Miss Universe dan Salat Asar

 Oleh Eko Prasetyo

Miss Universe 2010 Ximene Navarrete dijadwalkan berkunjung ke Surabaya pada Jumat (15/10). Beberapa tempat dia kunjungi. Di antaranya, Pasar Atom dan Tunjungan Plaza. Dia juga direncanakan datang ke kantor saya pada sekitar pukul 14.30. Otomatis kesibukan tampak sebelum dan saat kedatangannya.

Beberapa persiapan dilakukan oleh panitia. Tampak beberapa penari cilik yang bakal menyambut kedatangan putri kecantikan sejagat itu. Di pelataran parkir, tepatnya halaman depan lobi, para penari reog dari sebuah peguyuban di Surabaya sudah menyiapkan diri. Mereka melakukan atraksi beberapa menit sebelum kedatangan Navarrete.

Terlihat pula para personel Polri yang datang mengawal. Di antara mereka, saya mengenali beberapa wajah anggota reserse yang berseragam preman. Penampilan mereka jauh dari bayangan orang terhadap sosok polisi.

Sore itu saya hendak mengabadikan kedatangan Miss Universe asal Meksiko itu. Saya sudah menyiapkan kamera. Penjagaan semakin ketat. Beberapa petugas sekuriti bahkan melarang orang yang hendak masuk ke gedung. Untung, saya sudah berada di dalam.

Saya sudah bertekad untuk bisa mengambil potret Miss Universe dengan angle yang bagus. Di sela-sela itu, azan asar memanggil. Kebetulan di sebelah kantor terdapat masjid besar. Suara sang muazin terdengar lantang dan bergema.

Dilema. Ya, saya dihadapkan pada dua hal. Di satu sisi, saya punya tugas mengambil foto Navarrete. Di sisi lain, sebuah kewajiban yang sangat penting tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan pada saat bersamaan, Miss Universe dikabarkan segera tiba.

Saya sadar, salat bisa dilaksanakan tidak pada awal waktu. Meski, itulah waktu salat yang paling utama. Saya juga sadar bahwa kunjungan Miss Universe itu paling-paling hanya memakan waktu tak lebih dari satu jam. Waktu salat asarnya masih panjang. Saya memilih yang kedua: salat Asar dulu.

Biarlah saya kehilangan momen tersebut, yang penting tak tertinggal salat di awal waktu. Begitu pikir saya. Saya akhirnya menyelesaikan empat rakaat Asar. Whatever...

Seusai menuntaskan doa, saya beranjak untuk menggapai ”sisa” kesempatan yang ada. Ternyata, seorang kawan mengabarkan bahwa rombongan Miss Universe datang terlambat karena terjebak macet di salah satu jalan protokol. Tentu saja saya sangat gembira dengan kabar itu. Sebab, itu berarti saya masih bisa mendapatkan kesempatan untuk memotret Navarrete.

Alhamdulillah, segala puji hanya kepada Allah. Saya bisa melaksanakan salat di awal waktu sekaligus mendapatkan apa yang saya harapkan. Menunaikan tanggung jawab tanpa melalaikan tugas.


Surabaya, 15 Oktober 2010

Yakin Allah Pasti Melihatnya


Oleh Eko Prasetyo

Berkali-kali ucapan bodoh mengarah kepada saya. Sesekali ada umpatan di situ. Saya tak menggubris atau berusaha mengelak. Diam saja.

Mereka adalah teman-teman saya. Saat itu, kami berkumpul bersama di kantin. Di sela-sela itu, saya bercerita telah menemukan sebuah tas kecil pagi sebelumnya. Saya menemukannya di pelataran parkir mobil dekat kantor.

Semula, saya berpikir untuk melaporkannya ke petugas parkir. Namun, saat itu suasana sedang ramai di halaman depan gedung. Sebab, ada kegiatan pelatihan memadamkan kebakaran. Pesertanya adalah petugas sekuriti, office boy, termasuk petugas parkir. Pantas jika saat itu saya tak menjumpai seorang petugas pun di dekat area parkir mobil.

Saya bawa saja tas hitam tersebut ke kantor. Kemudian saya beranikan diri untuk membuka dan mencari tahu kartu identitas si pemilik. Tas itu berisi dompet, alat rias, dan kosmetika. Di dalam dompet, saya menemukan apa yang saya cari, yaitu kartu identitas si pemilik. Seorang perempuan keturunan Tionghoa. Terdapat beberapa kartu kredit di sana serta lembaran uang senilai total Rp 2,3 juta.

Setelah mengetahui alamat si pemilik, saya berusaha menghubunginya lewat telepon. Si pemiliknya yang menerima langsung. Dengan suara ramah, dia menanyakan keperluan dan nama saya. Saya lalu menjelaskan penemuan tas dan dompet itu. Di seberang suaranya tampak gembira. ’Ibu bisa mengambil di kantor saya,” ujar saya.

Begitu bertemu, dia mengambil tasnya dan bermaksud memberi saya uang terima kasih. Saya menolaknya. Dia memaksa dan saya tetap menolaknya. Namun, karena terus dipaksa, saya akhirnya menerimanya. Nominalnya cukup lumayan untuk ukuran karyawan rendahan seperti saya. Uang itu akhirnya saya masukkan ke kotak amal di musala kantor.  

Selesai bercerita tentang kejadian tersebut, teman-teman masih mencibir tindakan saya. Mereka menyayangkan sikap saya yang membuang peluang ”emas” itu. Ya, saya bisa saja mengambil barang berharga di dalam tas itu, lalu ngeloyor pergi dan meninggalkannya. Apalagi, si pemilik adalah warga keturunan dan tidak seiman.

Selain yakin bahwa Allah melihat kejadian pagi itu, saya berusaha memosisikan diri sebagai perempuan Tionghoa tersebut. Entah bagaimana perasaan saya jika kehilangan surat-surat berharga atau catatan utang. Apalagi, utang sampai mati pun tetap akan dicatat oleh-Nya.

Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kau dustakan?” (QS Ar Rahman)

Surabaya, 13 Oktober 2010