Ke Baitullah Modal Doa Doang

Oleh Eko Prasetyo



”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat...”

QS Al Baqarah: 186.



***

Masjidil Haram (sumber foto: Google)
Kawan ikhwan yang satu ini begitu bahagia. Wajahnya sangat semringah. Cerah sekali. Rupanya, itu tak lepas dari keinginannya yang terkabul. Yakni, bisa berlibur ke luar negeri.

”Saya bener-bener nggak nyangka,” ujarnya. Sebab, kata dia, sebagai pegawai rendahan, dirinya tak pernah bermimpi untuk bisa pergi ke luar negeri. Suatu saat seusai salat, dia memohon kepada Allah untuk bisa pergi ke luar negeri.

Mengapa sih ngebet pengen ke luar negeri? Dia mengaku sangat ingin membuka wawasannya tentang negara lain. Dalam soal apa pun sebagai perbandingan dengan Indonesia.

Doa bapak satu anak ini benar-benar diijabah. Bagaimana bisa? Pada Maret 2011, kantor tempatnya bekerja mengadakan gathering selama empat hari. Bukan gathering biasa. Acara tersebut diadakan di dua negara sekaligus: Malaysia dan Singapura. Masing-masing dua hari di sana. Nah, kawan saya ini kebetulan turut diundang dalam acara tersebut. Senang bukan kepalang.

”Alhamdulillah, doa saya terkabul!” tulisnya dalam akun Facebook miliknya.

Akhirnya Mereka Dikaruniai Anak

Catatan Eko Prasetyo


Kejadian ini sudah berlangsung cukup lama, sekitar 2006. Sore itu saya berada di kantin dekat kantor English First (EF) di Jalan Kayoon, Surabaya. Biasanya, pada hari tertentu tiap sore, tempat tersebut selalu ramai. Penuh dengan anak-anak, remaja, ataupun mahasiswa yang hendak les bahasa Inggris di tempat itu.
Saya sendiri waktu itu sedang menunggu waktu pulang kerja. Setelah pekerjaan rampung, mampir ke kantin tersebut. Kantor saya kala itu memang berdekatan dengan kantor EF. 

Ode Siswa Miskin

Sumber foto: inilah.com


pendidikan kini tak lagi berpihak pada kami
di saat urusan perut menempati tempat teratas di kamus kami,
pendidikan justru tidak terjangkau oleh kami

bahkan, pendidikan kini belum tentu berpihak pada siswa berotak cemerlang
karena itu, kami tak berani bermimpi-
bisa mengenyam pendidikan dengan baik
ketika dana BOS saja masih disunat
ketika anggaran untuk siswa miskin tidak sepenuhnya bisa kami nikmati
ketika biaya untuk sekolah bisa terbang setinggi layang-layang

bagaimana bisa?
bagaimana mungkin?

kami tidak menyalahkan mengapa bapak ibu kami miskin
sama sekali tidak
kami tidak mengeluh meski lekat dengan:
kumuh
jorok
bau limbah
sungai kotor
rumah reyot

maka, sesak dada kami menahan sedih
ketika menatap anak-anak sebaya yang bisa mengenakan seragam sekolah
ketika pendidikan gratis hanya bisa kami baca di koran bekas yang terbuang
lantas, haruskan kami bernasib sama seperti orang tua kami
jika pendidikan gratis hanya sebatas mimpi?


Surabaya, 18 Juli 2011
Eko Prasetyo

Mengapa Mesti Bohong?

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos

“Pangkal dari dosa adalah bohong.”
Nasihat tersebut saya kutip ulang dari sebuah akun Facebook milik teman yang menjadi pemred di sebuah media di Jawa Timur. Dia memang gemar menuliskan kalimat-kalimat bernada nasihat, pepatah, dan petuah. Bukan tanpa alasan jika saya mengutip kalimat itu. Sebab, ada pengalaman pribadi yang bersinggungan dengan petuah tersebut, termasuk kasus-kasus yang saat ini tengah hangat di masyarakat.
Pada medio 2009, saya diamanahi uang Rp 15 juta untuk salah satu kegiatan di kantor. Diberikan cash oleh bendaharanya. Jujur, saya semula ragu. Karena itu amanah dari atasan, saya menerima.

Foto Diri ketika Tidur

Catatan Eko Prasetyo

Sore itu saya capek bukan main. Bersih-bersih rumah, menata ulang barang-barang dan merapikannya kembali. Kegiatan itu saya lakukan agar rumah terasa lebih lapang dan nyaman. Pasalnya, orang tua dan mertua saya berencana datang ke rumah. Menginap.
Selepas azan asar, saya bergegas mandi, kemudian wudu untuk salat. Selesai, saya ”terkapar” di lantai kamar belakang. Ketiduran.
Di rumah saat itu, ada istri dan adik perempuan saya. Bunyi pesan singkat di ponsel tiba-tiba membangunkan saya. Dari bapak. Beliau minta dijemput.
Malamnya, keluarga besar berkumpul di kediaman saya. Ramai, tapi menyenangkan karena lama tidak bertemu orang-orang yang kami cintai tersebut.
Ketika senggang, adik saya menunjukkan foto saya yang ia jepret dengan kamera ponsel ketika saya tertidur siang sebelumnya. Nggak istimewa sih, seperti umumnya foto orang yang tidur. Pasrah.

Dahsyatnya Doa Ibu

Catatan Eko Prasetyo
editor Jawa Pos


Kejadian Pertama
Hari itu, 31 Desember 1998, tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Malam menjelang tahun baru, saya masih berada di rumah. Ibu dengan dibantu beberapa ibu-ibu tetangga sedang memasak menu untuk acara syukuran di kompleks perumahan kami. Tri, kawan sepermainan saya, memanggil-manggil saya untuk ikut keluar. Keluyuran, menikmati suasana malam menjelang tahun baru.
Sebelumnya, ibu tidak mengizinkan saya. Saya diminta di rumah dan membantu beliau. Namun, saya tidak mengindahkan. Kata bapak, waktu itu ibu sempat mengatakan, ”Awas kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Namun, saya tidak mendengarnya. Keburu keluar bersama kawan saya.