Saat Perut Lapar



catatan: Eko Prasetyo

Entah, kapan kali terakhir saya melihat foto seorang bocah kurus kering sekarat yang di sampingnya ditemani burung bangkai. Foto yang pernah menjadi salah satu foto terbaik dunia itu diambil di salah satu negara Afrika. Sang fotografer begitu jitu membelalakkan mata dunia lewat foto tersebut. Beberapa waktu kemudian, sang fotografer mengalami depresi berat dan bunuh diri setelah mengambil gambar itu.

Pesan sosial dalam foto tersebut begitu dalam. Burung bangkai di samping bocah itu bagai malaikat maut yang siap mencabik-cabik tubuh sekarat tersebut. Menggetarkan. Betapa di sudut dunia yang semakin renta ini, lapar bisa menjadi pembunuh. Bukan salah Tuhan membuat takdir. Bukan salah pemimpin yang lalai. Bukan salah kita yang terkadang masih acuh. Bukan salah siapa. Sebab, menyalahkan adalah sikap yang menertawai kekerdilan sendiri.

Di Indonesia, kasus balita busung lapar dan bayi kurang gizi mencapai angka yang mengkhawatirkan. Sekitar 25 persen penderita di antaranya meninggal. Ramainya bursa kampanye untuk pemilihan kepala daerah, bahkan kampanye tersembunyi pemilihan presiden yang masih jauh pada 2009, telah menghabiskan uang miliaran rupiah. Tujuan utamanya: mencari dukungan! Seperti yang sudah-sudah, pergantian kepemimpinan bak aroma sedap malam yang harumnya mudah hilang dalam sekejab.

Menjadi pemimpin adalah tugas mulia. Namun, jika ada pemimpin yang tidak tahu terdapat 20.000 lebih balita meninggal di antara 210 juta lebih rakyatnya, ini sangat ironis. Jumlah itu bukan angka kematian yang disebabkan penyakit umum, tapi lapar. Ya, rakyat lapar!

Andai ada pemimpin yang tulus menengok langsung wajah-wajah lesu tanpa gairah karena lapar di Wamena, Kupang, Ponorogo, Kendari, Sampang, Boyolali, atau di mana pun di area kekuasaannya. Tanpa jas, tanpa dasi, tanpa basa-basi. Tanpa omong kosong tentang birokrasi kompleks. Satu bangsa, sakit satu anggota badan, terasa di seluruh tubuh. Mereka butuh makanan, bukan janji kesejahteraan. Orang lapar hanya terpikir satu kata: makan.

Manakala satu kaki saya tak mampu menyangga badan untuk menunaikan salat Jumat kala itu, merebah menghadap kiblat mengucap syukur dalam empat rakaat zuhur ini. Teringat, bayi perempuan berusia empat bulan di sebuah kampung di Nginden, Surabaya, yang menderita hydrocepallus. Bantuan duafa dari sebuah lembaga amil untuk keluarga bayi tersebut menggerakkan nurani saya. Saya yang tidak punya apa-apa akhirnya menjual ponsel lawas saya karena keinginan untuk melihat bayi cantik tersebut bisa survive. Meski, uang tersebut tak ada artinya buat biaya pengobatannya. Saat menggendongnya, keharuan membuncah kala teringat pada foto bocah malang di Afrika tersebut. Bahagia sekali melihat ibu dari bayi itu tersenyum dan memeluk tubuh saya.

Cat: Nama fotografer itu Kevin Carter, fotografer Reuters. Foto tersebut dimuat di New York Times pada 1994. Carter memenangi Pulitzer untuk foto berita terbaik tahun
itu.

Surabaya, November 2007

Tidak ada komentar: