Jika Aku Jatuh Cinta




"Ya Allah, karuniailah aku dengan
cinta kepada-Mu
cinta kepada orang-orang yang mencintai-Mu
cinta kepada orang-orang yang mendekatkan aku akan cinta-Mu
Jadikanlah cintaku kepada-Mu lebih dari diriku sendiri
dan dari kecintaanku akan air yang sejuk"

Keteladanan Laskar Pelangi




Oleh: Eko Prasetyo

DI TENGAH banjirnya sinema dan tayangan televisi yang kurang mendidik, film Laskar Pelangi menggebrak Indonesia. Tak bisa dimungkiri, memang tidak banyak karya sinema di negeri ini yang bisa dipertanggungjawabkan secara estetika, sekaligus dapat menginspirasi penonton.

Film Laskar Pelangi termasuk yang sedikit itu. Film tersebut sangat enak ditonton. Namun, film itu akan lebih bernilai jika sejumlah nilai kearifan yang tersimpan di dalamnya dijadikan inspirasi untuk bekerja keras menghadapi masalah. Tak ada pahlawan dalam film tersebut. Yang ada adalah kisah anak manusia biasa-biasa saja, tapi mereka percaya bahwa mimpi merupakan hak setiap orang. Para tokohnya memilih kerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpinya itu.

Tak jauh berbeda dari filmnya, novel Laskar Pelangi juga menuai sukses besar. Maka, tak berlebihan jika novel itu disebut sebagai fenomena. Asrori Karni (Laskar Pelangi: The Phenomenon, 2008) mengungkapkan, ada empat alasan mengapa penerbit dan dia menyebut Laskar Pelangi sebagai fenomena.

Pertama, novel tersebut telah menginspirasi jutaan pembacanya. Siapa sangka, gara-gara membaca novel itu seorang mahasiswa di Bandung bernama Nico bertekad menyelesaikan rehab kebergantungannya terhadap obat-obat terlarang. Padahal, orang tuanya sudah putus asa melihat perkembangan anaknya tersebut.

Tidak hanya itu, Nico juga termotivasi, sehingga bertekad menyelesaikan penulisan skripsinya yang terbengkalai selama satu tahun. Ketika Nico membaca novel itu, air matanya berderai seolah membasuh kekerasan hatinya selama ini. Novel Laskar Pelangi membuat Nico terlahir kembali.
Contoh berikutnya, di Cirebon, Jawa Barat, seorang guru honorer di SD Negeri Pamijahan tidak lagi peduli dengan gaji yang dia terima. Selain itu, dia tidak peduli apakah pemerintah akan mengangkatnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sebagaimana yang telah dijanjikan selama ini atau tidak. Dia malu kepada sosok Ibu Muslimah. Laskar Pelangi berhasil membakar semangat guru tersebut untuk fokus kepada siswanya. Dia selalu memotivasi murid-muridnya —yang sebagian besar anak buruh penganyam rotan— untuk bangkit dan bermimpi.

Kedua, novel Laskar Pelangi terjual puluhan ribu eksemplar setiap bulan. Bisa dibayangkan, berapa eksemplar yang terjual dalam setahun. Kenyataannya, novel itu memang dibaca banyak orang. Namun, lebih dari itu, Laskar Pelangi telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan. Bahkan, novel tersebut menggambarkan bahwa kita sesungguhnya sedang mencari role model.



Menemukan Keteladanan
Kita adalah bangsa yang saat ini telah kehilangan keteladanan. Di Laskar Pelangi, kita kembali menemukan keteladanan itu lewat sosok Ibu Muslimah. Banyak orang membeli novel Laskar Pelangi bukan semata-mata karena ingin paham tentang sebuah cerita. Lebih dari itu, mereka ingin belajar, menemukan inspirasi, sekaligus ingin bercermin. Laskar Pelangi lebih dari sekadar cerita sastra.

Ketiga, Laskar Pelangi adalah buku terlaris dalam sejarah sastra Indonesia. Fakta itu telah mematahkan anggapan banyak pengamat amatir yang sering berkoar bahwa etos baca orang Indonesia rendah. Nyatanya tidak demikian. Minat baca orang Indonesia sebenarnya cukup tinggi —meski tetap tidak sebanding dengan jumlah populasinya—; dan itu sangat bergantung kepada kualitas bukunya. Karena itu, untuk memupuk minat baca yang sedemikian tinggi, kita sangat berharap agar banyak buku-buku bermutu lahir di Indonesia.

Keempat, Andrea Hirata, sang penulis, dibayar Rp 50 juta untuk berbicara tentang sastra selama 90 menit. Menariknya, itu terjadi di Sumbawa, NTB, pada 4 Agustus 2008. Jamaluddin Malik, sang bupati, merasa tidak rugi meski harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. ”Enggak rugi kita,” kata Jamaluddin. ”Itu untuk pendidikan. Itu investasi jangka panjang. Hasilnya memang baru dilihat lama.” (hlm 201).

Dalam bahasa yang cukup menggugah, sang bupati berkomentar tentang kehadiran Andrea Hirata di Sumbawa, ”Laskar Pelangi diharapkan bisa menyemangati warga Sumbawa. Para guru juga bisa menyerap semangat Bu Muslimah.” (hlm 203).

Berhasil Menyihir
Tampaknya, beranjak dari empat hal tersebut, tidak ada yang membantah jika Laskar Pelangi telah menjelma menjadi sebuah fenomena luar biasa. Novel dan sinema itu berhasil menyihir siapa saja. Mulai anak-anak, para orang tua, guru, artis, hingga pejabat. Mereka sadar, bahwa hari ini mereka membutuhkan energi dan semangat baru untuk bisa bangkit.

Ada kesan kuat, mereka menyadari bahwa kemajuan itu harus dibangun dari sebuah keikhlasan dalam memberi pengabdian. Tekad dan kerja keras mewujudkan mimpi itulah kebajikan kisah itu. Para penikmat Laskar Pelangi îtercekamî, karena itu bukan cerita fiktif. Kemiskinan akut dan sepuluh anak yang menolak tunduk kepada keterbatasan tersebut benar-benar nyata. Itu kisah sejati Andrea Hirata dan kawan-kawan yang dikemas secara sastra, yang kemudian difilmkan oleh Riri dengan apik.

Jika Andrea Hirata dan kawan-kawannya menolak menyerah, kita tahu bahwa nilai itulah yang seharusnya diterapkan untuk menangani sejumlah masalah pendidikan di negeri ini. Sebab, di sekitar kita masih ada lebih dari setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) yang putus sekolah. Bangunan sekolah yang memprihatinkan pun masih mudah ditemui di daerah-daerah lain, selain Belitong, setting cerita Laskar Pelangi.

Dari Belitong, kebajikan moral itu telah diajarkan anak-anak yang hidup dalam kemiskinan. Karena itu, kita dan para pemegang kuasa mesti belajar dari mereka.

–– Eko Prasetyo, penulis dan editor, tinggal di Surabaya.

dimuat: Harian Suara Merdeka (22 Oktober 2008)
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=35821

Degradasi Moral Bangsa Ini

Oleh: Eko Prasetyo

Suatu sore di kantor, saya berbincang dengan salah seorang redaktur senior. Dalam pembicaraan singkat tersebut, saya melemparkan joke tentang kasus salah tangkap polisi terhadap Kemat cs. Diekspos secara gencar di media massa dan elektronik, saya menuangkan pandangan tentang topik tersebut di salah satu surat kabar.

"Isin tenan. Ini kasus yang kesekian," tutur saya kepada redaktur tersebut.

"Tak mengherankan. Sebab, bangsa kita mengalami degradasi moral yang amat akut," timpalnya.

Kata degradasi moral itulah yang saya garis bawahi dan membuat saya merenung agak lama seusai perbincangan tersebut.

Tidak hanya dalam institusi seperti Polri, bahkan segala aspek masyarakat kita pun telah mengalami penurunan moralitas yang kronis.

Dalam kasus salah tangkap itu, betapa polisi sangat ceroboh dalam bertindak. Mereka telah mencederai aturan main yang bahkan mereka buat sendiri. Entah atas alasan ingin kasus tersebut segera tuntas atau mendapat pujian masyarakat luas karena pelaku cepat tertangkap, polisi masih saja menggunakan "cara lama" untuk mengungkap suatu kasus.

Bangsa kita selalu senang menggunakan kata "profesional" dalam setiap motonya. Nyatanya, itu seperti kosmetika belaka. Suka memakai tapi tak paham betul substansinya. Celaka.

Bangsa kita terjebak oleh arus kapitalis. Masyarakat kita kembali diingatkan pada torehan pena pujangga Ronggowarsito: yen ora melu edan, ora keduman (jika tak ikut gila, tak kebagian). Serakah, itulah gambaran bangsa kita sebenarnya.

Jatuhnya moralitas bangsa ini memang tak seheboh terpuruknya pasar finansial global. Namun, perlahan tapi pasti, bangsa ini akan terbawa gaya gravitasi alias menukik.

Kita dengan mudah terlalap iklan. Gaya hidup konsumerisme dan hedonisme nyaris tak terlepaskan dari masyarakat kita. Kita terkungkung pada kemasan, tanpa mengindahkan substansi isi. Beli karena keinginan, bukan kebutuhan, itulah bangsa ini. Orang kita mengaku pintar, tapi mudah diperalat orang asing. Bangsa ini mengaku kaya, tapi kekayaan melimpah itu tidak dinikmati oleh warganya.

Banyak guru yang berteriak atas nama perjuangan hati nurani untuk nasib mereka, tapi mutu pendidikan negeri ini tak kunjung membaik. Kita saling menyalahkan antara birokrasi dan individu tanpa mau instrospeksi terhadap titik kelemahan yang tentu saja mutlak kita miliki. Wajar jika wajah pendidikan bangsa ini begitu buram. Sebanyak 210 juta populasi di Indonesia menjadi salah satu angka terpadat di dunia. Sayang, angka buta huruf, kemiskinan, dan pengangguran tercatat sangat tinggi dibandingkan negara di tingkat Asean saja. Masya Allah.

Allah tak pernah salah membuat takdir atas sebuah bangsa. Sebab, tidaklah nasib suatu kaum itu berubah, kecuali mereka mengubahnya sendiri. Artinya, Allah pun mengajarkan kita mandiri dan tak putus berusaha.

Itu sesuai dengan firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka berusaha untuk mengubah keadaan mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11).

Ketika kejujuran menjadi barang langka di negeri ini, akankah masih ada orang yang tulus ingin mengoleksinya? Kejujuran adalah benang merah untuk menambal degradasi moral tersebut. Bukan hanya bangsa ini, tapi juga hati kita, hamba Tuhan yang tak luput dari khilaf dan dosa. Jujur itu mudah, tapi bersuara jujur di negeri ini justru dimusuhi. Sudahkah kita jujur pada diri sendiri?

Graha Pena Jawa Pos, 22 Oktober 2008

(dimuat Eramuslim, 23 Oktober 2008)

Pesan Ibu




Oleh: Eko Prasetyo

Shalat adalah salah satu di antara lima rukun Islam. Selain ibadah wajib, shalat adalah tiangnya agama. Barang siapa mendirikan shalat, maka dia telah menegakkan tiang agama. Barang siapa meninggalkan shalat, maka dia telah merobohkan tiang agama. Rasulullah SAW bersabda, ”Batas antara seseorang dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim).

Sebelum Ramadhan lalu, kedua orang tuaku berkunjung ke Surabaya. Aku menjemput kedatangan beliau berdua di Stasiun Gubeng. Cuaca Surabaya saat itu memang cukup panas. Setelah menunggu beberapa lama, aku melihat wajah ayah dan ibu saya di depan pintu peron keluar. Dibalut jilbab, aku menatap wajah ibu dan mencium tangan beliau.

Aku lantas membawakan tas dan barang bawaan mereka ke dalam kendaraan. Kemudian kami sama-sama menuju ke ke rumahku. Cukup lama aku tak melihat wajah ibu karena jarang pulang ke Bekasi. Karena itu, kedatangan beliau menjadi penawar kangen. Hanya dua hari bermalam sekaligus menengok keluarga di Surabaya, kedua orang tuaku langsung berpamitan kembali ke Bekasi. Sebelum sepur berangkat menuju Jakarta, ibu berkali-kali berpesan kepadaku untuk selalu menjaga shalat. ”Insya Allah. Suwun, Bu, ” jawabku.

***
Suatu senja, seorang wanita berjalan tertatih-tatih. Pakaiannya serbahitam, seolah menandakan bahwa dia tampak sangat berduka. Kerudung menangkup rapat hampir seluruh wajahnya, tanpa rias muka atau perhiasan yang menempel di tubuhnya. Kulitnya bersih, badannya ramping, dan wajahnya cantik. Namun, itu tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah menyeruak hidupnya. Dia melangkah terhuyung-huyung mendekati kediaman Nabi Musa as. Dia mengetuk pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam. Kemudian, terdengarlah ucapan dari dalam, ”Silakan masuk.” Wanita cantik itu lalu masuk. Kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala dia berkata, ”Wahai nabi Allah, tolonglah aku.

"Doakan aku agar Allah berkenan mengampuni dosa keji ku". ”Apakah dosamu wahai wanita cantik?” tanya Nabi Musa as terkejut. ”Aku takut mengatakannya, ” jawab wanita cantik itu. ”Katakanlah jangan ragu-ragu, ” desak Nabi Musa as. Dengan terbata-bata, wanita itu bercerita, ”Aku telah berzina.” Kepala Nabi Musa as terangkat. Hatinya tersentak. Wanita itu meneruskan ceritanya. ”Dari perzinaan itu, aku lantas hamil. Setelah anak itu lahir, aku langsung mencekik lehernya hingga tewas, ” ucap wanita tersebut seraya menangis sejadi-jadinya. Nabi Musa as murka. Dia menghardik, ”Enyahlah kamu dari sini agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!

Nabi Musa as lalu memalingkan wajahnya karena tidak sudi melihat wanita tersebut. Hati perempuan berparas ayu itu seperti kaca yang membentur batu. Dia merasa hancur luluh. Lalu, wanita itu segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari rumah Nabi Musa as. Ratap tangis wanita itu amat memilukan. Dia tak tahu harus ke mana lagi hendak mengadu. Bahkan, dia tak tahu hendak ke mana membawa langkah kakinya.

Bila seorang nabi saja menolaknya, lalu bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya. Terbayang oleh dia betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Dia tak tahu bahwa sepeninggalnya malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa as. Malaikat Jibril bertanya kepada nabi Musa as, ”Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertobat atas dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang paling besar daripadanya?” Nabi Musa terperanjat. Dosa apakah yang lebih besar kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?

Maka, Nabi Musa as dengan penuh rasa penasaran bertanya kepada malaikat Jibril. ”Adakah dosa yang lebih besar daripada wanita yang nista itu?” tanya nabi Musa as. ”Ada”, jawab malaikat Jibril dengan tegas. ”Dosa apakah itu?” tanya Nabi Musa semakin penasaran. ”Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan tanpa menyesal, ” jawab malaikat Jibril. Orang tersebut dosanya lebih besar daripada seribu kali berzina.

***

Suatu malam, di ujung ponsel, aku mendengar ibu kembali berpesan agar saya tidak meninggalkan shalat. ”Wis shalat ta?” begitu ibu selalu bertanya kepadaku. Hal itulah yang selalu beliau sampaikan tiap kami bertemu atau berkomunikasi lewat telepon. Aku kemudian merenung dengan hikmah kisah nabi Musa as serta wanita pezina dan pembunuh tadi. Aku bersyukur masih sering diingatkan ibu untuk selalu menjaga shalat. Terima kasih bunda. Zijn euwige liefde...

Dimuat: Eramuslim, 11 Oktober 2008