Letters from Iwo Jima


Oleh Eko Prasetyo

A good film is when the price of the dinner, the theatre admission and the babysitter were worth it
~Alfred Hitchcock~

***
You should see it...” Seolah serempak, beberapa teman merekomendasikan film ini ketika kali pertama tayang di bioskop awal 2007. Premier-nya sendiri dihelat di Nippon Budokan, Tokyo, pada 16 November 2006. Mulai 20 Desember 2006, film berjudul Letters From Iwo Jima ini tayang di Amerika Serikat agar bisa mengikuti Academy Awards 2006.
Saya memberikan nilai empat bintang di antara skala maksimal lima untuk film besutan sutradara Clint Easwood tersebut. Alasannya, selain mampu mengaduk-aduk emosi penonton lewat ketegangan demi ketegangan dari gambaran pertempuran dahsyat di Iwo Jima pada 1944, film drama ini mencoba mengurai sejarah Perang Dunia II. Lebih dari itu, Letters from Iwo Jima layak dan mesti ditonton oleh mereka yang ingin belajar menulis kreatif.
Sisi lain yang unik dari film ini adalah seluruh adegan di Letters from Iwo Jima menggunakan bahasa Jepang, meski film itu buatan Amerika Serikat. Film ini merupakan kelanjutan film Flags of Our Fathers yang mengisahkan pertempuran yang sama di Pulau Iwo Jima. Letters from Iwo Jima dibikin berdasar perspektif Jepang, sedangkan Flags of Our Fathers dari perspektif Amerika Serikat.
Jauh sebelum menonton film ini, saya sering membaca buku-buku tentang Perang Dunia I dan II. Salah satunya, buku Perang Pasifik karya P.K. Ojong (Penerbit Kompas: 2001).
Pesan Menulis
Sesuai dengan judulnya, Letters from Iwo Jima mengambil setting di Pulau Iwo Jima. Tidak ada yang istimewa sebenarnya dengan Iwo Jima. Gersang. Namun, pulau inilah yang dinilai sangat strategis bagi Amerika Serikat untuk menggempur Tokyo dengan menduduki Iwo Jima terlebih dahulu. Jika Iwo Jima jatuh, pulau itu akan dijadikan pangkalan bagi Amerika Serikat untuk melanjutkan serangannya ke Tokyo.
Karena itu, panglima perang Jepang Jenderal Hideki Tojo memerintahkan Letnan Jenderal Tadamichi Kuribayashi untuk mempertahankan Iwo Jima. Namun, Operasi Detasemen atau yang dikenal dengan pertempuran Iwo Jima justru menjadi titik balik kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Perang Iwo Jima bisa disebut perang tak seimbang. Sebanyak 20 ribu tentara di bawah komando Letjen Kuribayashi harus melawan 100 ribu lebih personel AD, AL, dan AU Amerika Serikat. Berkecamuknya perang Iwo Jima membawa kerugian besar di kedua pihak. Di antara sekitar 20 ribu tentara Jepang, hanya 1.083 yang ditemukan hidup dan ditawan AS. Sedangkan AS kehilangan sekitar 20 ribu tentara yang gugur di Iwo Jima (Perang Pasifik: 2001).  
Letters from Iwo Jima mengalir lewat pandangan dua tokoh. Yakni, Saigo, seorang prajurit rendahan dan Letjen Kuribayashi, sang komandan. Selama bertugas di Iwo Jima, dua tokoh itu selalu terkenang kepada keluarganya. Di antara usaha mereka untuk bertahan hidup, mengalirlah ucapan-ucapan cinta pada keluarga melalui surat-surat yang mereka tuliskan berteman remang cahaya.
Saigo selalu mengawali suratnya dengan menyebut nama istrinya, Hanako. Sedangkan Letjen Kuribayashi yang diperankan oleh aktor Jepang Ken Watanabe mengawali tulisannya dengan menulis nama anak lelakinya, Taro. Menjelang pertempuran ”penghabisan”, para prajurit Jepang, termasuk Letjen Kuribayashi menuliskan surat-surat yang berisi kerinduan kepada keluarga dan sanak famili mereka. Surat-surat itu dimasukkan ke dalan kantong-kantong yang disediakan di dalam terowongan. Letjen Kuribayashi memerintahkan Saigo untuk menyimpannya.
Kuribayashi akhirnya gugur dalam pertempuran yang hebat itu. Sedangkan Saigo dikisahkan tertawan oleh pasukan Amerika Serikat. Film tersebut ditutup dengan adegan penemuan kantong yang berisi surat-surat para tentara Jepang pada 2005. Satu per satu surat usang itu jatuh, membawa tangkup cinta yang sangat besar untuk keluarga di rumah, yang terpisah jauh dari Iwo Jima.
Perang memang menjanjikan kekejaman, kehancuran, dan hanya menyisakan kesedihan. Namun, masih ada sisi humanisme yang terpancar dari tiap peperangan. Orang tentu tak menginginkan perang terjadi. Namun, obsesi berkuasa dari segelintir pemimpin terkadang menjadi penyebab berkecamuknya perang.
Pesan lainnya, Letters from Iwo Jima menunjukkan bahwa kegiatan menulis setidaknya mampu mengobati kerinduan terhadap orang-orang terdekat dan terkasih. Menulis itu menyembuhkan. Sebagaimana dituliskan oleh Saigo dalam sebuah adegan. ”Hanako, aku tidak tahu surat ini akan sampai atau tidak kepadamu. Tapi, setidaknya, menuliskannya sudah cukup menghiburku…”

Graha Pena, 31 Agustus 2010

Karakter No Action Talk Only

Oleh Eko Prasetyo

”Children have never been very good at listening to their elders, but they have never failed to imitate them.”
(Anak-anak tidak pernah pandai mendengarkan apa yang dikatakan para orang tua atau guru, tetapi mereka tidak pernah gagal dalam meniru mereka)
~James Baldwin~

*****

Sebuah buku lawas –agak butut karena sebagian sampulnya sobek– menarik perhatian saya. Sampul depannya didominasi warna merah dan ilustrasi seorang lelaki dengan topi khas Rusia memegang pistol. Jika beruntung, buku jadul seperti itu bisa didapatkan di toko buku bekas.

Judulnya Mati Ketawa Cara Rusia. Buku berisi banyolan khas Negeri Kamerad itu disunting oleh Zhanna Dolgopolova. Di Indonesia, buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan kali pertama pada 1983 oleh Grafiti Press dari Grup Tempo.

Sayang, buku itu kini jarang ditemukan di toko-toko buku. Padahal, isinya sangat bagus. Bahkan, bisa dikatakan cukup relevan dengan kejadian terkini di Indonesia. Berikut salah satu kutipannya.

Alkisah di Rusia (saat masih bernama Uni Sovyet), seorang tokoh Partai Komunis Sovyet selalu berorasi untuk mengedepankan gotong royong dan bahu-membahu dalam mendorong kemajuan partai.

Suatu hari dia berkunjung ke sebuah daerah di pedalaman Siberia. Namun, terjadi kecelakaan yang mengakibatkan mobil yang ditumpanginya terperosok ke dalam sebuah genangan lumpur.

Kebetulan ada beberapa penduduk di dekat tempat kejadian. Mereka segera mengerumuni mobil tersebut.

”Kalian kenal saya kan?” tanya sang politikus.
”Kenal Kamerad.”
”Kalian sering mendengar pidato saya, kan?”
”Benar Kamerad.”
”Nah, sekarang kalian menunjukkan apa yang kalian pelajari dari pidato saya.”
”Baik Kamerad.”

Dengan tetap sambil mengerumuni mobil tersebut, para penduduk pun berteriak. ”Dorong...dorong...” Namun, mereka tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
”Apa yang kalian lakukan, kenapa hanya berteriak saja tanpa melakukan apa-apa?” tanya sang politikus heran.
”Kami hanya melakukan apa yang Kamerad contohkan kepada kami,” jawab para penduduk serempak.

*****
Cerita tersebut menyiratkan seorang pemimpin yang hanya bisa melontarkan wacana, tanpa bisa mencontohkan dengan tindakan. Hal ini pula yang dikhawatirkan terjadi –dan sudah terjadi– di beberapa aspek, terutama pemerintahan kita.

Banyak pihak yang berkoar-koar menyuarakan tindakan antikorupsi, tapi justru terlibat kasus korupsi. Hal ini juga terjadi di dunia pendidikan kita. Larangan merokok digemakan di lingkungan sekolah, namun justru ada guru yang merokok kebal-kebul di ruang kelas.

Sebagaimana ditekankan Ki Hadjar Dewantoro, tokoh pendidikan nasional sekaligus pendiri Taman Siswa, pendidikan merupakan salah satu penentu kemajuan dan karakter bangsa. Karena itu, guru hendaknya tidak hanya piawai menyampaikan teori dalam kegiatan belajar mengajar, tapi juga memberikan contoh yang baik kepada para anak didik.

Guru merupakan profesi mulia yang kedudukannya sangat tinggi, meski –tak jarang– pengorbanan mereka tak sebanding dengan penghargaan yang didapatkan. Maka, sudah sepantasnya pemerintah serius meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di negeri ini. Termasuk, kompetensi para guru.

Sebab, di tangan merekalah nanti akan lahir generasi pemimpin bangsa. Generasi yang diharapkan memiliki karakter tegas yang mampu membawa bangsa ini lebih maju dari berbagai bidang. Jangan sampai anak didik kita berkarakter no action talk only, yang hanya bisa berwacana tanpa dapat memberikan contoh nyata. Semoga!

Graha Pena, 30 Agustus 2010

Doa Kami Sepanjang Hari

Oleh Eko Prasetyo

Sejak puluhan tahun lalu hingga kini, ibu masih setia bangun pagi sebelum fajar menyingsing. Ia menyiapkan bahan dan mengolahnya menjadi penganan kecil.

Selanjutnya, aneka kue itu ia titipkan di warung-warung, termasuk kantin sebuah sekolah. Ya, ibu bekerja sebagai penjual kue dan sesekali membuat pesanan tetangga.
Lewat itu pula, ibu membantu penghasilan bapak yang mencari rezeki sebagai sopir. Soal penghasilan, jangan tanya. Yang penting cukup untuk menghidupi mereka dan kami, tiga anaknya.

Tak jarang, ibu mendapatkan protes karena telat mengirimkan pesanan. Tak jarang pula, beliau menerima pujian atas hasil jerih payahnya yang terkenal enak dan murah itu. Dari kue-kue bikinannya, kadang saya dan adik-adik memperoleh lembaran rupiah untuk jajan.

Sedangkan bapak kini lebih banyak berada di rumah. Usia tak bisa dibohongi, ia mengaku sudah tak kuat lagi menginjak pedal gas, kopling, dan rem untuk mengemudi jarak jauh. Saya ingat betul pernah ikut mengerneti bapak dari Jakarta ke Surabaya. Saat itu saya masih kuliah di Kota Pahlawan. Karena itu, sekalian pulang ke Surabaya, saya numpang dan menjadi kernet baginya. Meski, ia tentunya punya kernet.

Saya menyaksikan bapak sesekali menyeka keringatnya dengan handuk kecil dan saya duduk di samping pintu depan bus. Sesekali kali pula matanya tampak menahan kantuk karena mengemudi jarak jauh. Sebotol kecil air mineral berisi kopi menemani bapak di samping kemudi. Dengan hasil menginjak pedal gas dan rem itulah, saya bisa kuliah. Ini tentu akan saya ingat sampai mati, tentang kebaikan mereka: ibu dan bapak.
***
Sabtu, 28 Agustus 2010, saya mendapatkan kesempatan menjadi salah satu juri dalam Festival 1.000 Anak Yatim Menulis di gedung DBL Arena Surabaya. Acara itu dibuka langsung oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan diliput banyak media. Pada acara yang terhitung pertama di Indonesia (karena melibatkan anak yatim menulis) itu, ada 99 karya terbaik yang akan dibukukan.

Kegiatan tersebut juga didukung juri dari kalangan guru dan teman-teman dari Forum Lingkar Pena Jatim. Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada seorang novelis yang mengundang saya sebagai salah satu juri. Sebab, saya bisa berinteraksi langsung dan belajar banyak pada anak-anak yatim piatu itu.

Ada dua tema yang diusung dalam festival tersebut. Yakni, merajut impian dan surat untuk ayah. Sebelum memulai berlomba, ribuan anak-anak yatim se-Jawa Timur itu mendapatkan pengarahan dan tip menulis dari Bunda Silvi dan Kak Maya, keduanya adalah aktivis Forum Lingkar Pena.

Ketika acara menulis dimulai, saya meninjau dan melihat mereka, anak-anak itu, menuangkan imajinasinya. Ternyata saya tak sekadar melihat imajinasi ala anak-anak yang rata-rata usia SD dan SMP itu.
Saya menyempatkan membaca salah satu karya dari Dian Novita, 13, peserta dari Surabaya. Karyanya lolos dan layak untuk dibukukan. Dia mengambil tema surat untuk ayah, yang juga ia jadikan judul karyanya.

Dia menumpahkan kerinduannya kepada bapak dan ibunya. Ya, Dian telah ditinggal sang bapak yang wafat setelah menderita penyakit liver. Si ibu menyusul ke alam kubur sekian tahun kemudian.

”Bapak, sekarang aku sudah SMP dan mencuci bajuku sendiri. Aku pengen jadi guru. Mengajarkan mereka ilmu dan membuka jendela dunia. Doakan ya Pak biar aku bisa menggapainya. Aku pengen bikin Bapak bangga sama aku.” (Surat untuk Ayah, Dian Novita)

Itulah sepenggal kalimat dari karya Dian. Jujur dan polos. Saya turut mendampinginya saat briefing bersama tim juri lainnya. Saya sempat bertanya tentang bapak dan ibunya. Belum sempat menjawab, mata Dian tampak menyimpan mendung. Seperti hendak menumpahkan kesedihannya. Saya lalu mengalihkan pembicaraan dan memuji tulisannya. Jujur, saya sangat tersentuh dan nyaris menumpahkan air mata setelah membaca karya lengkap Dian tersebut.

Ia hendak menjadi guru untuk membuat bapaknya bangga. Saya menyemangati Dian untuk mengasah bakat menulisnya dan mengejar cita-citanya tersebut.

Seusai kegiatan, saya menyempatkan berkirim pesan pendek ke bapak dan menanyakan kabarnya. Beliau menjawab baik dan sehat, demikian pula ibu. Kami mengobrol singkat. Namun, itu lebih dari cukup untuk membendung kerinduan saya kepada mereka. Sebab, Lebaran tahun ini, saya tak bisa pulang untuk menengok mereka, orang-orang baik yang membesarkan saya dan adik-adik.

Kendati demikian, doa selalu kami panjatkan kepada mereka sepanjang hari. Terima kasih saja mungkin tak cukup. Tapi, seperti halnya Dian, saya juga ingin membuat mereka bangga. Kendati, saya belum bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Dan apa-apa itu pun mungkin tidak akan bisa membalas kebaikan mereka. Semoga Allah melindungi dan menjaga mereka dengan cinta-Nya.

*)Terima kasih untuk Yayasan Al Madina dan FLP Jatim atas kesempatan ini.

Graha Pena, 29 Agustus 2010
www.samuderaislam.blogspot.com

The Power of Kepepet


Oleh Eko Prasetyo

Every point is a game point!
~Rudi Hartono~ (mantan juara dunia bulu tangkis asal Indonesia)

***
Judul artikel ini menukil judul buku yang ditulis Jaya Setiabudi, entrepreneur dan motivator muda sukses. Berkat kepepet, dia terdorong untuk menerjuni dunia wirausaha hingga akhirnya menjadi pebisnis muda, yang disejajarkan dengan tokoh seperti Renald Khasali. Tulisan ini sendiri ditujukan bagi penulis pemula yang merasa bingung memulai tulisan dari mana.
Sebelum mengupas lebih jauh, kita perlu tahu apa sih kepepet itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV memberikan penjelasan sebagai berikut.

ter·pe·pet v 1 terimpit; terjepit; 2 terdesak (ke pinggir atau sudut); 3 ki berada
dalam keadaan kacau atau sukar; tersudut (tentang menghadapi persoalan)
ke·pe·pet v terpepet

Menurut Jaya Setiabudi, ada dua kondisi yang membuat orang bertindak. Yaitu, keinginan yang kuat dan keadaan kepepet. Hal senada dikatakan praktisi pendidikan Mugito Duido. Dia menyebut, motivasi itu sifatnya suatu iming-iming. Ia lama-kelamaan bisa pudar (fading out), lalu hilang. ”Kita tahu manfaatnya dan tahu itu penting, tapi sering ogah melaksanakannya,” tuturnya.
Nah, apabila motivasi masih tidak dapat mengubah diri kita, diperlukan upaya yang lebih keras. Dongkrak atau doping dengan kondisi kepepet!
***
Abdullah Munir, penulis buku best seller Spiritual Teaching, mengisahkan sebuah pengalamannya ketika dipercaya untuk mengelola sebuah sekolah Islam di Jogjakarta. Dia mengaku agak gamang. Pasalnya, dia masih kuliah waktu itu alias belum lulus. Hal serupa dialami beberapa temannya yang mendapatkan tawaran sama.
Munir kala itu telah menyelesaikan beberapa konsepnya dan mampu menerapkannya dengan baik. Namun, di sisi lain, dia tak mau membohongi orang tua murid karena dirinya belum lulus pendidikan S-1. Dia kepepet. Namun, hal itu justru mengilhami dia untuk menelurkan ide. Yakni, menaruh gelar CSPd untuk calon sarjana pendidikan dan CSAg untuk calon sarjana agama di belakang nama mereka yang belum lulus S-1.
”Dengan begitu, kami merasa tak terbebani dan tak membohongi orang murid,” tulisnya dalam Catatan Cinta Seorang Guru.
***
Bagi penulis pemula, mengemas ide dan menguraikannya dalam bentuk tulisan bukan pekerjaan yang mudah. Mereka bisa saja duduk berjam-jam di depan komputer tanpa menghasilkan satu lembar tulisan pun. Padahal, mereka mungkin pernah atau sering mendapatkan motivasi dari para penulis profesional lewat seminar atau pelatihan menulis.
Namun, seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya, obat yang bernama motivasi bisa hilang. Maksudnya, ketika di dalam kelas mengikuti seminar menulis, otak kita bisa terus-menerus mengingatnya. Namun, saat berada di luar, motivasi tersebut bisa pudar.
Maka, kepepet adalah salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan itu. Bagaimana caranya? Bisa dengan membuat deadline untuk diri sendiri. Misalnya, menulis satu lembar artikel bebas dalam waktu setengah jam atau satu jam. Ciptakan kondisi kepepet itu. Yakni, mau tak mau harus bisa! Mau tak mau harus nulis satu lembar dalam waktu yang sudah ditentukan. Ketika belajar, jangan bicara kualitas, itu belakangan.
Bingung cari judul? Itu belakangan juga, yang penting nulis dulu. Judul bisa didapatkan ketika proses menulis. Dengan menciptakan kondisi kepepet, kita ditantang harus bisa memecahkan masalah.
Kita bisa belajar pada Rudi Hartono. Ketika ditanya apa yang membuat dia menjadi juara, Rudi menjawab: ”Every point is game point!” Artinya, dia menciptakan tekanan pada dirinya sendiri untuk meyakinkan dan menumbuhkan keyakinan kuat bahwa dirinya harus bisa (menang). Terbukti, prestasi Rudi Hartono dikenang sepanjang masa dalam dunia olahraga bulu tangkis dan nama Indonesia pun terangkat. Jika dia bisa, kita juga bisa.

Graha Pena, 29 Agustus 2010

Emas di Tangan Penulis

Oleh Eko Prasetyo


Menulis akan selalu membuat kita ”kaya”.
~Helvy Tiana Rosa~ (penulis, pendiri Forum Lingkar Pena)

***
Pada edisi 24 April–21 Mei 2008, majalah Adil merilis lima nama penulis terkaya di Indonesia. Tempat pertama diisi Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi, yang disebutkan meraup Rp 2,5 miliar. Disusul Habiburrahman El Shirazy –penulis novel laris Ayat-Ayat Cinta– yang mendapatkan penghasilan Rp 1,5 miliar. Berikutnya berturut-turut ada nama Kinoysan, Asma Nadia, dan Helvy Tiana Rosa.
Majalah Adil tidak menyebut apakah pendapatan lima penulis Indonesia itu diperoleh per bulan atau per tahun. Hanya Kinoysan yang disebutkan mendapatkan kocek Rp 90 juta per tiga bulan.
Pada tahun ini, Andre Hirata dan Habiburrahman masih bertengger di tangga teratas penulis best seller Indonesia. tidak banyak berubah. Hanya posisi ketiga dan kelima yang berubah.Tempat ketiga diduduki Ahmad Fuadi dengan karya apiknya, Negeri 5 Menara. Selanjutnya, ada nama Asma Nadia dan Dewi ”Dee” Lestari yang menelurkan novel populer Perahu Kertas dan Rectroverso (http://serujadiguru.blogdetik.com). Pada novel terbarunya, Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, Andre Hirata bahkan seakan belum tertandingi oleh penulis lain Indonesia. Wajar jika dia tetap anteng di posisi paling atas deretan penulis terkaya Indonesia.

Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu tersenyum padaku”. Meski tak terkatakan, anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas membalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas.” (Cinta di Dalam Gelas, Andrea Hirata)

Selain meraup pundi-pundi rupiah dalam jumlah ratusan juta, para penulis potensial itu berperan menggairahkan kembali dunia buku di negeri ini. Khususnya, menyedot animo masyarakat untuk membaca. Langkah tersebut tentu saja positif, mengingat budaya membaca di Indonesia belum bisa dikatakan baik.
Tak ayal, para penulis tersebut bak menggenggam emas di tangan mereka –selain tentu saja tangan mereka adalah emas. Andrea Hirata, misalnya. Novelnya bakal merambah dunia. Sebab, Penerbit Bentang Pustaka telah menandatangani kerja sama dengan Amer-Asia Books Inc dari Tucson, Arizona, Amerika Serikat. Amer-Asia Books Inc bakal menjadi agen dan memegang lisensi untuk penerbitan tetralogi Laskar Pelangi di luar Indonesia.
Selain itu, Andrea mendapatkan beasiswa menulis di Iowa University, Amerika Serikat. Dia termasuk salah satu di antara 13 orang dari berbagai negara yang mendapatkan kesempatan emas tersebut. Beasiswa itu didapatkan berkat novel Laskar Pelangi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, The Rainbow Troops. Selain itu, film berjudul sama dengan novel tersebut telah ditonton oleh sekitar 4,5 juta penonton. Prestasi itulah yang membuat kedutaan besar AS memberikan beasiswa menulis kepada novelis yang juga karyawan PT Telkom tersebut. Kontan, tangan emas si penulis bak menggenggam emas.
Emas di tangan penulis juga dialami Asma Nadia. CEO Forum Lingkar Pena Publishing itu mashyur lewat karya best seller-nya, Catatan Hati Seorang Istri dan kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji.
Berkat menulis, Andrea Hirata, Habiburrahman, Asma Nadia, dan Ahmad Fuadi bisa memperoleh kekayaan. Lebih dari itu, mereka memberikan suntikan motivasi kepada masyarakat dan jutaan remaja Indonesia untuk membuka jendela dunia lewat tulisan.
Kekayaan memang bukan melulu soal materi. Seperti dikatakan Helvy Tiana Rosa, kakak kandung Asma Nadia, bahwa ada ”kekayaan” sejati yang bisa diperoleh penulis. Bentuknya bisa saja kepuasan seperti ketika Helvy rajin menyumbangkan royaltinya untuk kegiatan sosial.
Terlepas dari itu, seorang penulis tetap akan kaya. Jikalau belum menggenggam emas, tangan mereka adalah emas. Lewat pena seorang penulis, berbagai informasi, ilmu pengetahuan, dan manfaat terlahir lewat tangannya. Maka, tak salah bila menulis perlu ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak kita. Minimal, itu dapat bermanfaat bagi mereka sebelum memberikan manfaat kepada orang lain.

Graha Pena, 27 Agustus 2010

Kejujuran Menulis Toni Morrison


Oleh Eko Prasetyo

Bila Anda ingin sekali membaca sebuah buku, tetapi belum ada yang menulisnya, Anda harus menulis buku itu.
~Toni Morrison~

*****
Beloved is indeed a work of genius. No other American novel of the past 25 years has so elegantly mapped the psychobiography of its ideal reader.” Demikian ulasan Stephen Metcalf. Pujian itu kiranya tidak berlebihan. Sebab, Toni Morrison mampu menyentak dunia pada 1987 lewat novelnya, Beloved, yang bercerita tentang perbudakan dan pembunuhan bayi orang negro.
Berkat novel tersebut, Toni Morrison menyabet hadiah Nobel di bidang sastra. Ia sekaligus menjadi wanita kulit hitam pertama Amerika yang meraih nobel. Novel tersebut bercerita tentang sebuah rumah yang disebut hanya dari nomornya, 124. Novel itu juga berkisah tentang Beloved, si hantu dari masa silam, Sethe yang membunuh anak sendiri, dan Baby Suggs yang berharap.
Budayawan Goenawan Mohammad tak ketinggalan memuji novel Beloved ini. Goenawan mengatakan, jika ada yang magis dalam novel Toni Morrison, itu adalah Beloved. Sebab, ia mengingatkan kita akan arti ”daging.” Yakni, daging yang pernah dirantai perbudakan, dicap seperti ternak, dan dihina dalam apartheid. Daging ”negro”.
Ya, sebagai perempuan berkulit hitam, Toni Morrison mendorong kaumnya untuk melakukan kiprah di dunia menulis dan seni lainnya. Dia pernah menjadi anggota National Council untuk sastra dan American Academy and Institute of Arts and Letters.
Dikutip dari majalah Tempo, pada 1977 Morrison memublikasikan Song of Solomon. Karya tersebut menjadi novel pertama yang ditulis oleh orang Afro-Amerika yang dipilih sebagai book of the month club sejak 1940, saat Richard Wright muncul dengan Native Son.
Morrison beralih menjadi penulis penuh pada 1983. Itu terjadi setelah dia memutuskan keluar dari Random House sebagai editor. Karirnya benar-benar menanjak pada 1988 ketika meraih Pulitzer untuk novel Beloved. Sebuah novel yang mengguncang banyak penikmat sastra dan membuka kembali sejarah tentang perbudakan kaum negro.
Penyair Agus Sarjono punya pandangan berbeda. Bagi dia, Toni Morrison memberikan warna baru dalam khazanah menulis. Dia menerapkan bahasa bertutur dalam tiap tulisannya sehingga karya-karyanya memiliki daya tarik tersendiri (Tempo, 25/1/2010). Banyak bahasa gaulnya, demikian kata Agus Sarjono. Justru karena itulah karya tulis Toni Morrison memiliki daya magis: menyihir pembacanya untuk mengikuti alur cerita sampai habis bis bis bis.
Morrison berjuang dengan kejujuran. Kejujuran itu pun ia terapkan dalam tiap karyanya, termasuk novel fenomenalnya, Beloved. Ia hendak memperjuangkan kaumnya, negro, yang dianggap minoritas dan tertindas hingga abad ke-20. Sebagai penulis, dia mengungkapkan kegalauan dan kemarahannya dalam novel Beloved.
Menurut Goenawan Mohammad, marah juga punya daya tersendiri. Marah bisa seperti Beloved, hantu dari masa lalu, roh si upik yang terbunuh, wakil 16 juta budak yang mati di sebuah "holocaust" yang tak pernah disebut "holocaust". Marah bisa membuat sejarah.
Semuanya diungkapkan dengan jujur dan apa adanya oleh Toni Morrison, wanita yang teguh berjuang lewat tulisan. Dan sejarah pun lahir dari tulisannya.

Graha Pena, 26 Agustus 2010

Menulis Surat Pembaca



Pada 16 Juli 2010, surat kabar Kompas memuat surat pembaca dari seorang warga yang tinggal di Cibubur. Namanya Hendra N.S. Pria yang juga berprofesi sebagai wartawan itu mengeluhkan patroli pengawalan (patwal) iring-iringan mobil rombongan presiden. Hendra menganggap patwal sangat arogan dan menimbulkan trauma pada anak perempuannya.
Kontan, surat pembaca itu mengetuk simpati dari masyarakat luas. Media elektronik pun saat itu ramai-ramai memberitakannya. Termasuk, meminta presiden untuk tidak membawa  rombongan kendaraan terlalu banyak. Sebab, selain membuat jalanan macet, tak jarang petugas patwal bersikap arogan seperti yang dialami Hendra. Dampaknya surat pembaca itu benar-benar luar biasa. Pihak istana kepresidenan dibuat geger dengan pemberitaan media setelah pemuatan surat pembaca di harian Kompas tersebut. Istana pun merespons dengan berjanji untuk memperhatian masalah itu. Berikut saya kutipkan surat pembaca di Kompas tersebut.

Trauma oleh Patwal Presiden

Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya-juga mayoritas pengguna jalan itu-memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.
Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya.
Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman. Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri.
Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, sayapun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.
Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?” Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya.
Saya jelaskan situasi tadi. Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “dari mana sumber suara speaker itu?”, atau “mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”. Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat.
Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?” Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.
Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.

HENDRA N.S.
Cibubur

*****
Surat pembaca merupakan salah satu media yang efektif untuk mengutarakan maksud di pembaca atau penulis. Misalnya, menyampaikan informasi, tanggapan atas keluhan, unek-unek, maupun kritik terhadap pihak tertentu.
Karena itu, surat pembaca juga bisa menjadi salah satu alternatif bagi orang yang ingin belajar menulis atau penulis pemula. Hal inilah yang belum banyak dilirik oleh penulis pemula. Kebanyakan menganggap menulis surat pembaca adalah tindakan yang percuma lantaran tidak ada honornya.
Saat memulai belajar menulis (artikel ilmiah, misalnya), pandangan bersifat materiil tersebut mesti dikesampingkan dahulu. Sebab, hal itu bisa menghambat niat kita untuk mulai menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Nah, surat pembaca pun bisa menjadi alternatif sebelum memulai belajar menulis artikel ilmiah (opini) di surat kabar.
Menulis surat pembaca lebih mudah. Sebab, pembaca atau penulis tidak mutlak menggunakan istilah ilmiah populer sebagaimana artikel opini dalam rubrik tersebut.
Tentu, menulis surat pembaca merupakan salah satu tahapan untuk mencapai fase menulis artikel ilmiah populer (opini). Umumnya, penulis pemula bingung saat harus mengawali tulisannya. Nah, hal ini akan termentahkan ketika dia memulai belajar menulis surat pembaca. Salah satu kemudahan lainnya, tipikal surat pembaca tidak terlalu panjang. Umumnya hanya dua sampai tiga paragraf saja.
Merujuk surat pembaca yang ditulis Hendra di koran Kompas tersebut, saya yakin penulis pemula sekalipun bisa melakukan hal serupa, terlepas ia wartawan atau warga biasa. Silakan coba!

Graha Pena, 25 Agustus 2010



Memahami Kemampuan

Oleh Eko Prasetyo

Be thankful for what you have, you’ll end up having more. If you concentrate on what you don’t have, you will never, ever have enough.
Hargailah segala yang kau miliki, Anda akan memiliki lebih lagi. Jika Anda fokus pada apa yang tidak anda miliki, Anda tidak akan pernah merasa cukup dalam hal apa pun.
(Oprah Winfrey)

***

Beberapa waktu lalu bibi saya tampak uring-uringan. Dia mengeluhkan sikap anak bungsunya yang kini duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Adik sepupu saya tersebut dinilai malas-masalan belajar. Akibatnya, nilai ulangan hariannya jeblok. Hal yang sama terjadi pada hasil ulangan tengah semester. Warna tinta nilai pada kertas ulangannya nyaris merah semua.

Di sisi lain, paman saya justru mengeluhkan tindakan bibi saya. ”Bibimu itu sering ngomel kalau anak-anak mau berangkat kuliah dan sekolah,” ujar paman saya. Saat malam pun, lanjut paman saya, rumahnya serasa kapal yang diserang badai. Ribut.

Penyebabnya, bibi saya muntap (baca: marah) jika anak-anaknya tidak mau belajar. Hari-hari berlangsung seperti itu, terkecuali hari libur.

Tak jarang, tindakan bibi saya tersebut memicu keributan, baik dengan sang suami maupun anak-anaknya. ”Bikin stres pokoknya,” tutur paman saya. Di satu sisi, bibi saya mengaku bersikap seperti itu demi kebaikan anak-anaknya. Di sisi lain, paman saya punya pandangan berbeda. Menurut dia, anak tak perlu dibentak-bentak saat hendak belajar ataupun ketika berangkat ke sekolah/kampus.

Saya bisa memahami kekhawatiran orang tua seperti bibi saya tersebut. Adik sepupu saya itu, yang notabene anak bungsu bibi, memang agak ”kurang” di bidang akademis. Dia lebih menyukai belajar musik ketimbang membaca buku pelajaran. Pergaulannya pun lebih banyak dihabiskan dengan teman-temannya yang sehobi.

Bahkan, pada usia ke-16 tahun, adik sepupu saya itu dikabarkan sudah punya pacar (mungkin lebih pas disebut cinta monyet). Inilah yang menambah kekhawatiran bibi saya. Ia tak mau masa depan si bungsu berantakan hanya karena tak mau belajar, hanya main band, dan pacaran.

Ketika itu, si bungsu tak ada di rumah. Saya lantas memberikan saran kepada bibi untuk bersikap tenang. Saya meminta beliau untuk tidak mengumbar emosi di depan anak. Apalagi, remaja umumnya tak bisa ”ditaklukkan” dengan marah-marah. Terkadang, kian dibentak, si anak bisa kian berani untuk melawan.

Memang, tak mudah untuk menanamkan kesadaran kepada anak yang beranjak remaja. Media, teknologi, dan lingkungan bisa memberikan pengaruh terhadap perilaku dan tindakan anak, termasuk sikap mereka kepada orang tua.

***
Suatu sore, saya menemui adik sepupu saya tersebut. Saya ingin berusaha menengahi bibi dan adik sepupu saya itu. Tentunya, saya memperbincangkan masalah tersebut dengan adik sepupu saya itu dalam situasi santai.

Saat situasi mulai tenang, saya menanyakan alasannya malas belajar dan sering membangkan ibunya. Dia tak menampik kesal terhadap ibunya. ”Sebab, ibu sering membandingkan aku dengan si A,” ujar adik sepupu saya itu.

Si A yang dimaksud adalah anak teman bibi saya, yang masih satu perumahan dengannya. Si A kebetulan menempuh pendidikan di sebuah sekolah negeri yang favorit. Ia memang dikenal pandai dalam hal akademis. Ia juga aktif di beberapa ekstrakurikuler di sekolahnya. Tak jarang, ia meraih prestasi demi prestasi, baik di bidang akademis maupun ekstrakurikuler. Inilah yang bibi saya merasa iri melihat si A yang pintar itu.

Gambarannya, oleh ibunya, adik sepupu saya kerap dimarahi sambil dibanding-bandingkan dengan si A. Tentu saya adik sepupu saya kesal. Dia melawan dengan bersikap tak mau belajar.

”Aku nggak kerasan di rumah, dimarahin terus sih,” keluhnya. Saya menghela napas. Adik sepupu saya tidak salah, demikian pula si ibunya. Saya lantas mengalihkan topik pembicaraan dan mengajaknya untuk bersantai di tempat lain serta berjanji mengingatkan bibi saya.

***
Kita memang kadang terjebak oleh keinginan yang terlampau tinggi tanpa melihat kemampuan untuk bisa menggapainya. Kadang pula kita berusaha memperbandingkan kemampuan seseorang dengan orang lain. Padahal, jelas kemampuan tiap orang berbeda-beda, baik kemampuan akademis maupun nonakademis.

Dalam suatu kesempatan, saya mengajak adik sepupu saya keluar untuk makan-makan di sebuah restoran cepat saji. Saya memuji skill bermusiknya. Dia tampak antusias, lalu bercerita banyak tentang hal-hal berbau musik khas anak band. Setelah makan, saya mengajaknya mampir di sebuah toko buku dan membelikannya buku musik. Raut mukanya menampakkan kegembiraan.

Saya berharap dia mengkhatamkan bacaannya dalam buku tersebut. Lebih dari itu, saya menyimpan asa lain. Yakni, berharap dia mulai menyukai membaca, membaca buku apa saja. Tak ada kata terlambat kan?

Graha Pena, 24 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Membaca atau Menulis Dulu?

Oleh Eko Prasetyo

Orang bijak memperoleh keuntungan yang lebih banyak daripada yang didapat orang bodoh. Sebab, orang bijak menghindari kesalahan-kesalahan orang bodoh, tetapi orang bodoh tidak meniru keberhasilan orang bijak. (Cato)

*****
Seorang kawan mendatangi saya dan menanyakan sesuatu yang tampaknya membuat dia bimbang. Dia mengatakan hendak membeli rumah tipe 36 di daerah Surabaya atau Sidoarjo. Di sisi lain, dia juga berniat membeli sebuah mobil. Alasannya, dia sering bertugas ke luar kota. Masalahnya, budget yang dia miliki hanya cukup untuk beli rumah saja atau mobil saja. Sebab, harganya memang tidak bertaut jauh, beda-beda tipis.

Mana yang lebih dulu dibeli? Pertanyaan tersebut dia lontarkan saat berdiskusi dengan saya. Sekilas, menjawabnya mudah. Yakni, mana yang lebih dibutuhkan dan lebih tinggi tingkat urgensinya. Namun, teman saya itu berkilah bahwa dua-duanya dibutuhkan dan sama-sama urgen. Terdengar kemaruk memang, tapi dia menyimpan pembenaran atas keinginannya tersebut.

Memang jamak masalah seperti itu, yakni menentukan salah satu di antara dua pilihan yang sama-sama dianggap urgen dan penting. Misalnya, seperti kawan saya tadi, beli rumah atau mobil dulu. Pertanyaan opsional memang kadang sulit untuk langsung dijawab. Sebab, dibutuhkan pertimbangan yang betul-betul matang.

Saya memberikan jalan tengahnya. Yakni, beli karena membutuhkan, bukan beli karena alasan keinginan. Rekan saya tadi berpikir sejenak, berterima kasih, lantas berlalu.

Pertanyaan hampir mirip terlontar dalam suatu seminar menulis. Seorang peserta bertanya, mana yang lebih dulu: membaca atau menulis? Susah-susah gampang menjawabnya. Itu umumnya terjadi pada orang yang baru mulai belajar menulis atau penulis pemula.

Namun, pertanyaan tersebut berbeda dengan kasus kawan saya tadi, meski sama-sama opsional. Membaca dan menulis tak sama dengan mendahulukan membeli rumah atau mobil dahulu. Sebab, kegiatan membaca dan menulis memiliki kesinambungan dan urgensi yang sama.

Membaca tanpa menulis bagi sebagian orang –khususnya yang menyukai menulis– dianggap hambar. Sementara menulis tanpa membaca dinilai memengaruhi kualitas tulisan. Sebab, memang dibutuhkan literatur ketika menulis sebagai penunjang data tulisan.

Masalahnya, ketika merasa bingung memulai menulis dari mana, pertanyaan itu (membaca dulu atau menulu dulu) mengganggu kembali. Pada kasus demikian, kita dituntut untuk bijak. Mendahulukan salah satu di antara dua kegiatan tersebut tidak salah. Yang salah adalah bila tidak melakukan keduanya. Bagaimana menurut Anda?

Graha Pena, 22 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Orang Lain Nggak Tau, Lha Allah?

Oleh Eko Prasetyo

Berpuasa memang nikmat, tapi banyak tantangannya. Sekadar menahan lapar dan haus saja pasti banyak yang mampu. Beda halnya jika melawan godaan hawa nafsu. ”Itu yang susah banget!” kata seorang teman saya.

Bulan suci Ramadan memang sangat spesial. Setiap malam, tampak salat Isya dan Tarawih berjamaah, terdengar lantunan orang bertadarus Alquran, dan aktivitas iktikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Pemandangan yang tidak selalu bisa kita lihat setiap hari. Subhanallah indahnya Ramadan.

Nah, esensi ibadah shaun (puasa) Ramadan yang menahan diri dari segala penyakit hati seperti riya, sombong, ghibah, dan lain-lain itu tidak mudah. Apalagi di tengah gempuran tayangan televisi yang kebanyakan tidak edukatif. Misalnya, sinetron yang melecehkan ortu dan guru ataupun acara komedi yang diwarnai ejek-mengejek kekurangan seseorang.

Ternyata, bertempur melawan hawa nafsu memang tidak mudah. Seorang kawan berbagi pengalaman tentang hal itu. Pada saat siang yang terik di kawasan lumpur Lapindo, Sidoarjo, dia bersama beberapa kawannya terjebak macet dekat pintu masuk tol Porong.

Kawasan Sidoarjo siang itu memang cukup panas. Terik matahari menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi orang yang tengah menjalankan ibadah puasa. Ditambah kondisi sekitar lumpur Lapindo yang gersang dan arus lalu lintas yang macet, lengkaplah tantangan tersebut.

Di dalam mobil kawan saya tersebut, semua penumpang mengeluhkan terik matahari yang bukan main itu. Apalagi, mobil itu tidak dilengkapi pendingin. Di sinilah ujian dimulai. Ketika perut sedang berdendang keroncong, suasana kian penat karena jalanan macet dan cuaca panas. Salah seorang menceletuk, ”Mokel (batalin puasa) aja yuk!”

Semua tercenung dan saling memandang mendengar usulan itu. Ragu. Tak urung, terjadi perdebatan sengit di dalam mobil itu. Di antara sekitar enam orang, lima ragu dan satu tetap teguh untuk meneruskan puasanya.

Yang ragu merasa bahwa mereka seakan tak kuat lagi untuk meneruskan puasa dalam terik matahari dan kondisi macet panjang itu. Sedangkan yang keukeuh puasa merasa bahwa ini hanya ujian kecil.

Topik pembicaraan di dalam mobil pun berubah. Lima orang sibuk mengobrolkan tentang rencana makan di suatu tempat. Salah seorang mengusulkan makan seafood. Usul itu diamini lainnya, kecuali satu orang yang menolak tadi.

Akhirnya, ketika memasuki Kota Sidoarjo, mobil benar-benar berhenti di sebuah restoran. Lima orang tadi sudah bersepakat untuk membatalkan puasa karena merasa tak kuat lagi setelah sebelumnya terjebak macet di bawah terik sang surya.

Jadilah mereka mokel berjamaah. Satu orang yang menolak tak kuasa menahan keinginan teman-temannya itu. ”Ayolah, nggak ada yang tahu ini. Sekali ini aja mokelnya. Kan bisa dibayar nanti pas udah Lebaran,” rayu teman-temannya. Meski lemas, dia tetap melanjutkan puasanya, sementara teman-temannya tengah menikmati menu masakan laut.

”Mungkin orang lain nggak tau, lha Allah?” Begitu dia menguatkan hatinya untuk meneruskan puasanya. Sore segera beranjak petang. Azan magrib pun berkumandang. Dia bersuka cita menyambutnya dengan meneguk segelas teh manis. Kebahagiaan yang tak bisa diukur dan dibayar dengan apa pun...

”Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)

Graha Pena, 18 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Puasa si Kecil dan Nikmat Berbuka

Oleh Eko Prasetyo

”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum kamu supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah: 183)

Ramadan merupakan bulan yang kedatangannya sangat dinanti-nantikan umat Islam. Sebab, pada bulan suci tersebut, Allah SWT memberikan ampunan bagi hamba yang bertobat dengan sungguh-sungguh, melipatgandakan pahala ibadah, serta membuka pintu surga dan menutup pintu neraka.

Lebih dari itu, ibadah shaum (puasa) membawa banyak manfaat. Misalnya, berpuasa sehat bagi kesehatan tubuh dan baik bagi orang yang tengah menjalankan diet sehat. Esensi berpuasa pada bulan suci Ramadan juga luas. Tak heran apabila bulan Ramadan sangat spesial.

*****
Seorang sahabat saya berbagi cerita tentang Ramadan-nya bersama si kecil. Putri sulungnya baru berusia lima tahun. Sang sahabat hendak memperkenalkan ibadah puasa kepada anaknya tersebut. Si ayah itu pertama menjelaskan ibadah puasa yang diwajibkan Allah SWT. Karena hukumnya wajib, seorang muslim akan berdosa jika tidak menjalankannya.

Namun, si anak bertanya. ”Puasa itu apaan sih, Yah?”
”Puasa itu artinya enggak makan dan minum selama seharian, mulai subuh sampai magrib,” jawab sang ayah.
”Wah, lapar dong! Kalo gitu, aku nggak mau puasa, Yah,” ucap si anak polos.

Si ayah dengan bijak tidak langsung menghardik bahwa tidak berpuasa pada bulan Ramadan itu berdosa. Dia juga tidak menakut-nakuti anaknya tentang ancaman api neraka jahanam pada orang yang berdosa, termasuk yang tidak berpuasa wajib itu.

Ketika makan sahur, si anak itu terbangun. Dia melihat ayah dan ibundanya sedang makan pada pagi-pagi buta tersebut. Si anak lantas bertanya.
”Yah, kok makan pagi-pagi sih?”
”Ayah sama Ibu makan sahur sebelum berpuasa sampai magrib nanti.”

Sang anak lalu ikut makan sahur bersama bapak ibunya. Namun, paginya dia meminta dibuatkan nasi goreng dan teh hangat kepada ibunya. Ayahnya tersenyum. Dia memberikan isyarat kepada sang istri untuk menuruti kemauan putri mereka, meski sebelumnya si anak ikut makan sahur.

Saat azan magrib mulai memanggil, si ayah dan ibu menyegerakan makan berbuka. Si anak juga ikut berbuka. Dia lalu bercerita bahwa di taman kanak-kanak (TK) tempatnya bersekolah, para guru menjelaskan ibadah puasa Ramadan beserta semua manfaatnya.

Si kecil tertarik. Dia lalu meminta kepada bapak ibunya untuk diizinkan berpuasa. Tentu saja orang tuanya dengan senang hati mengabulkan keinginan anak mereka tersebut. Namun, karena baru belajar berpuasa, si kecil diizinkan untuk berpuasa sampai bedug azan duhur.

Awalnya, si kecil mengeluh lapar dengan ibadah menahan lapar dan haus tersebut. Namun, lingkungan, orang tua, guru, dan teman-temannya di TK turut menguatkan tekad si kecil dalam menyelesaikan ibadah shaum (puasa) pertamanya. Ketika tiba waktu duhur, dia berbuka. Wajahnya tampak sangat semringah, seperti telah mengakhiri suatu pekerjaan yang berat.

Bapaknya tersenyum. Dia sangat bersyukur dengan pelajaran berpuasa yang dialami si kecil. Lewat nikmatnya berbuka puasa, dia berdoa agar keluarganya dijauhkan dari siksa api neraka, sebagaimana firman Allah SWT: ”Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”. (At Tahriim: 6)


Graha Pena, 17 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Menghadap dengan Sebaik-baiknya

Oleh Eko Prasetyo

Sebuah pesan yang sangat baik saya dapatkan dari seorang teman. Dia sosok yang cukup sederhana. Kami sama-sama bekerja satu kantor di Kota Pahlawan. Setiap hari, dia berangkat dan pulang kerja Surabaya–Jombang. Dan itu telah menjadi aktivitasnya selama bertahun-tahun bekerja.

Meski demikian, tak pernah sekali pun saya mendengar dia mengeluh. Dalam bekerja, dia juga termasuk disiplin. Dia selalu berusaha menuntaskan pekerjaan sebaik-baiknya. Dalam pergaulan, dia juga dikenal supel. Dia tak pernah alpa menyapa orang lain dengan ramah.

Di kampungnya, teman saya tersebut juga dikenal rajin mengikuti pengajian, baik mingguan maupun bulanan. Boleh dibilang, wawasan ke-Islam-annya cukup baik. Tak jarang pula saya bertanya tentang sesuatu yang tidak saya pahami. Misalnya, menyangkut masalah ibadah.

Satu hal yang selalu saya perhatikan dari kawan tersebut adalah kebiasaannya saat salat berjamaah di masjid. Ke mana-mana dia selalu membawa tas kecil, baik ketika di kantor maupun di masjid. Saya baru mafhum ketika mengikuti salat Magrib berjamaah bersamanya.

Setelah wudu, dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya tersebut. Rupanya, isinya hanya baju takwa. Dia mengganti pakaian kerjanya dengan baju takwa saat salat. Hal ini selalu saya amati saat kami kebetulan salat berjamaah di masjid.

Dalam kesempatan lain, saat senggang, saya iseng menanyakan kebiasaannya ganti baju saat salat. Dia tidak langsung menjawab dengan gamblang. Dia lantas bertanya kepada saya. ”Jika hendak bertemu bos, ente pakai pakaian apa?” tanyanya. ”Yo pakaian sing genah (yang baik),” jawab saya.

Dia merasa tak perlu menjabarkannya lebih lanjut dan saya pun sudah bisa menangkap maksudnya. Ya, seringkali tanpa disadari kita abai terhadap penampilan. Termasuk ketika sedang menjalan ibadah salat.

Kadang, ada yang salat dengan kaus oblong yang sedikit kumal. Ada pula yang salat dengan pakaian yang (maaf) sudah agak bau. Padahal, saat itu sedang menghadap pimpinan tertinggi, yakni Allahu azza wajalla.

Jikalau kita memakai pakaian terbaik ketika menghadap atasan, selayaknya pula kita melakukan hal serupa saat menemui Sang Pencipta. Saat salat, sudah selayaknya kita menghadap kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.

Semoga Ramadan kali ini memberikan semangat untuk lebih baik dalam beribadah. Marhaban yaa Ramadan.

Graha Pena, 10 Agustus 2010

Tuhan (Bisa) Terbunuh di Sekolah

Oleh Eko Prasetyo

Gott ist tot! (Tuhan sudah mati!). Ungkapan terkenal itu ditegaskan oleh filsuf asal Jerman Friedrich Nietzsche (1844–1900). Kalimat tersebut kali pertama muncul dalam Die frohliche Wissenschaft dan buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra (Wikipedia).

Sejak kemenangan renaissance, sekularisme merupakan kemuliaan. Sekularisme adalah bukti kebebasan, bukti terbebasnya masyarakat Barat dari belenggu gereja (agama). Nah, salah seorang filsuf Barat, Nietzsche, menegaskan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jikalau ada, Dia harus dibunuh. Karena itu, Nietzsche memproklamasikan dan mengumumkan kematian Tuhan.

Kita Lebih Barat ketimbang Barat

Dalam pelajaran agama, alam raya ini disebutkan diciptakan oleh Allah. Segala hal yang terjadi di dalamnya pun atas kehendak dan kekuasaan Allah. Jika Dia sudah berkehendak dengan hanya berkata ”Kun!” (jadilah!), ”fayakun” (maka terjadilah ia).

Hal itu tentu bertolak belakang dengan nilai yang ditawarkan pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Dalam IPA, alam raya diulas dengan detail dan dalam. Namun, jangankan kata ”Allah”, kata ”Tuhan” saja tidak ada di dalamnya. Dalam kurikulum warisan penjajah ini, alam raya ada bukan karena peran Tuhan, tetapi proses alam itu sendiri. Sebuah bukti betapa sekulernya kurikulum warisan penjajah tersebut. Namun, bagi Barat, ini bukanlah cacat. Salah satunya seperti diungkapkan oleh Nietzsche.

Tuhan seperti tidak dibutuhkan dalam buku-buku pelajaran. Pernyataan bahwa setiap orang berdosa akan masuk neraka adalah pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Karena itu, pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat sebagai kebenaran. Inilah yang menyebabkan pelajaran IPA hanya terhenti pada banjir dan longsor ketika menyinggung penggundulan hutan.

IPA tidak bicara murka Tuhan dan ancaman siksa neraka bagi mereka yang telah merusak alam. Sebab, IPA yang seperti diajarkan sekarang adalah produk Barat yang lahir dari rahim empirisme dan sekularisme.

Tuhan seolah terbunuh di situ. Membunuh Tuhan tidak perlu dengan mencari-Nya, lalu memancung-Nya. Membunuh Tuhan adalah meniadakan peran-Nya dalam kehidupan ini. Semua fenomena harus dimaknai sebagai gejala alam, bukan perintah Tuhan.

Itulah yang dijejalkan sebagai makanan harian anak-anak kita lewat pelajaran-pelajaran yang diwariskan oleh penjajah. Praktisi pendidikan yang concern pada madrasah dan pesantren, Abdullah Munir, menyebut itu sebagai asupan yang mematikan keimanan (Catatan Guru, 2009).

Tak heran, di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini, implementasi keimanan dalam kehidupan nyata boleh dikatakan nol. Bahkan, kita lebih Barat ketimbang negara Barat itu sendiri. Korban utama dari kontradiksi ini tentu para siswa.
Setelah lulus, bisa jadi kepribadian mereka akan terbelah. Maka, jangan heran apabila banyak terjadi kasus kekerasan dan kriminalitas yang melibatkan pelajar.

Sebab, banyak kontradiksi yang telah mereka dapatkan.
Tidak ada pemisahan dan dikotomi antara pandangan duniawi dan ukhrawi dalam kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan. Padahal, bagi muslim, dunia ini adalah ladang untuk hidup di akhirat.

Graha Pena, 9 Agustus 2010

Pesuruh vs Pembelajar Mandiri

Oleh Eko Prasetyo

Disadari atau tidak, kebanyakan anak didik kita telah dibentuk untuk memiliki karakter pesuruh. Penasaran? Mari kita buktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat penjelasan tentang kata ”pesuruh” yang berasal dari kata dasar ”suruh”. Berikut paparannya. 1su•ruh n perintah (supaya melakukan sesuatu); pe•su•ruh n orang yang disuruh; suruhan; pe•nyu•ruh n 1 orang yang menyuruh; 2 kl perbuatan (hal dsb) menyuruh (KBBI edisi IV, Pusat Bahasa, 2008).

Lantas, apa hubungannya anak didik dengan karakter pesuruh? Contoh yang paling mudah dan sederhana adalah jam belajar anak. Di Indonesia, sangat mudah menebak jam belajar kebanyakan pelajar. Umumnya, mereka belajar antara pukul 19.00 hingga 21.00. Di atas pukul itu, biasanya mereka lembur belajar untuk menghadapi ujian esoknya alias sistem kebut semalam (SKS).

Memang, tidak ada data akurat tentang penerapan jam belajar di rumah pasti seperti itu. Kendati demikian, tidak sulit menemukan anak usia pelajar yang menerapkan sistem belajar seperti itu.

Faktanya, tidak sedikit pelajar yang berontak. Ketika orang tua memerintahkan mereka belajar pada jam-jam tersebut, anak-anak itu mulai membuka buku. Namun, tunggu dulu... Ada anak yang membuka buku pelajaran, tapi di dalamnya terdapat komik. Bahkan, ada seolah-olah membaca buku pelajaran, tapi pikiran ke mana-mana.

Dengan demikian, anak-anak tersebut, para pelajar, belum paham betul tugas dan tanggung jawab mereka. Belajar adalah tugas mereka sebagai pelajar. Namun, kebanyakan baru mau belajar jika disuruh atau bahkan dipaksa.

Mereka belum dibentuk untuk memiliki karakter pembelajar mandiri. Artinya, mereka baru mau sinau (belajar) ya kalau disuruh atau dipaksa-paksa. Meski, toh banyak pula anak didik yang mau belajar tanpa disuruh-suruh. Mereka menganggap belajar adalah kebutuhan.

Namun, tak bisa dimungkiri, angka ”pesuruh” atau anak didik belum memiliki karakter pembelajar mandiri masih banyak. Indikasinya adalah minimnya budaya membaca dan menulis di kalangan anak didik. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada output atau hasil dari kegiatan pendidikan itu sendiri.

Minimnya budaya membaca dan menulis sangat berdampak pada bangsa ini. Karakter ”pesuruh” hanya menghasilkan orang-orang yang menjiplak skripsi, tesis, atau desertasi orang lain. Karakter ”pesuruh” berimbas pada guru yang menyontek karya tulis ilmiah orang lain.

Banyak faktor yang memengaruhi karakter ”pesuruh” di kalangan anak didik kita. Misalnya, sekolah yang seperti penjara, guru menerangkan dengan cara membosankan, dan lain-lain.

Karena itu, menanamkan kesadaran untuk menjadi pembelajar mandiri kepada anak didik adalah hal yang mutlak. Tidak mudah memang, dibutuhkan kesabaran, perhatian, dan bimbingan yang terus-menerus.

Belajar adalah kebutuhan bagi pelajar, bahkan kewajiban bagi setiap insan. Karena itu, tak perlu disuruh-suruh untuk melakukan kegiatan belajar. Rasulullah SAW bahkan berpesan: ”Utlubul ’ilmi minal mahdi ilal lahdi” (Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat).

Maka, salah satu pekerjaan rumah besar saat ini adalah menjadikan para anak didik kita sebagai pembelajar mandiri, tidak menjadi ”pesuruh”. Bukankah kita pun tak mau dan tidak terima apabila bangsa ini disebut sebagai bangsa ”pesuruh”?
Long life education...

Graha Pena, 8 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Kehormatan Guru

Oleh Eko Prasetyo

Orang awam menyebut guru sebagai kepanjangan digugu dan ditiru. Otomatis, ucapan dan nasihatnya digugu. Sedangkan sikap, perilaku, dan tindakannya akan ditiru. Dengan demikian, guru diharapkan menjadi teladan bagi para muridnya.

Karena itu, tak mudah menjadi guru. Bahkan, menurut saya, guru adalah salah satu sosok yang perfeksionis. Maksudnya, tugas dan tanggung jawab seorang guru sangat besar. Kemajuan suatu bangsa pun bisa ditentukan oleh peran vital seorang guru dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.

Dengan tuntutan yang sedemikian berat itu, sudah pasti seseorang harus bijak dan serius jika hendak menempuh jalan hidup sebagai guru. Menjadi guru tidak boleh asal-asalan. Lebih dari itu, jangan menjadikan profesi guru sebagai sebuah pelarian.

Faktanya, sejak sertifikasi diterapkan pemerintah, banyak hal kebablasan. Banyak orang tertarik terjun ke dunia guru. Ini mungkin positif, mengingat Indonesia memang membutuhkan banyak guru andal. Masalahnya, tak sedikit yang menjadikan profesi mulia itu sebagai pelarian.

Besarnya gaji guru PNS plus tunjangan pendidik (TPP) cukup menggiurkan. Namun, hal itu belum diimbangi kesadaran akan kompetensi dan kemampuan. Salah satu kebablasan yang nyata adalah banyaknya guru yang membuat karya tulis jiplakan demi lupus sertifikasi. Bahkan, di Riau, pangkat sekitar 1.700 guru golongan 3B diturunkan menjadi 3A karena kasus itu (JPNN, 31/1/2010).

Pemerintah sebenarnya bukan tanpa tindakan tegas. Buktinya, guru disyaratkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya. Salah satunya, mengadakan pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan kompetensi tenaga pendidik.

Di luar itu, pemerintah gencar mengampanyekan pendidikan karakter. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kasus yang bisa mencoreng dunia pendidikan. Misalnya, kekerasan di lingkungan sekolah, pelecehan seksual, kasus tindakan mesum, dan lain-lain yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat.

Senyampang dengan tema tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah pesan bagus yang diambil dari sebuah tulisan Abdullah Munir, penulis buku best seller Spiritual Teaching. Yakni, seorang kuli bangunan boleh saja membeli bakso dan menyantapnya di trotoar. Namun, seorang guru tidak boleh melakukan hal demikian. Sebab, dia harus menjaga muruah (kehormatan/nama baik) sebagai guru.

Saya terkesan dengan pesan itu. Tidak hanya pada substansinya, tapi juga contoh yang diberikan. Guru tidak hanya harus amanah. Lebih dari itu, guru pun semestinya dapat menjaga kehormatan dan nama baik profesi mulia yang diembannya tersebut.

Memang, tidak ada yang melarang guru untuk makan bakso di trotoar atau sekadar merokok di luar sekolah. Kendati demikian, muruah sebagai guru mesti dikedepankan. Pasalnya, segala ucapan dan tindakannya bakal dicontoh oleh anak didiknya. Bisa dibayakan bila murid melihat sang guru merokok. Tentu si murid bisa saja mencari pembenar apabila dia ikut-ikutan merokok seperti gurunya.

Jelas sudah, menjadi guru benar-benar tidak mudah, tidak boleh main-main. Salah satu hal yang bisa dirasakan membatasi adalah menjaga muruah (nama baik) sebagai guru. Sebagaimana pepatah ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, tindak tanduk guru bukan tidak mungkin bakal dicontoh oleh sang murid. Maka, menjaga kehormatan guru adalah keharusan, tanpa pamrih apa pun.

Di belakang murid hebat, selalu ada guru hebat...dan terhormat...

Graha Pena, 5 Agustus 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id