Oleh Eko Prasetyo
Sejak puluhan tahun lalu hingga kini, ibu masih setia bangun pagi sebelum fajar menyingsing. Ia menyiapkan bahan dan mengolahnya menjadi penganan kecil.
Selanjutnya, aneka kue itu ia titipkan di warung-warung, termasuk kantin sebuah sekolah. Ya, ibu bekerja sebagai penjual kue dan sesekali membuat pesanan tetangga.
Lewat itu pula, ibu membantu penghasilan bapak yang mencari rezeki sebagai sopir. Soal penghasilan, jangan tanya. Yang penting cukup untuk menghidupi mereka dan kami, tiga anaknya.
Tak jarang, ibu mendapatkan protes karena telat mengirimkan pesanan. Tak jarang pula, beliau menerima pujian atas hasil jerih payahnya yang terkenal enak dan murah itu. Dari kue-kue bikinannya, kadang saya dan adik-adik memperoleh lembaran rupiah untuk jajan.
Sedangkan bapak kini lebih banyak berada di rumah. Usia tak bisa dibohongi, ia mengaku sudah tak kuat lagi menginjak pedal gas, kopling, dan rem untuk mengemudi jarak jauh. Saya ingat betul pernah ikut mengerneti bapak dari Jakarta ke Surabaya. Saat itu saya masih kuliah di Kota Pahlawan. Karena itu, sekalian pulang ke Surabaya, saya numpang dan menjadi kernet baginya. Meski, ia tentunya punya kernet.
Saya menyaksikan bapak sesekali menyeka keringatnya dengan handuk kecil dan saya duduk di samping pintu depan bus. Sesekali kali pula matanya tampak menahan kantuk karena mengemudi jarak jauh. Sebotol kecil air mineral berisi kopi menemani bapak di samping kemudi. Dengan hasil menginjak pedal gas dan rem itulah, saya bisa kuliah. Ini tentu akan saya ingat sampai mati, tentang kebaikan mereka: ibu dan bapak.
***
Sabtu, 28 Agustus 2010, saya mendapatkan kesempatan menjadi salah satu juri dalam Festival 1.000 Anak Yatim Menulis di gedung DBL Arena Surabaya. Acara itu dibuka langsung oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan diliput banyak media. Pada acara yang terhitung pertama di Indonesia (karena melibatkan anak yatim menulis) itu, ada 99 karya terbaik yang akan dibukukan.
Kegiatan tersebut juga didukung juri dari kalangan guru dan teman-teman dari Forum Lingkar Pena Jatim. Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada seorang novelis yang mengundang saya sebagai salah satu juri. Sebab, saya bisa berinteraksi langsung dan belajar banyak pada anak-anak yatim piatu itu.
Ada dua tema yang diusung dalam festival tersebut. Yakni, merajut impian dan surat untuk ayah. Sebelum memulai berlomba, ribuan anak-anak yatim se-Jawa Timur itu mendapatkan pengarahan dan tip menulis dari Bunda Silvi dan Kak Maya, keduanya adalah aktivis Forum Lingkar Pena.
Ketika acara menulis dimulai, saya meninjau dan melihat mereka, anak-anak itu, menuangkan imajinasinya. Ternyata saya tak sekadar melihat imajinasi ala anak-anak yang rata-rata usia SD dan SMP itu.
Saya menyempatkan membaca salah satu karya dari Dian Novita, 13, peserta dari Surabaya. Karyanya lolos dan layak untuk dibukukan. Dia mengambil tema surat untuk ayah, yang juga ia jadikan judul karyanya.
Dia menumpahkan kerinduannya kepada bapak dan ibunya. Ya, Dian telah ditinggal sang bapak yang wafat setelah menderita penyakit liver. Si ibu menyusul ke alam kubur sekian tahun kemudian.
”Bapak, sekarang aku sudah SMP dan mencuci bajuku sendiri. Aku pengen jadi guru. Mengajarkan mereka ilmu dan membuka jendela dunia. Doakan ya Pak biar aku bisa menggapainya. Aku pengen bikin Bapak bangga sama aku.” (Surat untuk Ayah, Dian Novita)
Itulah sepenggal kalimat dari karya Dian. Jujur dan polos. Saya turut mendampinginya saat briefing bersama tim juri lainnya. Saya sempat bertanya tentang bapak dan ibunya. Belum sempat menjawab, mata Dian tampak menyimpan mendung. Seperti hendak menumpahkan kesedihannya. Saya lalu mengalihkan pembicaraan dan memuji tulisannya. Jujur, saya sangat tersentuh dan nyaris menumpahkan air mata setelah membaca karya lengkap Dian tersebut.
Ia hendak menjadi guru untuk membuat bapaknya bangga. Saya menyemangati Dian untuk mengasah bakat menulisnya dan mengejar cita-citanya tersebut.
Seusai kegiatan, saya menyempatkan berkirim pesan pendek ke bapak dan menanyakan kabarnya. Beliau menjawab baik dan sehat, demikian pula ibu. Kami mengobrol singkat. Namun, itu lebih dari cukup untuk membendung kerinduan saya kepada mereka. Sebab, Lebaran tahun ini, saya tak bisa pulang untuk menengok mereka, orang-orang baik yang membesarkan saya dan adik-adik.
Kendati demikian, doa selalu kami panjatkan kepada mereka sepanjang hari. Terima kasih saja mungkin tak cukup. Tapi, seperti halnya Dian, saya juga ingin membuat mereka bangga. Kendati, saya belum bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Dan apa-apa itu pun mungkin tidak akan bisa membalas kebaikan mereka. Semoga Allah melindungi dan menjaga mereka dengan cinta-Nya.
*)Terima kasih untuk Yayasan Al Madina dan FLP Jatim atas kesempatan ini.
Graha Pena, 29 Agustus 2010
www.samuderaislam.blogspot.com
Gurusiana
4 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar