Semoga Yang Terakhir



Oleh: Eko Prasetyo

”Tak ada cinta paling indah selain doa
Tak ada yang paling rindu selain bertemu denganMu”

Dua bait di atas saya tulis beberapa saat setelah mendengar kabar jatuhnya pesawat Hercules C-130 milik TNI-AU. Hari itu juga, Kadispen TNI-AU merilis bahwa 98 orang meninggal, termasuk warga sipil, dalam musibah di Desa Ngeplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, tersebut. Innalillahi wainna ilaihi rajiuun.

Pada hari kecelakaan itu, saya mengikuti beritanya sambil melanjutkan pekerjaan hingga deadline tiba. Dini harinya setiba di rumah, saya masih belum bisa memejamkan mata karena menyempatkan menonton liputan khusus tentang kecelakaan itu lewat televisi.

Di lokasi musibah, terlihat beberapa rumah hancur tak berbentuk setelah diterpa jatuhnya pesawat. Kecelakaan hebat di Magetan itu adalah yang kedua sepanjang April–Mei 2009. Pada 6 April 2009, pesawat TNI-AU jenis F-27 Troopship A-2703 jatuh dan terbakar di Lanud Husein Sastranegara, Bandung. Enam awak pesawat dan 18 prajurit elite Pasukan Khas (Paskhas) TNI-AU tewas seketika. Deret pesawat milik TNI yang celaka kian bertambah panjang.

Kontan, musibah tersebut memarakkan kembali polemik tentang anggaran militer di negeri ini. Sebagian menuding bahwa pemerintah selalu berdalih pesawat yang kecelakaan masih layak terbang meski usia pesawat tergolong uzur. Sebagian lainnya meminta pemerintah seharusnya lebih memperhatikan alat utama sistem pertahanan (alutsista) ketimbang menyoal minimnya anggaran militer. Apa pun itu, faktanya, satu per satu prajurit TNI berguguran, bukan di medan perang, tetapi tewas karena kecelakaan pesawat.

***
Apabila Allah sudah berkendak, maka terjadilah apa yang Dia kehendaki. Kun fayakun. Kedatangan musibah sudah tentu tidak diinginkan oleh setiap orang. Namun, jika itu sudah menjadi ketetapan-Nya, tentunya seorang hamba tidak bisa mengelak. Meski demikian, selalu ada hikmah dalam setiap musibah.

Pernah, saya berniat pulang ke Bekasi dengan menumpang pesawat ke Bandara Soekarno-Hatta. Saya memilih perjalanan udara karena alasan waktu. Apalagi, pekerjaan di kantor tak memungkinkan saya untuk mengambil libur lebih lama. Saat itu ada delay sehingga saya mesti menunggu agak lama jam keberangkatan. Cuaca saat itu tak dapat dipercaya. Sebentar panas, kemudian mendadak turun hujan rintik lalu lebat.

Sekian lama menunggu tak jua ada kabar pesawat segera diberangkatkan. Hati saya waswas. Meski bukan kali pertama naik montor mabur (kendaraan terbang), saat itu timbul ketidaktenangan. Entahlah.

Masih terngiang di telinga ini tentang musibah yang menimpa Adam Air pada awal Januari 2007.Pesawat komersial tersebut ditengarai meledak di udara sebelum serpihannya banyak ditemukan di perairan Majene, Sulawesi.

Untuk membunuh rasa waswas dan takut itu, mulut ini tak berhenti membaca doa. Di tengah cuaca yang saat itu kurang bersahabat, saya hanya berharap diberi keselamatan sampai di tujuan. Kekhawatiran memunculkan rasa takut mati. Karena itu, saya berupaya menenangkan diri dan berdoa seolah itu doa terakhir, berharap melakukan ibadah terbaik jikalau umur saya hanya sampai di situ.

Alhamdulillah, saya sampai di tempat tujuan dengan selamat meski diselimuti rasa waswas saat keberangkatan. Dapat bersilaturahmi dengan kedua orang tua menjadi kebahagiaan luar biasa setelah sekian lama saya merantau di Surabaya.

***
Allah membuktikan kebesaranNya. Dan selalu begitu. Dalam musibah hebat di Magetan itu, di antara puluhan mayat korban kecelakaan, 15 penumpang termasuk balita ditemukan selamat di antara serpihan bangkai pesawat yang terbelah dan terbakar itu. Allahu akbar.

Balita bernama Angga itu dirawat intensif di RSUD dr Soedono Madiun bersama kakaknya, Anggun, yang juga selamat dari musibah tersebut. Keduanya menderita cedera otak berat. Namun, ibu mereka, Lemi Muhanda, meninggal dunia dengan kondisi mengenaskan.

Celaka dan musibah kerap menimpa pesawat-pesawat militer kita. Dan kita selalu berharap itu menjadi yang terakhir. Semoga tragedi tersebut memang benar-benar yang terakhir dan pemerintah tak lagi menunggu hingga upacara khidmat kesekian untuk menyambut jenazah para prajuritnya yang gugur karena kecelakaan.


*Lewat tulisan ini, saya turut berduka cita mendalam kepada para keluarga korban. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.

Surabaya, pengujung Mei 2009
(dimuat eramuslim, 27 Mei 2009)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kematian akan datang, itu adalah sebuah kepastian. namun kapan, dimana dan dengan jalan apa dia datang, tiada satupun yang tahu. yang terpenting adalah bukan kapan, dimana dan dengan jalan apa kematian menjemput kita, tapi lebih perlu dipersiapkan bahwa kapanpun, dimanapun dan dengan jalan apapun kita sudah menyiapkan perbekalan untuk kehidupan abadi kelak. kita harus selalu ingat, bahwa siap tidak siap, kematian tak pernah memperdulikan itu.