Catatan: Eko Prasetyo
Kakek dan nenek saya adalah penganut Katolik yang taat. Tiap Minggu pagi, kakek tak pernah absen mengikuti misa kebaktian di gereja. Meski saya muslim, toleransi di antara kami sangat tinggi. Kakek dan nenek sangat menghormati ketika saya sedang salat. Karena bekerja di redaksi, tiap hari saya pulang larut pagi. Tak heran jika saya tidur menunggu setelah azan subuh. Selesai salat subuh, saya tidur hingga menjelang zuhur. Dan yang selalu membangunkan saya untuk segera bangun dan salat zuhur adalah mbah putri. Begitu pula jika ada kegiatan koor gereja atau mengikuti misa, saya selalu menyempatkan untuk mengantar kakek ke gereja. Di masa tuanya, kakek justru semakin aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di paroki setempat dan di Keuskupan Surabaya.
Sudah dua tahun ini, nenek saya menderita stroke sehingga jalannya sudah tidak seperti orang normal, tertatih-tatih. Kakek pun kena stroke meski tak seberat nenek. Karena itu, ikatan batin antara kami sangat kuat. Pernah saya berniat untuk kos karena tak ingin merepotkan mereka, tapi karena tak tega melihat wajah tua nenek yang melas, niat itu saya batalkan.
Saya pernah berterus terang kepada kakek dan nenek bahwa saya ingin sekali menikah tahun ini dan telah memiliki calon pendamping. Mereka bertanya siapa calon isteri saya. Saya menjawab bahwa perempuan terkasih itu berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Kami saling mengenal saat pertama bersua di Jawa Pos, tempat saya bekerja sekarang. Mereka tampak ragu. Lalu, nenek berpesan kepada saya agar mencari calon isteri yang baik dan memperhatikan saya.
Nenek mengatakan bahwa dia kasihan terhadap saya. Kerja sore, pulang pagi, dan mengurus keperluan kami bertiga sehari-hari. Nenek bertanya apakah saya akan meninggalkan mereka setelah menikah nanti. Saya tidak segera menjawab. Sejujurnya, justru saya yang iba mendengar hal tersebut.
Saya memeluk tubuh renta itu erat-erat. Keluarga nenek dan kakek saya memang tergolong pas-pasan. Ketika anak-anak mereka tidak tahu tentang keadaan orang tuanya yang mulai sakit-sakitan, saya mengikrarkan dalam hati untuk menjaga kakek dan nenek saya itu. Nenek saya berterus terang bahwa dia takut saya akan meninggalkan mereka setelah menikah. Hati saya tidak diciptakan dari batu, karena itulah saya menahan air mata karena terharu.
Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dia mendengarkan doa saya saat saya ingin memperkenalkan calon pendamping saya kelak kepada nenek dan kakek. Bersamaan dengan kedua orang tua saya yang datang ke Surabaya awal Maret lalu, saya membawa serta calon isteri saya tersebut ke rumah nenek. Saya ingin membuktikan kepada keluarga bahwa saya benar-benar serius menjalin hubungan kasih dengan pujaan hati saya dan sangat mencintainya.
Tentu saja kedatangan saya dan calon pendamping hidup saya membuat terkejut nenek dan kakek saya. Awalnya, saya agak ragu karena perempuan tercinta adalah wanita berjilbab. Pasalnya, keluarga besar saya di Surabaya semuanya penganut Katolik yang taat, Calon isteri saya kemudian mencium tangan dan pipi nenek. Sambutan nenek saya ternyata di luar dugaan. Nenek sangat bahagia dan sering melempar tawa renyah. Belum pernah saya melihat nenek seceria itu. Saya ikut merasakan kebahagiaan tersebut. Alhamdulillah ya Rabbi atas kebahagiaan pada hari itu.
****
Belakangan, nenek kembali jatuh sakit. Strokenya kambuh. Kadang, saya harus segera bangun ketika nenek memanggil nama saya. Saat dia merintih dan meminta bantuan untuk buang air besar, saya benar-benar tak tega. Tubuhnya makin kurus. Sampai-sampai tubuh saya yang juga kurus masih sanggup menggendong beliau sendirian ke kamar mandi.
Pernah karena sudah tak bisa menahan, nenek terpaksa berak di kasur. Nenek berkali-kali meminta maaf kepada saya karena merasa merepotkan saya. "Mboten mbah, mboten nopo-nopo, " jawab saya setengah terisak. Laki-laki segagah apa pun pasti runtuh karena mendengar ucapan nenek saya. Kakek saya sendiri membantu mencuci seprei yang kena kotoran tersebut. Sedangkan saya membersihkan tubuh nenek dan mencuci pakaiannya. Suasana benar-benar senyap, hanya terdengar rintihan nenek yang mengerang kesakitan. Mata saya masih pucat karena kurang tidur. Pagi itu juga, nenek masuk rumah sakit. Saya yang hampir-hampir tak sanggup bekerja pada hari itu sempat tertidur di paviliun 12 RS RKZ Surabaya, tempat mbah putri dirawat.
Meski dijaga oleh anak-anaknya, nenek kadang menanyakan kepada pakde atau bude saya apakah saya sudah makan ketika berangkat ngantor. Subhanallah. Apa yang bisa saya lakukan selain berdoa memohon kesembuhan bagi wanita senja yang sangat saya kasihi tersebut meski kami berbeda keyakinan. Saya merindukan keceriaannya.
****
Dini hari saat pulang kantor, saya tengok sebentar kamar nenek dan kakek. Di meja makan, tak tersedia makanan apa-apa, tak seperti dulu saat nenek masih sehat tiga tahun yang lampau. Urat-urat di tangan saya nampak akrab tanda bahwa tubuh saya tambah kurus. Lapar perut saya tak mengapa, asal nenek dan kakek saya sudah makan. Sayang, mereka tak menyantap makanan orang sehat. Sehingga, untuk sekadar makan nasi pecel saja nenek tak berani memakannya. Tiap hari, hanya tempe dan tahu tanpa garam dengan kecap manis.
Manakala tangan lemahku tak berdaya untuk menengadah, biarlah hati ini bicara tentang permohonan. Wajah tua nenek tercinta, tak lupa kecupan manis kuberi di keningnya yang berkerut saat pulang kerja. Ampuni dosa-dosaku ya Allah. Ampuni dosa kedua orang tuaku...
(eramuslim, 16 April 2008)
Gurusiana
4 tahun yang lalu
1 komentar:
assalamualaikum
sabar ya, Mas! semoga Allah memberi kemudahan dalam kehidupan Mas. setiap penderitaan, pasti ada kemudahan di lain hari dan hikmah yang menyertainya. Insyaallah, Allah akan memberi kesehatan untuk keluarga mas. jika Allah berkata lain, semoga dipermudah. Mas, jika mau nikah, jangan lupa undang kami. Insyaallah kami akan datang.
salam dari Ariesta, mahasiswa magang, semoga Allah memberi rahmat dan hidayah kepada mas sekeluarga.
wassalam
Posting Komentar