagi buta pun hendaknya tidak ditinggalkan. Misalnya, salat Hajat ataupun salah Tahajud.

Sayang, hal tersebut agaknya masih dianggap kurang penting. Alasannya, toh itu hanya salat sunah. Pandangan seperti inilah yang mampu menggoyahkan ghirah dalam beribadah. Itu harus diubah sekarang juga!

Lihat saja, ketika pertandingan final turnamen sepak bola terakbar sejagat tersebut dihelat, banyak pegawai yang telat ngantor setelah begadang. Karena pertandingan baru berakhir subuh, tidur pun ikut molor. Dampaknya, tubuh kurang fit saat harus bekerja pada pagi hari.

Acara nonton bareng final Piala Dunia yang digeber di berbagai tempat mampu melenakan kita. Begitu enjoy-nya, ibadah salat malam tersisihkan. Efek lainnya dari begadang nonton bareng adalah telat ngantor. Bahkan, beberapa kantor pemerintahan dan kantor dewan tampak lengang. Itu terjadi karena banyak pegawai dan pejabat yang molor setelah begadang nonton sepak bola.

Tentu saja, mengorbankan sesuatu (ibadah dan kerja) yang penting demi hobi atau hiburan adalah langkah yang kurang bijak. Apalagi bila pekerjaan yang ditinggalkan berkaitan dengan pelayanan publik. Busyet dah...

Seorang pakar kesehatan tidur mengatakan, begadang memiliki efek yang kurang baik bagi kesehatan. Salah satunya, membuat tubuh letih sehingga berdampak pada menurunnya produktivitas kerja.

Kalau toh begadang dengan alasan bahwa Piala Dunia kan cuma empat tahun sekali, itu pun sebenarnya bisa disiasati. Kita bisa melihat tayangan ulangnya atau bisa mengaksesnya di internet. Jika kita mampu total demi sebuah hiburan, ibadah pun seharusnya bisa demikian. Tidak adil rasanya jika kita menunda ibadah salat malam demi sebuah hiburan yang tak bisa menolong di akhirat nanti. So, pikirkan kembali jika hendak begadang tanpa alasan yang jelas.

Graha Pena, 12 Juli 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Sajak Riwis



Tuhan, aku enggan miskin
bagiku miskin itu dosa
jika miskin, aku terancam tak bisa sekolah
jika tak sekolah, aku terancam tak berilmu
jika tak berilmu, aku terancam bodoh
jika bodoh, aku tak bisa mencari penghidupan
jika itu yang terjadi, aku bakal miskin
bagiku miskin itu dosa

bukan kaya yang kupinta
aku hanya ingin bisa bersekolah
agar dapat kugenggam ilmu demi cita dan cinta
akan Engkau, negeriku, dan ibu bapakku

2010

Eko Prasetyo/castralokananta

Kuncinya: Bersyukur!



Oleh Eko Prasetyo

Dulu, saya termasuk orang yang tidak peduli dengan manajemen. Hidup rasanya tak teratur. Berangkat ngantor, kerja, pulang, setelah itu istirahat. Begitu yang terjadi setiap hari. Saya merasa tidak dapat apa-apa. Keringat rasanya terbuang sia-sia. Hidup rasanya benar-benar tak teratur.

Hingga suatu ketika, dalam sebuah khotbah salah Jumat, saya menyadari kesalahan itu. Saya mendapatkan pencerahan tentang pentingnya memanajerial segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari. Hidup harus diatur agar lebih teratur. Artinya, saya harus mampu me-manage setiap hal dan dimulai dari diri sendiri.

Awalnya terasa sulit. Ternyata, me-manage waktu untuk menata hidup ini tidak mudah. Dibutuhkan niat yang kuat dan usaha keras. Saya sering mengeluh. Misalnya, meski berusaha me-manage diri sendiri, saya tetap merasa kekurangan. Saya tetap merasa sepi dan tak berarti. Buku-buku bertopik manajemen dan seminar bertema serupa rajin saya ikuti, terutama jika diadakan di Kota Pahlawan. Namun, hasilnya nihil. Saya merasakan banyak ruang kosong di jiwa ini; hampa.

Suatu ketika, saya memanggil tetangga saya, sebut saja Pak Agus, untuk memperbaiki listrik di tempat tinggal saya. Pada saat itu, terjadi dialog yang renyah. Sembari bekerja, Pak Agus berbagi cerita tentang keluarganya. Dia menuturkan bahwa istrinya baru diterima bekerja sebagai cleaning service. Dia mengatakan sangat bersyukur dengan hal itu. ”Alhamdulillah, bisa membantu keuangan keluarga kami,” tuturnya.

Sehari-hari, Pak Agus bekerja sebagai tukang. Dalam sehari, dia mendapatkan upah Rp 30 ribu. Jika ada proyek, itu berarti rezeki nomplok buat Pak Agus. Jika sepi proyek, Pak Agus berupaya menambal kebutuhan dengan menjadi tenaga serabutan. Sedangkan istrinya diupahi Rp 400 ribu sebulan. Jika ditotal, upah Pak Agus plus upah istrinya rata-rata tak lebih dari Rp 1,4 juta per bulan. Mereka punya dua anak laki-laki. Salah satunya memasuki pendidikan di sebuah SMK.

Saya berpikir, untuk bisa hidup layak di kota sebesar Surabaya, tentu join income Pak Agus dan istrinya tidak cukup. Pak Agus melanjutkan ceritanya. Dia dan istrinya juga tak lupa untuk menyisihkan sebagian kecil dari rezeki untuk ditabung.

Meski berpenghasilan sangat mepet, toh dia bisa menyekolahkan dua putranya. Bahkan, dia bisa membeli sebidang tanah di desanya, Tulungagung, Jawa Timur. Dengan perjuangan yang keras, dia kini bisa membeli sepeda motor bekas yang dipakai untuk mencari sesuap nasi bagi keluarganya. ”Yang penting, kita mesti bersyukur dengan apa yang diberi oleh Gusti Allah,” pesannya. Subhanallah.

Saya begitu malu dengan diri sendiri. Saya kadang merasa kurang dengan pendapatan yang lebih sedikit di atas penghasilan Pak Agus dan istrinya. Pelajaran yang saya dapat hari itu adalah salah satu manajemen terbaik, yakni bersyukur. Hal yang sangat dianjurkan dan mudah dilakukan, tapi kerap terabaikan.

”Wahai Tuhanku, jadikanlah aku orang yang pandai mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan jadikanlah aku orang yang beramal salih yang Engkau ridai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan orang-orang yang salih.”

Graha Pena, 6 Juli 2010

Rencana Allah Itu Indah



Oleh Eko Prasetyo

Ketika tengah mengerjakan tugas kantor malam itu, ponsel saya berbunyi. Ada pesan pendek. Bunyinya: ”Mas, cepat pulang ya, perutku sakit banget.”

Rupanya pesan tersebut berasal dari istri saya. Saya agak ragu untuk mengiyakan. Sebab, saat itu belum waktunya jam pulang alias belum deadline. Saya masih harus menyelesaikan editing berita. Jam menunjukkan pukul sekitar 22.00. Dalam kebimbangan itu, ponsel saya kembali berbunyi. Istri saya kembali mengeluh sakit dan minta diantar ke rumah sakit.

”Sebentar sayang, aku selesaikan mengedit satu berita dan segera pulang,” balas saya. Tanpa pikir panjang, saya meminta izin kepada atasan untuk pulang dengan alasan mengantarkan istri ke rumah sakit. Alhamdulillah, saya mendapatkan izin pulang.

Sesampai di rumah, saya melihat istri saya sudah lemas dan menangis. Wajahnya pucat sekali, seperti menahan sakit yang amat sangat. Dia mengeluhkan sakit pada bagian perut. Kami menduga bahwa itu adalah sakit maag.

Saya membawa istri saya ke rumah sakit terdekat di daerah Sepanjang, Sidoarjo. Di sana, dia diagnosis terkena radang lambung. Diduga, luka pada lambunglah yang membuat istri saya mengeluh sakit. Setelah diperiksa dan mendapatkan obat, kami pulang.

Sekitar pukul tiga dini hari, istri saya terbangun dan kembali merintih sakit. Kali ini, dia merasakan sakit yang lebih hebat daripada sebelumnya. Terus terang, saya agak panik waktu itu. Saya lantas mengambil botol, lantas saya isi dengan air hangat. Berikutnya, saya mendekapkannya pada perutnya. Namun, istri saya tetap mengeluhkan sakit. Jadilah, pagi itu saya begadang merawat istri dan menenangkannya.

Paginya, pukul 06.00, saya kembali membawanya ke dokter di daerah Kodam Brawijaya. Alhamdulillah, setelah mendapatkan perawatan intensif, istri saya tidak mengeluhkan sakit serupa. Saya kemudian mewanti-wanti istri saya untuk menjaga pola makannya agar maag tersebut tidak kambuh.

Sejujurnya, malam sebelum ketika istri saya sakit tersebut, di dompet saya hanya ada uang Rp 15 ribu. Sesaat sebelum saya izin pulang ketika itu, saya diberi uang yang jumlahnya lumayan oleh seorang pejabat di redaksi. Saya baru mafhum bahwa itu adalah uang terima kasih karena saya telah membantunya dalam persiapan seminar internasional. Beliau kebetulan menjadi salah satu narasumbernya.

Saya betul-betul tak menyangkanya. Mungkin, ini pertolongan dari Allah SWT semata. Kerap kali, saya mengalami hal-hal yang kadang sulit diterima akal sehat. Misalnya, ketika tak punya uang dan saya membutuhkannya, ada saja rezeki berupa materi yang datang.

Dulu, ketika memiliki adik asuh yang yatim piatu, rezeki itu seolah-olah tak henti menyapa. Jika dinalar dengan logika, gaji saya mungkin tak cukup untuk membantunya. Apalagi, saat itu, saya masih punya cicilan kredit motor dan utang lainnya.

Karena itu, hingga kini, saya tak bosan meminta istri saya untuk rajin bersedekah selagi masih sehat. Sebab, Allah tentu akan mengganti sedekah ikhlas dengan berlipat-lipat. Saya sangat sadar bahwa dalam setiap hasil keringat ini ada hak orang duafa dan anak yatim. Meskipun hanya menjadi buruh dengan penghasilan tak seberapa, saya berjanji untuk berusaha menjaga hak-hak mereka. Ketika bersedekah, saya tak berharap menerima pertolongan seperti ketika istri saya sakit tadi. Mudah-mudahan selalu dan tetap seperti itu.

”Ya Allah luruskan niatku dalam memelihara cinta-Mu dengan tanggung jawabku sebagai anak, suami, ayah, dan pemimpin bagi keluargaku.” Amiin.

Graha Pena, 4 Juli 2010