Menulis dan Lirik Dangdut

Oleh Eko Prasetyo

”Aku belajar dari sekelilingku, maka aku menulis.”
(Eko Prasetyo)

Wajah-wajah para siswa itu tampak kurang semangat. Mereka masuk kelas jurnalistik dengan kuyu dan terpaksa. Hari itu memang ada jadwal diklat jurnalistik yang diadakan Jawa Pos di sebuah SMK swasta di Sidoarjo tersebut. Kebetulan saya menjadi penyaji di depan para siswa itu.

Saya bisa memahami mengapa mereka kurang bersemangat ketika masuk kelas jurnalistik. Selain menulis dianggap sulit, beberapa di antara mereka bukan anggota ekstrakurikuler jurnalistik. Namun, itu tak penting. Saya bersungguh-sungguh akan membuat mereka jatuh hati pada jurnalistik.

Ketika jam jurnalistik dimulai, seperti biasa saya memperkenalkan diri terlebih dulu. Untuk membuat mereka antusias, saya tidak langsung menerangkan wawasan jurnalistik. Setelah perkenalan, saya memilih untuk membuat games berupa kuis untuk para siswa itu. Kuis tersebut bertema kebahasaan, salah satu unsur penting dalam jurnalistik.

Saya pilih pertanyaan yang tidak terlampau sulit buat mereka. Misalnya, mana yang betul, apotik atau apotek; resiko atau risiko. Saya juga menanyakan alasan memilih jawaban yang mereka anggap benar. Saya berjanji memberikan hadiah untuk siswa yang menjawab dengan memiliki alasan benar. Ketika itu, ada hadiah menarik dari sponsor.

Kelas mulai ramai. Masing-masing berebut menjawab. Salah seorang siswa menjawab bahwa yang betul adalah apotek. ”Sebab, tidak ada apotiker. Yang ada cuma apoteker,” ujarnya. Ternyata, banyak yang mendukung jawaban serta alasan tersebut.

Saya tidak langsung memberikan suara. Sejurus kemudian, saya bertanya apakah ada siswa yang punya alasan berbeda. Setelah tidak ada jawaban lagi, saya mengatakan bahwa jawaban yang betul memang apotek. Belum tuntas saya berkata, kelas itu semarak dengan teriakan riang. Sebab, mereka yakin bahwa siswa tadi bakal mendapatkan hadiah.

”Meski benar, alasan yang dikemukakan tadi biasanya dilontarkan oleh orang yang malas,” tutur saya. Gerr. Kelas kembali gegap gempita. ”Emang bener Pak, yang jawab emang males,” ucap seorang siswa lain. Yang disindir bermuka masam, menahan malu.

Namun, saya tetap memberikan hadiah itu kepadanya. Saya kemudian menjelaskan bahwa kata apotek diserap dari bahasa Belanda. Mereka lantas mafhum mengapa orang yang ahli dalam ilmu obat-obatan disebut apoteker.

Lantas, untuk pertanyaan kedua, ada jawaban yang bikin saya tertawa hingga perut terasa sakit. Tentang mana yang benar, resiko atau risiko. Seorang siswa laki-laki dengan pede menjawab dengan suara lantang bahwa yang betul adalah resiko. ”Sebab, guru saya yang bilang begitu,” tuturnya. Jawaban yang polos tersebut membuat saya cekikikan. Sampai kini, jika mengingatnya, saya tersenyum-senyum. Saya lantas menjelaskan bahwa yang betul adalah risiko karena kata tersebut diserap dari bahasa Inggris: risk.

Setelah kelas tampak antusias, saya mulai mengajak mereka menyelami dunia jurnalistik. Mereka menyimak dengan baik. Untuk praktiknya, saya meminta mereka membuat komentar apa saja tentang lirik lagu. Medianya adalah ponsel saya. Saya menyetel musik dangdutnya Bang Haji Rhoma Irama. Awalnya, banyak yang protes. Banyak yang menawarkan lagu-lagu populer dari Ungu, Nidji, SamSons, Peterpan, dan band-band papan atas lain.

Namun, saya dengan tegas menolak. Saya katakan bahwa musik dangdut yang tidak mereka sukai itu memiliki lirik yang bagus. Tidak seperti musik pop sekarang yang hanya dipenuhi lirik roman picisan.

Setelah deal, saya memutar lagu berjudul Begadang. Lantunan-lantunan indah ditambah pesan yang baik dari Bang Haji didengarkan secara saksama oleh para siswa. Setelah itu, mereka memberikan komentar macam-macam. Saya sengaja tidak membatasi mereka untuk mengomentari dalam jumlah paragraf tertentu. Saya membiarkan mereka mengeksplorasi ide, analisis, dan pesan setelah mendapatkan bekal ilmu jurnalistik.

Hasilnya luar biasa. Komentar mereka bagus-bagus. Bahkan, banyak yang setuju dengan pesan dalam lagu Begadang. Intinya, mereka sepakat bahwa begadang tanpa tujuan jelas bisa merugikan.

Akhirnya, mereka sangat tertarik dengan dunia menulis. Secara tak sengaja, mereka menemukan keasyikan dalam menulis. Waktu tiga jam dirasakan begitu cepat. Mereka berjanji kepada saya untuk terus menulis sampai tulisan itu bagus. Saya bangga kepada para siswa itu. Kemauan mereka telah menginspirasi saya. Pada akhir perpisahan, saya mengatakan bahwa mereka harus berterima kasih kepada Bang Haji Rhoma Irama. Mereka hanya tersenyum.

Graha Pena, 29 Juni 2010

Rp 5 Ribu untuk Murid ”Terbelakang”

Oleh Eko Prasetyo

Ini terjadi ketika saya masih duduk di kelas 2 di sebuah SMU di Bekasi Timur. Tak terlalu istimewa, tapi membekas hingga sekarang. Jamak terjadi di kelas kami, juga kelas-kelas lain, perhatian guru kerap tertuju pada siswa yang duduk di depan. Konon, siswa yang duduk di bangku paling depan adalah siswa bermental baja. Artinya, mereka mesti siap ditunjuk untuk maju ke depan kelas, menjawab soal yang tertera di papan tulis.

Karena itu, saat kenaikan kelas, dari kelas 1 ke kelas 2, saya dan beberapa teman lain berebut untuk memilih duduk di bangku tengah yang lebih netral. Namun, saya ternyata mendapatkan kursi paling belakang. Sialnya, teman satu bangku saya secara akademis agak ”kurang”. So, kalau hendak nyontek atau menanyakan jawaban soal ulangan, saya pasti kesulitan. Apalagi jika tidak belajar pada malam sebelumnya. Ya, saat itu (mungkin juga masih terjadi saat ini), kami kebanyakan hanya belajar jika ada ulangan keesokan hari. Metode belajar lainnya adalah sistem kebut semalam alias SKS. Alhasil, setelah ulangan, nilai kami rata-rata jeblok.

Menjelang akhir semester pertama, tibalah saat ujian akhir semester. Dua minggu sebelumnya, salah seorang guru kami yang bernama Pak Tri mengimbau kami semua untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan meninggalkan metode belajar SKS. Beliau mengampu pelajaran bahasa Inggris. Kami biasa memanggilnya Mr T. Orangnya cukup asyik dalam mengajar. Berbeda dengan guru kebanyakan yang memberikan perhatikan lebih pada murid tertentu (khususnya yang pintar), Mr T tidak demikian. Mr T dikenal dekat dengan semua siswa, baik yang pandai maupun yang malas.

Mr T juga dikenal tak pilih-pilih dalam memperlakukan para siswa. Beliau pun telaten menjelaskan setiap materi kepada siapa pun muridnya. Sikap yang demikian membuat siswa yang agak ”bebal” seperti saya tidak takut untuk bertanya. Tidak ada dikotomi perhatian kepada siswa yang pandai dan malas.

Pada jam pelajaran lain, misalnya, ada seorang guru yang menghardik murid yang bertanya. Si murid justru dianggap malas membaca karena pertanyaan itu. Kebetulan, si murid penanya berkemampuan akademis sedang. Akibatnya, jarang ada teman yang mau bertanya pada guru itu lagi.

Di kesempatan lain, ada guru yang suka sembarangan/sembrono memanggil murid. Pemanggilan itu berdasar fisik si murid. Misalnya, jika murid tersebut berkulit hitam, sang guru memanggilnya si item (hitam). Kalau si murid bertubuh tambun, dia bakal dipanggil gendut atau gembrot. Mungkin, bagi teman lain, itu menjadi lelucon. Tapi, bagi murid yang bersangkutan, sebutan yang serampangan tersebut mungkin menyakitkan. Namun, tak ada yang berani menyanggah, melaporkan, atau menegur si guru. Tentunya, hal ini berimbas pada semangat belajar. Kami di kelas sangat merasakannya.

Nah, di kelas Mr T, semua itu tidak terjadi. Hak-hak kami untuk belajar tidak dikangkangi. Ditambah pula beliau lihai dalam memotivasi semangat belajar kami. Satu hal yang paling saya ingat adalah ujian bahasa Inggris pada akhir semester itu. Kalimat beliau yang sangat membekas di memori saya adalah ”Jangan pernah takut salah.”

Ketika ujian dimulai, kelas sunyi. Tidak seperti biasanya, murid-murid senyap dan konsentrasi. Kami sangat percaya diri dalam mengerjakan tiap butir soal. Padahal, Mr T tidak ada kelas saat itu. Kami mengerjakan soal ulangan tanpa pengawasan beliau dan tidak ada yang menyontek. Langka! Pasalnya, setiap musim ujian, kami sibuk dengan kegiatan menyontek. Kepercayaan dan sikap tanggung jawab yang ditanamkan Mr T benar-benar kami aplikasikan saat itu, saat ulangan bahasa Inggris.

Setelah dua hari, hasil ujian tersebut dibagikan. Kami semua berdebar-debar menunggu hasilnya, hasil jerih payah sendiri tanpa menyontek. Ketika itu, yang mendapatkan nilai tertinggi, yakni 8,5, bukan murid yang terpandai di kelas kami. Dia justru murid
”terbelakang” alias yang duduk di bangku paling belakang, yang juga doyan nyontek.

Sebagai bentuk penghargaan atas semangat belajar sehingga dapat nilai bagus, Mr T memberikan uang Rp 5 ribu kepada murid ”terbelakang” tersebut. Tidak ada rasa iri saat itu. Semua puas, semua turut senang. Meski, tak sedikit yang dapat nilai di bawah angka lima. Uang itu nominalnya cukup besar saat itu, apalagi bagi kami yang masih mengemis uang jajan ke pada orang tua. Namun, ada hal lain yang lebih penting. Efeknya begitu membekas bagi kami. Yakni, sebuah motivasi. Ya, saat ini begitu banyak guru yang berprestasi, tapi mungkin tak banyak yang mampu memotivasi.

Graha Pena, 23 Juni 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Metode Menulis Natsir

Oleh Eko Prasetyo


”Mulailah dari apa yang ada. Sebab, yang ada itu kebih dari cukup untuk memulai.”
(Muhammad Natsir)


Muhammad Natsir adalah mantan perdana menteri Indonesia pada era 1950-an. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat, itu dikenal sebagai seorang negarawan, politikus, dan ulama yang gigih mempertahankan kesatuan Republik Indonesia pascakemerdekaan (www.wikipedia.org).

Pahlawan nasional yang pernah meraih penghargaan Faisal Award dari Raja Fadh (Arab Saudi) pada 1979 itu juga dikenal rajin menulis di bidang dakwah. Salah satu petuahnya yang paling terkenal adalah yang saya kutip di atas.
Kalimat itu sering saya kutip ketika berbagi dengan peserta pelatihan menulis. Salah satunya, saat saya berdiskusi dengan Forum Mahasiswa Surabaya (Formasa) awal Juni 2010.

Mereka begitu antusias dan ingin bisa mengembangkan media komunikasi mereka. Tujuannya, mengkader dan melahirkan penulis-penulis muda yang andal di kalangan mereka. ”Apa yang harus kami lakukan ketika tidak tersedia sesuatu yang kami butuhkan saat menulis?” Pertanyaan itu terlontar manakala sesi tanya jawab.
Saya kemudian merujuk pada buku karya Ariyanto M.B. Judulnya, Siapa Bilang Menjadi Penulis Itu Susah dan Nggak Bisa Kaya (Briliant, Surabaya: 2008). Dalam buku tersebut, disebutkan banyak metode menulis. Salah satu yang termaktub di sana adalah metode Natsir.

Ariyanto mengajak penulis (pemula) untuk mengambil kertas bekas dan bolpoin. Pada tahap awal, dia meminta si calon penulis membayangkan apa saja yang akan dibutuhkannya dalam menulis nanti. Mata boleh dibiarkan terpejam.
Selanjutnya, si calon penulis diminta untuk menuliskan apa yang telah dia bayangkan tersebut. Nah, kira-kira sangat mungkin hasil invetaris itu dijabarkan seperti ini.
Untuk menulis artikel/buku berjudul xxx, saya butuh ini:
1. 1 rim kertas A4
2. 1 unit computer + printer
3. 1 buah meja + kursi kerja
4. 1 buah meja + kursi kerja
5. 1 cangkir kopi panas
6. 1 bungkus camilan
7. Buku-buku
8. Kertas bekas dan bolpoin
Kemudian, cek apa saja yang sudah tersedia. Mari bersimulasi dengan hasil seperti ini.

Kebutuhan Apakah Tersedia?
1 rim kertas A4 Tidak
1 unit computer + printer Tidak
1 buah meja + kursi kerja Tidak
1 buah meja + kursi kerja Tidak
1 cangkir kopi panas Tidak
1 bungkus camilan Tidak
Buku-buku Tidak
Kertas bekas dan bolpoin Ya

Ternyata, di antara beberapa kebutuhan, yang tersedia cuma kertas bekas dan bolpoin.
Lantas, ada dua pertanyaan bagi si calon penulis.
1. Apakah Anda akan menunggu semua tersedia, kemudian mulai menulis?
2. Anda langsung menulis dulu dengan yang tersedia (kertas dan bolpoin) sambil perlahan-lahan mengupayakan kebutuhan lain?

Keputusan memang berada di tangan Anda (penulis). Namun, tidak ada salahnya jika metode Natsir diterapkan. Yakni, kita memaksimalkan apa yang ada.

Semangat saya begitu tergugah setelah membaca dan mengaplikasikan buku ”Mengikat Makna” karya Hernowo (Mizan). Metode Natsir dan Mengikat Makna ala Hernowo betul-betul saya aplikasikan manakala saya belajar menulis.

Ide-ide di benak ini saya ikat dalam sebuah pena dan kertas yang tersedia dalam tas cangklong saya. Ke mana pun saya pergi, jarang sekali saya membawa laptop. Yang tersedia di tas hanya buku kecil, bolpoin, baju, dan minuman mineral.

Kejadian-kejadian sederhana dan memiliki hikmah saya catat di buku kecil itu. Saat senggang di rumah, pengalaman-pengalaman tersebut saya ketik ulang di komputer. Dulu, ketika belum punya komputer pun, saya tetap menulis dan rajin mengisi blog, biasanya saya lakukan di warnet. Sebagian besar dimuat di sebuah media online. Kini sudah ratusan artikel saya buat, baik artikel pribadi maupun ilmiah. Semuanya berawal dari hanya sebuah pena dan kertas, saat saya belum punya benda ajaib yang saya impikan: komputer.

Graha Pena, 22 Juni 2010

Belajar Naik Sepeda



Oleh Eko Prasetyo

”Musuh terbesar kreativitas adalah keraguan pada diri sendiri.”
(Sylvia Plath)

Sabtu (19/6/2010) saya bertandang ke Taman Pendidikan Nahdlatul Ulama (TP NU), Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan. Hari itu ada pelatihan menulis untuk para guru TP NU. Saya datang atas undangan Rumah Ilmu Indonesia.

Kecamatan Lekok terletak sekitar 11 kilometer dari Kota Pasuruan. Cuaca pagi itu cukup panas, ditambah lokasi pelatihan yang begitu dekat dengan area pantai (sekitar 600 meter). Namun, terik matahari tak mengurangi semangat para guru untuk mengikuti pelatihan sampai selesai pukul 16.00.

Saya pun senang bisa berdiskusi panjang lebar seputar kepenulisan. Rata-rata peserta mengaku belum terbiasa menulis. Saya menjelaskan bahwa menulis adalah tanggung jawab guru. Mampu menulis dengan baik adalah hal yang mutlak dimiliki seorang guru profesional. Jika guru tidak bisa menulis bagus, bagaimana mungkin dia bisa membuat susunan perencanaan kerja, RPP, ataupun silabus dengan baik?

Sebelum sesi pertama usai, saya mengutip sebuah kalimat bijak. Yakni, guru yang mencintai profesinya adalah guru yang mampu menulis bagus.
Kebanyakan peserta mengaku bahwa mereka belum terbiasa menulis. Alasan yang dikemukakan rata-rata sama. Yakni, mereka bingung ketika akan memulai menulis. Mulai bingung menulis tema apa hingga memaparkan ide-ide masing-masing.

Diskusi kian hangat saat memasuki sesi menulis untuk rubrik Gagasan. Rubrik itu ditayangkan setiap Senin sampai Sabtu di surat kabar Jawa Pos. Saya mengajak para peserta untuk mencoba menulis gagasan masing-masing. Kenapa rubrik itu dipilih? Sebab, tulisan rubrik itu tidak terlalu panjang, hanya dua paragraf. Berbeda dengan rubrik Opini yang maksimal mencapai 800 kata. Bagi sebagian besar guru yang baru memulai menulis artikel ilmiah, panjangnya tulisan tersebut dirasa cukup berat.
Karena itu, kami sama-sama belajar menulis untuk rubrik Gagasan. Meski cukup pendek, ternyata membuat tulisan untuk rubrik Gagasan dinilai tak mudah.

Sebelumnya, saya menjelaskan bahwa setiap artikel yang dimuat di rubrik Opini akan mendapatkan honor sekitar Rp 900 ribu. Sedangkan tulisan yang dimuat di rubrik Gagasan memperoleh honor Rp 100 ribu. Saya lantas bertanya kepada peserta pelatihan, mau menulis yang mana. Jawabannya kompak: Opini! Alasannya juga kompak: karena honornya lebih gede! ”Ternyata kita sama, Bapak-Ibu guru. Kita sama-sama mau yang enak dan mudah dengan cepat,” ujar saya. Para peserta tertawa gerr setelah menyadari kalimat tersebut. Maksudnya, saya menyindir bahwa menulis rubrik Gagasan saja kesulitan kok mau langsung membuat tulisan untuk rubrik Opini yang bisa mencapai tiga halaman kertas A4 dengan spasi satu setengah itu.

Setelah semua selesai menulis rubrik Gagasan, kami membahasnya bersama-sama. Itu dilakukan untuk mengetahui apa saja yang kurang dalam tulisan tersebut. Mulai judul, tema atau ide, alasan pemilihan tema, dan solusi yang ditawarkan. Terjadi interaksi antarpeserta. Mereka ikut menilai dan memberikan masukan tulisan rekannya. Setelah dinilai bagus, saya meminta mereka untuk berani mengirimkannya ke media. Seorang peserta menceletuk, ”Diskusi seperti ini pun bisa diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah,” ujarnya. Benar!

Hari itu, kami sama-sama belajar. Yakni, belajar naik sepeda. Belajar menulis sama dengan belajar naik sepeda. Maksudnya, kita tak akan pernah bisa naik sepeda jika belum pernah mencoba menaikinya. Dalam proses belajar tersebut, jatuh merupakan hal yang biasa. Sakit memang rasanya ketika jatuh berkali-kali dalam proses belajar naik sepeda. Tapi, sakit itu akan terbayar lunas saat kita bisa menaikinya tanpa terjatuh lagi.

Pasuruan, 19 Juni 2010

Penggaris Bu Guru



Oleh Eko Prasetyo

Monday = bad day. Mungkin itulah yang selalu terlintas di benak saya dan teman-teman satu kelas. Betapa tidak, selain terasa panjaaaaang sekali, Senin kala itu menjadi hari yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran.

Ketika itu, saya masih duduk kelas tiga SD. Sebelum bel pelajaran berbunyi, saya dan teman-teman berbaris rapi di depan pintu kelas. Cekikikan dan canda tawa bersama teman sirna saat berbaris itu, apalagi jika Senin. Saya ingat betul, yang bikin kami agak takut-takut tersebut adalah penggaris di genggaman ibu guru wali kelas.

Setiap Senin, Bu Guru memang selalu mengontrol kebersihan kuku kami sebelum masuk kelas. Inspeksi itu dilakukan sebelum masuk kelas, ketika berbaris dua saf tersebut.

Pandangan orang tua siswa yang sedari tadi memperhatikan kami seolah diabaikan oleh Bu Guru. Tidak boleh ada intervensi pada saat itu. ”Di kelas, sayalah yang bertanggung jawab atas anak-anak.” Mungkin ini kira-kira yang terpatri di hati Bu Guru.

Saya kebagian berbaris di tengah. Meski begitu, saya agak takut dengan inspeksi itu. Ibu Guru menggenggam penggaris yang siap ”didaratkan” ke tangan murid yang kukunya panjang-panjang dan hitam kotor. Bukan penggaris plastik yang panjangnya cuma 30 cm, tapi penggaris kayu sepanjang satu meter!

Saking takut, mungkin karena kukunya panjang, seorang teman perempuan kami menangis hingga pipis. Muka tegas yang sebelumnya sengaja dipasang mendadak menjadi cair.

Meski demikian, penggaris tersebut tidak hanya dipakai untuk mengecek kebersihan kuku kami. Alat pengukur itu juga dipakai untuk mendiamkan kami ketika ribut dan bercanda di kelas. Caranya, Bu Guru memukulkan penggaris kayu tersebut ke papan tulis. Plak, plak! Cukup dua kali, suara nyaring dari penggaris itu mampu mendiamkan mulut kanak-kanak kami.

Meski terkesan galak dan ditakuti, apalagi jika ditemani penggarisnya, tak ada di antara kami yang mengadukan hal itu kepada orang tua kami. Meski, mungkin kami pernah dipukul (tapi tidak sakit) dengan penggaris tersebut. Entahlah, Bu Guru terlalu berwibawa untuk dilaporkan kepada orang tua.

Sebuah kertas karton putih tertempel di dinding kelas dekat pintu. Ada tulisan di situ yang memakai warna dasar kuning. Kalimatnya berbunyi kebersihan sebagian dari iman. Kami selalu diminta membaca kalimat itu keras-keras ketika kuku kami tidak bersih.

Kendati sudah berupaya untuk membersihkan kuku, ketika bermain dengan teman, niat itu tak terwujud. Ia hilang bersamaan dengan asyiknya bermain. Seiring datangnya Minggu, liburan kian asyik membuai pikiran untuk melupakan hal membersihkan kuku. Maka, tak jarang tiap Senin kami selalu dibuat menyesal oleh keteledoran sendiri. Ya, kami terkadang masih saja lupa membersihkan kuku.

Alhasil, bayangan dipukul penggaris kayu melintas di benak kami.

Sekian puluh tahun kemudian, saya mengantarkan keponakan ke sebuah TK. Saya kembali disuguhkan pemandangan ritual mengecek kebersihan kuku. Saya ingat bahwa keponakan saya tersebut ketakutan karena kukunya kotor. Dia memandang saya, seolah memberikan isyarat untuk meminta tolong. Saya membiarkannya. Toh, dia tidak menghadapi penggaris kayu 1 meter seperti yang saya alami dulu. Si guru hanya inspeksi dengan pensil yang siap ”didaratkan” ke jari-jari muridnya yang kotor.

Saya teringat kata-kata Bu Guru wali kelas saya ketika SD dulu. Beliau pernah berujar bahwa siswa yang kukunya panjang dan kotor adalah anak yang malas ”Malas itu sikap yang tidak bertanggung jawab,” tegasnya.

Suatu saat, saya melihat berita di TV tentang sidang di gedung Senayan. Beberapa anggota dewan yang terhormat terlihat mengantuk, bahkan ada yang tidur. Wah, bisa jadi kuku mereka panjang-panjang, begitu pikiran iseng saya yang terlintas. Jika begitu, mereka butuh penggaris kayu?

Graha Pena, 8 Juni 2010
www.samuderaislam.blogspot.com