Ante Meridiem


: Jeng Ratih-ku sayang


mari kita gelar karpet hitam tanda dukacita
tepat di depan televisi tatkala demonstrasi massa disiarkan berulang-ulang

entah siapa mewakili siapa

kini matikan tivi yang melulu meliput unjuk rasa tersebut
ikutlah bersamaku, duduk di teras dan menikmati secangkir teh  
mensyukuri hari ini
mensyukuri kebersamaan kita
mensyukuri kesehatan yang Ia berikan

dan berjanjilah kita akan terus bekerja keras
sehingga kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi tak begitu berdampak
dan kita bisa lebih sering duduk di teras ini
tanpa ikut-ikutan meluapkan emosi

castralokananta, 28 Maret 2012

Siang di Warung Nasi Padang

Siang di Warung Nasi Padang



Sudah beberapa hari belakangan, sebagian kawasan Sidoarjo tidak diguyur hujan. Mungkin kemarau sudah dekat. Siang itu terik sekali. Karena perut sudah tak bisa diajak kompromi, saya mampir ke warung nasi padang di pertigaan Saimbang, Sukodono.

Menu rendang jadi pilihan saya. Meski bukan termasuk langganan, saya sudah beberapa kali beli makanan di situ. Begitu duduk, desir kipas angin mampu mengusir hawa sumuk yang terasa karena pengaruh terik. Pemilik warung tersebut adalah pasangan suami istri muda. Mereka betul-betul pendatang dari Sumatera Barat. Di tempat itu, mereka mengontrak sebagai tempat usaha.

Orang-orang dari Sumbar memang dikenal gigih. Berani merantau dan tipikal pekerja keras. Tak sedikit perantau dari sana yang memilih jalur niaga untuk mata pencariannya. Termasuk di kawasan dekat tempat tinggal saya tersebut.

Di situ, saya menemukan ”keteduhan” yang lain. Yakni, selalu terdengar lantunan bacaan ayat suci Alquran. Asalnya ternyata dari sebuah tape yang terletak di dekat dapur saji. Saya lupa sudah berapa kali mampir di warung nasi padang itu. Namun, yang pasti saya ingat adalah warung tersebut tak pernah menyetel lagu. Hanya bacaan Alquran.

Subhanallah, Pemulung Ini Menulis

 
Menulis itu menenangkan jiwa dan pikiran. Tak peduli seberapa sulit kesulitan dan tantangan hidup yang dihadapi, menulis bisa menjadi salah satu alternatif untuk meredam segala kesumpekan hidup. Dengan menulis saja, seseorang mampu mengembalikan semangat hidup untuk meningkatkan kinerja dan tak lekas menyerah pada kesulitan hidup.
Itulah yang dilakukan Edy S. Pithingan.
Hari ini saya membuka kembali lembaran-lembaran majalah Oase keluaran terbaru atau edisi Maret 2012. Saya menjumpai sedikit berita tentang profil yang luar biasa itu, Edy.
Sehari-hari ia memulung sampah plastik dan botol bekas air minum kemasan. Edy saat ini tinggal di Blitar, tepatnya di Masjid Syuhada Haji Kota Blitar. Hidupnya sebatang kara. Karena sulitnya mencari kerja, ia memutuskan bertahan hidup dengan mengais rezeki di tumpukan-tumpukan sampah. Mencari sisa-sisa plastik dan sekadar botol plastik yang tak terpakai.

Menulis Itu Ibadah

 
Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

Ah, aku masih ingat perjalanan jauh itu. Dengan sepeda motor kesayanganku, kususuri jalan-jalan lintas kota dan segala suasananya. Jalanan belum ramai oleh hiruk-pikuk lalu lalang kendaraan pribadi dan umum. Nyaman.
Pagi itu aku membawa setangkup ilmu untuk kuhidangkan bersama-sama para ustad-ustazah di kota kecil tersebut. Ya, hari itu aku datang untuk memenuhi undangan salah satu pimpinan yayasan tersebut di kota yang berjarak sekitar 70 kilometer dari Kota Pahlawan.

Keluhan Ortu Siswa SD Negeri



Catatan Eko Prasetyo

editor Jawa Pos



Sumber ilustrasi: t3handoko.blogspot.com
Dalam suatu perbincangan, saya mendapat keluhan dari salah satu orang tua siswa. Dia mengaku risau karena anaknya yang kini duduk di bangku kelas 3 sebuah SDN di Sidoarjo sering dipulangkan sebelum waktunya pulang. Paling sering pulang pukul 10.00, bahkan pernah pukul 09.00 sudah tidak ada kegiatan belajar mengajar (KBM). Pihak guru beralasan, ada rapat ataupun mengikuti kegiatan yang terkait sertifikasinya.

Pak Didik, demikian nama wali murid tersebut, berhak cemas lantaran dia menilai anaknya tertinggal cukup jauh dengan teman sebayanya yang bersekolah di SD swasta. Pak Didik adalah tetangga saya. Dia memang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan putranya di sekolah.

Dia tidak mengharuskan anaknya mendapat nilai bagus atau meraih peringkat tertentu di kelas. Suatu ketika, Pak Didik membuka nilai rapor anaknya. Di situ tertera nilai PPKn-nya lumayan, dapat 7. Suatu ketika, saat diminta menyebutkan sila-sila dalam Pancasila, sang anak menjawab tidak tahu. Menurut Pak Didik, putranya juga lemah di matematika. Sementara pengetahuan yang diberikan di kelas dinilai kurang memadai dan memuaskan. Karena itu, Pak Didik bermaksud mengikutkan anaknya untuk les matematika. Ia betul-betul tidak puas.