Oleh Eko Prasetyo
”Kalau ingin menjadi pengarang, pergilah ke tempat yang jauh atau merantaulah ke negeri orang, lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat.”
(W. Somerset Maugham)
***
Saya bersyukur punya banyak teman yang memiliki hobi unik dan menginspirasi. Seperti kawan yang satu ini. Dia seorang ilustrator di sebuah surat kabar nasional. Waktu senggang dia manfaatkan untuk membaca komik dan majalah. Koleksi komiknya bejibun, bukan main banyaknya. Mulai yang lawas hingga terbaru, mulai yang lokal hingga komik buatan luar negeri.
Dia menjuluki dirinya si pemburu. Hobinya memang berburu komik dan majalah bekas ke mana pun. Dia juga tak jarang memanfaatkan forum online untuk mendapatkan barang yang dicari.
Suatu sore, dia membawa tas cangklong hitam yang tampak penuh. Dia memperlihatkan isinya kepada saya. Yakni, bundel majalah Hai! Ada sekitar lima bundel yang dia pamerkan, semuanya terbitan lawas, 1980-an. Dia mengaku, majalah jadul tersebut lebih inspiring ketimbang yang terbitan sekarang. Saya tak menampik hal itu.
Kemudian, dia memperlihatkan buku lain yang bersampul merah dengan ilustrasi seorang pemuda. Judulnya Balada Si Roy. Tertarik, saya meminjamnya karena belum pernah membaca novel jadul seperti itu. Ternyata, kata si teman tersebut, novel itu sangat booming pada 1990-an. ”Nyaingin figur Boy (Catatan Si Boy, Red) dan Lupus,” sebutnya. Memang, saya tidak familier sebelumnya dengan Balada Si Roy ini.
Saya tak sempat membaca sampai habis, tapi dua jempol saya berikan untuk si pengarangnya. Sebab, ia memberikan pesan moral yang baik dalam buku tersebut. Berbeda dengan Boy (tokoh rekaan Zara Zetira yang awalnya dikemas di Prambors FM), Roy adalah pemuda asli kampung. Bila Boy dan Lupus mengambil setting Jakarta sebagai latar cerita, tokoh Roy dikisahkan di daerah Serang, Banten, yang identik dengan debus (RumahDunia.net). Etos kerja yang baik serta cinta kampung sangat lekat pada si Roy. Ia diceritakan doyan bersepeda onthel. Menu makan dan minumnya pun sederhana seperti nasi uduk, bandrek, dan kelapa degan. Intinya: spirit hidup dalam membangun kampung!
Ada sepuluh jilid buku Balada Si Roy (kali pertama diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama dan dicetak ulang pada 2004 oleh Beranda Hikmah). Saking bagusnya, saya penasaran dengan si pengarang tokoh fiksi Roy ini: Gola Gong.
Lewat internet, akhirnya saya dapatkan informasi bejibun tentang penulis satu ini. Gola Gong adalah nama pena Hari Hendrayana Harris. Lebih dari 25 novel telah ia hasilkan. Selain Balada Si Roy, ada Kupu-Kupu Pelangi, Kepada-Mu Aku Bersimpuh, Lewat Tengah Malam, Biarkan Aku Jadi Milikmu, dan lain-lain.
Pria kelahiran 15 Agustus 1963 itu berjanji mendedikasikan hidup untuk memberikan manfaat kepada sesama. Jalur pendidikan pun dipilih. Bersama teman-temannya di jurusan Sastra Indonesia Unpad Bandung, Gola Gong mendirikan komunitas Rumah Dunia di rumahnya, Serang, Banten. Perhatiannya dicurahkan kepada anak-anak sekitar dengan memberikan bimbingan menulis, menggambar, mendongeng, dan bermain teater. Salah satu disiplin yang ia pupuk kepada anak asuhnya adalah membaca.
Yang menginspirasi, Gola Gong adalah penyandang cacat. Sebelah tangannya buntung. Ceritanya, pada usia sepuluh tahun ia bermain bersama rekan-rekannya. Siapa yang paling hebat akan dinobatkan sebagai Jenderal Kancil. Mereka berlomba memanjat pohon, kemudian terjun bebas. Karena tidak ingin kalah, Gola Gong naik hingga di ketinggian tiga meter. Nahas, bukan kakinya yang lebih dulu mencium tanah, melainkan bahu. Akibatnya, tangan kirinya patah dan harus diamputasi.
Sang ayah selalu memberikan motivasi dan membesarkan hati Gola Gong. Sadar bahwa orang cacat sulit diterima bekerja di instasi pemerintah, Gola Gong memilih jadi penulis sebagai jalan hidup. Berbekal mesin tik (yang menurut pengakuan Gola Gong masih ada hingga kini), dia mulai menulis cerpen dan novel.
Gola Gong membuktikan bahwa cacat fisik bukan halangan dalam berkarya. Dia terus menulis, menulis, dan menulis. Hingga akhirnya dia terjun ke dalam komunitas yang peduli terhadap budaya membaca dan menulis, yakni Rumah Dunia.
Indonesia memiliki banyak penulis hebat yang berasal dari kalangan penyandang cacat fisik dan kelainan karena penyakit. Selain Gola Gong, ada Ratna Indraswari Ibrahim (penulis, novelis yang menderita radang tulang) dan Pipiet Senja (novelis yang menyandang kelainan darah).
Terhadap dedikasinya di Rumah Dunia, Gola Gong menyampaikan bahwa kunci semua itu adalah ikhlas dan semangat berbagi dengan sesama. ”Langkah itu kami mulai dari lingkungan masyarakat di sekitar rumah, bukan dari menyodorkan proposal minta dana,” tuturnya sebagaimana dikutip RumahDunia.net.
Sungguh, saya betul-betul serasa dicambuk oleh motivasi dahsyat itu. Gola Gong yang hanya punya satu tangan saja bisa berkarya dan memberikan sumbangsih berarti bagi anak negeri. Maka, tak ada alasan bagi kita yang memiliki tubuh sempurna dan sehat untuk tidak berkarya.
Surabaya, 16 September 2010
Sumber bacaan:
1. Balada Si Roy
2. Jawa Pos (arsip dan perpustakaan)
3. Kompas
4. Majalah Hai (bundel 1985–1990)
5. Majalah Tempo
Sumber online:
1 komentar:
ass..sangat menyentuh mas..balada si roy ato gola gong memberi inspirasi..thanx for tulisane...
Posting Komentar