Oleh: Eko Prasetyo
Jika sampai di pengujung waktu, saat napas tinggal satu-satu, rasa sakit yang paling ringan seperti ditusuk tiga ratus pedang, tak terbayang bagaimana keadaan saat itu. Dan ini pasti akan akan kita alami kelak.
Kita tentu sering memikirkan bagaimana memahami perasaan orang lain. Namun, sering pula kita tidak terpikir untuk memahami Allah. Kita terbiasa terdogma asal bapak/ibu senang. Tapi, tak pernah terpikir untuk membuat Allah senang.
Dunia telah melenakan kita. Sedangkan masalah akhirat selalu gagal memesonakan kita. Selama 24 jam sehari, 30 hari dalam sebulan, dan 12 bulan dalam setahun, kita hanya mampu mengorganisasi tubuh tanpa terpikir apakah jiwa kita sudah terstruktur dengan baik.
Saat kita meminta hak kita untuk dipenuhi Allah lewat doa, jarang terlintas apakah kita sudah menunaikan kewajiban kita terhadap-Nya. Hidup benar-benar terasa tidak seimbang. Sebab, nikmat sesaat jauh lebih diterima daripada nikmat yang benar-benar nikmat.
Jasad dengan tubuh sempurna adalah kekayaan awal yang diberikan Allah. Bagi mereka yang cacat fisik, diberikan kelebihan lain yang tidak dimiliki orang dengan fisik sempurna. Semua sulit terduga. Ilmu kita terlalu kecil untuk bisa tahu rahasia Allah di luar kapasitas kita yang memang serba terbatas.
Dunia bukan milik orang-orang malas. Langit yang ditinggikan tanpa tiang dan bumi yang terhampar luas adalah tanda bagi orang yang berpikir. Sebab, kita telah diberi modal yang penting: otak.
Kini, kita mulai tersekat hidup dengan selembar kertas. Selembar kertas yang bertulisan nama diri dan jenjang pendidikan yang didapat. Kertas itu menjadi legitimasi yang terkadang membuat kewajiban kita terbengkalai karena sibuk dengan aktivitas yang menyita banyak waktu. Kapan waktu untuk Allah?
Ketika tak tahu malu sudah menjadi budaya, korupsi uang dan waktu dianggap biasa. Saat jabatan lebih prestisius untuk dikejar, lima menit dalam lima waktu untuk Allah menjadi tergadai. Waktu berlalu sia-sia.
Berapa umur kita sekarang? Semakin bertambah umur, sisa kontrak kita hidup di dunia tinggal sedikit. Pantaskah kita tersenyum dan gembira saat menyambut hari ulang tahun? Naif. Betapa naifnya kita. Padahal, sejatinya dengan bertambahnya usia kita seharusnya semakin takut.
Jika gagal me-manage waktu, kita selalu menyalahkan Allah yang tidak memperhatikan diri kita, menganggap bahwa doa hanya sewujud doa mekanis. Allah jarang mendapat tempat yang sepantasnya di hati kita. Padahal, siapa sesungguhnya kita? Cuma zat yang diciptakan dari tanah lalu ditinggikan derajatnya karena akal budi yang diberikan Allah. Lantas, pantaskah kita bangga?
Sesungguhnya, mudah sekali mempersatukan perbedaan. Namun, kita terlampau membuat itu menjadi sulit terwujud. Kita tak pernah berniat untuk menjadi lebih baik daripada kemarin dan hari ini. Inilah bukti kebodohan kita. Kita sering menari-nari di atas sepotong kue ketidakberdayaan kita sendiri.
Telah datang lima waktu bercinta. Terbangun di atas mihrab cinta yang agung dalam percikan air suci saat beberapa anggota tubuh terbasuh. Cinta semakin menyatu saat tangan kanan beramal, tangan kiri tidak tahu. Ternyata, kita kecil. Bukan apa-apa. Lalu, mengapa kita malu mengakui kekerdilan jiwa kita?
Tulisan ini dimuat di eramuslim.com (17 Maret 2008)
2 komentar:
assalamualaikum mas,
pertama saya mau bilang klo tulisannya bagus, terutama "Detik-Detik Sakaratul Maut Rasulullah" yg bikin saya merinding pas ngebacanya (Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi), yg kedua saya mau mengklarifikasi tentang komentar Mas di blog saya, sebelumnya mohon maaf, jadi ceritanya begini:
saya punya seorang sahabat (senior sekaligus guru dan sudah saya anggap seperti kakak saya sendiri), beliau sering mengirimkan email ke saya tentang artikel2 pencerahan diri baik hasil karya dia sendiri maupun yg bersumber dari orang lain. masalahnya Mas, kenapa saya mencantumkan nama dia dalam tulisan itu, karena semata2 dari dia lah saya dpt artikelnya. saya benar2 gak tahu klo ternyata artikel itu pernah dimuat dalam eramuslim.com (entahlah mungkin karena saya jarang mampir ke situsnya atau karena sahabat saya lupa mencantumkan source nya darimana).
saya jadi malu sama Mas yg lebih banyak tahu, tapi terlebih lagi saya malu sama Allah karena saya tidak mencari tahu terlebih dahulu. tapi, mungkin itulah salah satu dari sekian banyak keterbatasan saya, dan saya harap Mas Eko bisa ngerti karena saya yakin Allah maha mengerti.
wassalamualaikum
Assalaamu’ alaikum Wr Wb…
Tiada seindah kata dan semanis ucapan yang pantas saya sampaikan kecuali puji syukur kepada Allha SWT, yang telah menciptakan sosok manusia yang memiliki aura religius yang amat kuat seperti anda.Bangga sekali rasanya bisa mampir di sini dan membaca goresan tinta anda yang amat sangat bagus, menyentuh, penuh dengan pembelajaran.
Subhanallah…dahsyat sekali pak artike2 yang di muat di sini.Jangan pernah berhenti yah menyampaikan kata – kata dakwah meskipun itu hanya satu ayat.Di tunggu tulisan2 berikutnya.sukses selalu pak.Dukungan kami menyertaimu.
Maaf atas kekurangan dan kesalahan saya.
Salam,
Yusuf
Posting Komentar