Pesuruh vs Pembelajar Mandiri

Oleh Eko Prasetyo

Disadari atau tidak, kebanyakan anak didik kita telah dibentuk untuk memiliki karakter pesuruh. Penasaran? Mari kita buktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat penjelasan tentang kata ”pesuruh” yang berasal dari kata dasar ”suruh”. Berikut paparannya. 1su•ruh n perintah (supaya melakukan sesuatu); pe•su•ruh n orang yang disuruh; suruhan; pe•nyu•ruh n 1 orang yang menyuruh; 2 kl perbuatan (hal dsb) menyuruh (KBBI edisi IV, Pusat Bahasa, 2008).

Lantas, apa hubungannya anak didik dengan karakter pesuruh? Contoh yang paling mudah dan sederhana adalah jam belajar anak. Di Indonesia, sangat mudah menebak jam belajar kebanyakan pelajar. Umumnya, mereka belajar antara pukul 19.00 hingga 21.00. Di atas pukul itu, biasanya mereka lembur belajar untuk menghadapi ujian esoknya alias sistem kebut semalam (SKS).

Memang, tidak ada data akurat tentang penerapan jam belajar di rumah pasti seperti itu. Kendati demikian, tidak sulit menemukan anak usia pelajar yang menerapkan sistem belajar seperti itu.

Faktanya, tidak sedikit pelajar yang berontak. Ketika orang tua memerintahkan mereka belajar pada jam-jam tersebut, anak-anak itu mulai membuka buku. Namun, tunggu dulu... Ada anak yang membuka buku pelajaran, tapi di dalamnya terdapat komik. Bahkan, ada seolah-olah membaca buku pelajaran, tapi pikiran ke mana-mana.

Dengan demikian, anak-anak tersebut, para pelajar, belum paham betul tugas dan tanggung jawab mereka. Belajar adalah tugas mereka sebagai pelajar. Namun, kebanyakan baru mau belajar jika disuruh atau bahkan dipaksa.

Mereka belum dibentuk untuk memiliki karakter pembelajar mandiri. Artinya, mereka baru mau sinau (belajar) ya kalau disuruh atau dipaksa-paksa. Meski, toh banyak pula anak didik yang mau belajar tanpa disuruh-suruh. Mereka menganggap belajar adalah kebutuhan.

Namun, tak bisa dimungkiri, angka ”pesuruh” atau anak didik belum memiliki karakter pembelajar mandiri masih banyak. Indikasinya adalah minimnya budaya membaca dan menulis di kalangan anak didik. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada output atau hasil dari kegiatan pendidikan itu sendiri.

Minimnya budaya membaca dan menulis sangat berdampak pada bangsa ini. Karakter ”pesuruh” hanya menghasilkan orang-orang yang menjiplak skripsi, tesis, atau desertasi orang lain. Karakter ”pesuruh” berimbas pada guru yang menyontek karya tulis ilmiah orang lain.

Banyak faktor yang memengaruhi karakter ”pesuruh” di kalangan anak didik kita. Misalnya, sekolah yang seperti penjara, guru menerangkan dengan cara membosankan, dan lain-lain.

Karena itu, menanamkan kesadaran untuk menjadi pembelajar mandiri kepada anak didik adalah hal yang mutlak. Tidak mudah memang, dibutuhkan kesabaran, perhatian, dan bimbingan yang terus-menerus.

Belajar adalah kebutuhan bagi pelajar, bahkan kewajiban bagi setiap insan. Karena itu, tak perlu disuruh-suruh untuk melakukan kegiatan belajar. Rasulullah SAW bahkan berpesan: ”Utlubul ’ilmi minal mahdi ilal lahdi” (Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat).

Maka, salah satu pekerjaan rumah besar saat ini adalah menjadikan para anak didik kita sebagai pembelajar mandiri, tidak menjadi ”pesuruh”. Bukankah kita pun tak mau dan tidak terima apabila bangsa ini disebut sebagai bangsa ”pesuruh”?
Long life education...

Graha Pena, 8 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Tidak ada komentar: