Menyoal Buku ”Copy Paste”



Catatan Eko Prasetyo,
jurnalis dan editor, tinggal di prasetyo_pirates@yahoo.co.id


Judul buku: Guru-Guru Dahsyat
Penulis: Nisrina Lubis
Tebal: 211 halaman
Terbit: April 2010
Penerbit: Flash Book, Bandung

Agustus 2009, saya mendapatkan pesan singkat dari editor sebuah penerbit di Surabaya. Dia mengabarkan bahwa naskah buku saya yang berjudul ”Menyingkap Cahaya Iman” tidak bisa diterbitkan.

Sebelumnya, sekitar April 2009, saya diberi tahu oleh seorang staf penerbit itu bahwa naskah tersebut siap untuk dicetak. Memang, cukup lama saya duduk di kursi penantian. Tentunya, kabar diterbitkannya naskah tersebut membuat saya lega sekaligus senang.

Namun, pesan singkat dari editor penerbit itu membuyarkan harapan saya, sebuah asa akan penantian sekian bulan. Saya lantas membalas melalui pesan singkat pula. Lebih tepatnya, saya bertanya tentang alasan pembatalan penerbitan tersebut.

Editor itu menjawab bahwa pembatalan itu berdasar evaluasi dan masukan dari divisi penelitian dan pengembangan (litbang) penerbit itu. Naskah saya semula memang dinilai layak untuk diterbitkan. Hal tersebut telah melalui rapat manajemen mereka. Namun, estela diteliti ulang oleh litbang mereka, naskah saya tadi diputuskan tak bisa diterbitkan.

Alasannya, dalam naskah tersebut terlalu banyak sumber yang saya ambil dari internet. Saya kemudian mengucapkan terima kasih atas jawaban tersebut. Saya puas. Lho kok?

Ya, saya tidak kecewa, meski naskah buku saya itu tak jadi terbit. Sebagai penulis, saya bisa memahami kondisi tersebut. Mengapa? Komposisi sumber naskah itu bisa dibilang 80 persen dari internet dan 20 persen dari saya sendiri. Saya tak menampik bahwa naskah tersebut bisa disebut terlalu ”copy paste”.

Karena itu, saya legawa ketika naskah tersebut tak jadi diterbitkan. Saya tak mau dianggap sebagai ”perampok”, meski saya mencantumkan sumber dengan jelas dan menuangkan ide sendiri.

Pada Februari 2009, Jawa Pos mengadakan program tahunan Untukmu Guruku. Salah satunya, lomba menulis artikel khusus bagi guru se-Jawa Timur (Jatim). Saya terlibat di dalamnya beserta redaktur halaman Opini Metropolis kala itu.

Kami menyeleksi ratusan artikel yang datang dari berbagai daerah di Jatim. Setiap hari ada tiga artikel guru yang dimuat. Tentu mereka akan mendapatkan honor penulisan. Yang istimewa, mereka mendapatkan apresiasi dari Jawa Pos berupa sertifikat yang ditandatangani Dahlan Iskan.

Suatu sore, redaktur tersebut menyerahkan naskah yang siap dimuat esoknya. Saya diminta membacanya. Namun, saya sangat kaget saat membaca salah satu artikel yang ditulis seorang guru sebuah SMK di Sidoarjo.

Artikel itu sama persis dengan tulisan saya yang dimuat di sebuah surat kabar di Jawa Tengah pada Oktober 2008. Saya lantas memberi tahu redaktur yang bersangkutan tentang masalah itu. Akhirnya, diputuskan bahwa artikel tersebut tidak jadi dimuat.

Saya tidak menggugat guru yang menjiplak tadi. Namun, saya menyayangkan tindakan guru itu. Apalagi, dia seorang lulusan pascasarjana, yang gelarnya dicantumkan di belakang namanya. Andai tulisannya termuat, tentu saya akan menggugat guru tersebut. Alasannya jelas, saya merasa dirugikan jika artikel guru tadi termuat.

Entah saya atau guru itu yang beruntung. Maksudnya, saya beruntung karena artikel saya tak jadi ”dirampok” dan guru tadi beruntung tak jadi digugat. Hahaha. Saya tertawa miris jika mengingat kejadian itu.

Karena itu, saya lantas bersyukur saat naskah ”Menyingkap Cahaya Iman” tak jadi terbit. Sebab, jikalau buku tersebut naik cetak, bisa jadi saya menuai masalah atau protes. Pasalnya, buku tersebut tergolong ”copy paste”, meski tidak seluruh naskah diambil dari internet dan saya mencatumkan sumber dengan jelas.

Buku Nisrina Lubis yang berjudul Guru-Guru Dahsyat ini mungkin sama dengan naskah saya tadi. Yakni, bersumber dari internet. Bedanya, naskah Nisrina diterbitkan, sedangkan naskah saya tidak.

Guru-Guru Dahsyat memaparkan kisah puluhan guru yang teguh setia pada peran yang sengaja mereka pilih. Dikutip dari distributorbukukita.com, terlampau banyak tenaga, harta, air mata, bahkan darah yang mereka korbankan. Begitu menyentuh, menggugah, mengharu biru lubuk hati kita sebagai manusia yang senantiasa mendambakan hari depan yang lebih baik. Sungguh merupakan buku pendidikan yang akan menginspirasi. Sumber tersebut saya ambil di: http://distributorbukukita.com/mainpage/index.php?page=shop.product_details&flypage=shop.flypage&product_id=905&category_id=36&manufacturer_id=0&option=com_virtuemart&Itemid=37

Saya memang angkat jempol dengan kisah-kisah inspiratif dalam buku tersebut. Saya kian bangga karena kebetulan kisah itu datang dari guru-guru yang saya kenal lewat maling list (milis) Klub Guru Indonesia (KGI). Misalnya, Manik Mughni Indraspati, Lisda Fauziah Harahap, Soes Paulina, Nina Feyruzi, Dhitta Puti Sarasvati, dan lain-lain.

Meski disebutkan sebagai karya Nisrina Lubis, sejatinya penulis buku itu adalah guru-guru inspiratif seperti saya yang sebutkan di atas. Apalagi, sumber dari buku tersebut adalah rubrik Sharing Yuk! di situs Klub Guru (kini Ikatan Guru Indonesia/IGI, Red).

Saya hanya kebetulan tahu karena sering nimbrung di milis KGI dan membuka situs www.klubguru.com. Persoalannya, sumber rubrik itu dan KGI (IGI) sebagai pemegang otoritas rubrik tersebut tidak disebutkan. Karena itu, buku tersebut bisa digolongkan sebagai buku ”copy paste” yang bisa disebut ”melanggar” kode etik dalam penulisan buku.

Sebagai sesama penulis, tentu saya menyayangkan tidak adanya sumber itu. Di buku tersebut, hanya disebutkan bahwa sumber pustakanya adalah www.blogklubguru.com. Setelah saya cek, tidak ada blog itu. Yang benar adalah www.klubguru.com. Apa pun motif si penulis, tentu saya bisa mempertanyakan keberadaan buku Guru-Guru Dahsyat. Dalam hal ini, saya menyoal tak tercantumnya sumber valid buku itu.

Hal lain yang tak kalah penting, penulis ”asli” mesti dimintai izin terlebih dahulu. Bila ini tidak dilakukan, tentunya adalah pelanggaran serius yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang penulis profesional.

Jangan sampai kita dituding merugikan pihak lain hanya karena ”alpa” tidak menyebutkan sumber pustaka yang benar dan tidak permisi dulu kepada narasumber tulisan. Kasus ”copy paste” kerap terjadi di dunia kepenulisan dan perbukuan kita. Tentunya, ”copy paste” bisa dibenarkan selama berada dalam koridor. Yakni, mencantumkan sumber yang jelas, tidak awu-awu alias nggak jelas.

Apabila ”copy paste” dilakukan tanpa memenuhi rambu-rambu itu, ini dapat digolongkan sebagai tindakan ”perampokan”. Tentunya, niat baik dengan tujuan menginspirasi pembaca jangan sampai tergelincir oleh kekhilafan, apalagi berusaha mengeruk keuntungan dengan cara yang salah.

Graha Pena, 18 Mei 2010

Cukup Allah sebagai Penolong

Catatan Eko Prasetyo

Selalu ada hikmah dalam tiap kisah. Begitu pula saat saya berkunjung ke luar kota, selalu ada pengalaman yang tak bisa dilupakan. Suatu ketika, saya berangkat ke Rembang sekitar pukul 00.00 untuk memenuhi undangan seorang sahabat di sana. Saya berangkat dengan menumpang bus jurusan Surabaya–Semarang. Tak lupa, ketika baru duduk di kursi, saya berdoa terlebih dulu. Saya memohon agar Allah melindungi perjalanan kami.

Awalnya, perjalanan kami lancar-lancar saja. Namun, ketika sampai di perbatasan Babat–Lamongan, bus yang saya tumpangi berpapasan dengan truk yang mengalami kecelakaan. Truk yang mengangkut makanan ringan tersebut terguling di tengah jalan. Namun, keadaan belum seberapa macet dini hari itu karena masih sepi kendaraan.

Memasuki hutan di kawasan Kabupaten Tuban, baru saya sport jantung. Betapa tidak, dua kali bus yang kami tumpangi nyaris terlibat kecelakaan. Pertama, bus tersebut hampir menabrak sebuah sedan dari arah berlawanan menyalip sebuah truk dengan kecepatan tinggi. Jaraknya dari bus kami sangat dekat. Terlambat sepersekian detik, mungkin akan terjadi kecelakaan. Alhamdulillah, saya bisa bernapas lega karena terhindar dari kecelakaan.

Kejadian serupa terjadi ketika memasuki Kabupaten Rembang. Bus tersebut nyaris menabrak mobil dari arah berlawanan. Permulaannya sama, dua kendaraan itu menyalip kendaraan lain dengan kecepatan tinggi. Saya sudah pasrah. Bibir ini tak berhenti berzikir. Alhamdulillah, saya selamat sampai di tempat tujuan. Begitu pula sekembali ke Surabaya.

Beberapa hari kemudian, saya mengedit berita kecelakaan di Tuban. Saya terkejut karena bus yang saya tumpangi ke Rembang sebelumnya bertabrakan dengan sebuah truk boks di daerah Tuban, Jawa Timur. Kecelakaan itu menewaskan sopir truk boks. Bagian kiri truk boks itu ringsek setelah ”dikepras” bus. Saya lebih kaget karena sopirnya ternyata tetangga saya. Innalillahi wainnailaihirajiuun.

Kejadian itu mengantarkan saya pada pengalaman seorang rekan kerja. Beliau redaktur senior di tempat kami bekerja. Beliau terkena penyakit hipertiroid. Namun, ternyata ada kanker di penyakit tersebut. Setelah berkonsultasi dengan dokter dan keluarga, beliau memutuskan untuk menjalani kemoterapi. Itu dilakukan hingga enam kali.

Setelah kemoterapi keempat, beliau mengalami kolaps. Sang istri menceritakan bahwa suaminya sempat pingsan. Ketika sadar, dia mengigau. Karena khawatir, rekan kami tersebut langsung dilarikan ke rumah sakit oleh keluarganya.

Setelah dirawat beberapa hari, kondisinya berangsur membaik dan diperbolehkan pulang. Saya pun berniat menjenguk beliau di rumahnya. Sesudah salat Jumat, saya bergegas ke minimarket bersama istri. Kami membeli buah apel dan roti untuk redaktur senior tersebut.

Alhamdulillah, saya bisa bertemu beliau setelah beberapa minggu tak bersua di kantor. Tubuhnya jauh lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Keriput mulai banyak menyapa di wajahnya, membuat beliau tampak lebih tua. Sisa-sisa kemoterapi pun terlihat dari kepala beliau yang botak. Ya, rambutnya rontok setelah menjalani beberapa kemoterapi.

Kami saling bertegur sapa. Beliau ketika itu mengenakan kaus pendek dan sarung. Senyum tersungging di bibirnya. Masih sama dengan dulu, murah senyum. Melihat kondisi fisiknya yang sangat jauh berbeda dengan dulu, hati saya iba. Tampak jelas bahwa beliau baru saja melalui perjuangan berat dan perjuangannya belum usai.

Beliau menuturkan bahwa gula darahnya sangat tinggi sehingga menyulitkan dirinya ketika menjalani kemoterapi. Sebelum saya berpamit pulang, beliau mengatakan bahwa dirinya bisa bertahan hidup semata karena Allah. ”Saya tidak ngopi dan merokok. Saya pun tidak makan yang neko-neko. Tapi, Allah memberi saya sakit. Alhamdulillah, kita terima saja,” ujarnya.

Hikmahnya, beliau mengatakan kini lebih dekat dengan Allah SWT. Dalam tiap kesempatan, dia menyempatkan berzikir dan membaca Alquran. Sakit tak menyurutkan semangatnya dalam beribadah. Mumpung hayat masih di kandung badan.

Benar! Urip ing dunya mung mampir ngombe (hidup di dunia ibarat mampir minum). Karena itu, saat masih diberi kesempatan menghirup napas di dunia, hendaknya kita perbanyak dengan ibadah dan meningkatkan takwa kepada Allah SWT. Sebab, jika ajal sudah menjemput, terputuslah segala amal ibadah di dunia.

Rekan saya tadi tak lupa mengucapkan kalimat ”Hasbunallah wani’mal wakil (cukup Allah sebagai penolong kami).” Saya terharu tiap kali mendengar kalimat dalam surat Ali Imron ayat 173 tersebut.

Melihat pengalaman di atas bus tadi dan perjuangan rekan saya dalam melawan penyakitnya, saya tak henti-henti mengucapkan syukur kepada Allah. Sebab, saya masih diberi kesempatan untuk beramal baik. Mudah-mudahan bisa istiqomah. Amiin.

Graha Pena, 14 Mei 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id

Manakala Sakit



Oleh Eko Prasetyo

Nikmatnya sehat memang tidak bisa diungkapkan dengan apa pun. Namun, kebanyakan di antara kita kurang bersyukur atas nikmat sehat tersebut. Tak heran jika banyak yang mengaku menyesal karena kurang mensyukuri sehat manakala sudah jatuh sakit.

Awal Mei lalu, saya jatuh sakit. Gejalanya pusing, mual, dan pilek. Semula saya mengira bahwa saya sakit flu biasa yang mungkin bisa sembuh satu atau dua hari. Ternyata tidak. Selama empat hari ”flu” itu tidak mereda, malah kian menjadi-jadi. Itu pun masih ditambah dengan batuk-batuk. Kerja pada malam hari membuat saya kian kepayahan karena harus melawan udara dingin lewat AC.

Akhirnya, ketika libur, saya segera menyempatkan diri untuk periksa ke dokter. Hasilnya, saya divonis kena radang tenggorokan. Saya agak lega karena malam sebelumnya saya benar-benar tidak bisa bekerja. Bahkan, untuk sekadar mengedit berita pun, saya tak sanggup. Badan lemas sekali. ”Wah, alamat gejala tifus nih,” pikir saya saat itu.

Alhamdulillah, dokter menampik kekhawatiran saya akan gejala tifus. Namun, saya diharuskan istirahat minimal dua hari. Selama terbaring sakit itulah, saya berkontemplasi, merenung. Betapa nikmatnya sehat.

Ketika istri menyiapkan obat untuk saya, iseng saya menonton berita di TV. Diberitakan bahwa sedikitnya 14 orang tewas setelah meminum minuman keras (miras) oplosan di Kabupaten Cirebon. Astaghfirullah.

Kisah tersebut bermula dari hiburan organ tunggal di sebuah desa. Hiburan itu mengundang perhatian warga. Saat malam makin larut, pesta ternyata belum usai. Sebagian warga berpesta miras. Bahkan, tidak hanya pemuda yang ikut pesta miras. Ada juga perangkat desa dan anak-anak usia pelajar.

Diduga, miras tersebut dioplos dengan beberapa bahan berbahaya seperti obat sakit kepala, minuman bersoda, dan lotion antinyamuk. Karena itu, dampaknya bisa ditebak: nyawa dapat melayang. Benar! Puluhan warga yang pesta miras limbung. Mereka segera dilarikan ke RSUD Arjawinangun, Cirebon. Semula hanya sepuluh orang yang mengembuskan napas terakhir. Jumlah korban akhirnya bertambah menjadi empat orang. Tak tertutup kemungkinan jumlah korban tewas akibat miras oplosan bertambah karena masih banyak yang dirawat di RSUD Arjawinangun. Setelah itu, saya mematikan TV.

Sebelumnya, saya membaca berita serupa di koran. Sembilan pemuda di Jogjakarta tewas setelah menggelar pesta miras oplosan. Sebelum ajal menjemput, mereka sempat muntah-muntah serta mengeluhkan sakit di dada dan perut.

April lalu, di Salatiga, Jawa Tengah, 21 orang tewas setelah keracunan miras oplosan (Antaranews, 22/4/10). Korban tewas setelah menenggak miras oplosan jenis ciu yang dicampur metanol (sejenis alkohol yang sering dipakai di bidang industri, Red). Yang mengejutkan, pasien miras yang dirawat di RSUD Salatiga, RS Paru-Paru Aria Wirawan, dan RS Tentara dr.Asmir mencapai 225 orang! Masya Allah.

Mereka tewas setelah mengalami gejala sama. Yakni, pusing, mual, penglihatan kabur, gangguan jantung, dan peradangan lambung akut (gastritis). Dokter menyebutkan, di tubuh para korban tewas ditemukan kandungan metanol yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan nyawa mereka tak tertolong.

Saya kembali dibikin geleng-geleng kepala ketika membaca berita tentang pelajar yang pesta miras. Mereka melakukannya untuk merayakan kelulusan setelah mengikuti ujian nasional (unas).

Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka, berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu),” (Al-Maadiah: 90-91).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, dia berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, ’Barangsiapa minum khamr, Allah tidak akan menerima shalatnya selama 40 hari. Namun, jika ia bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Apabila mengulanginya kembali, Allah tidak akan menerima shalatnya selama 40 hari. Jika ia kembali bertobat, Allah akan menerima tobatnya. Apabila mengulanginya kembali, Allah tidak akan menerima shalatnya selama 40 hari. Jika ia kembali bertobat, Allah akan menerima taubatnya. Apabila ia ulangi empat kali, Allah tidak akan menerima shalatnya selama 40 hari. Jika ia bertobat, Allah tidak akan menerima lagi tobatnya dan akan memberinya minuman dari Sungai al-Khahal'.” Ditanyakan, ”Wahai Abu Abdurrahman apa yang dimaksud dengan Sungai al-Khahal?" Dia menjawab, ”Sungai yang berasal dari nanah penghuni neraka,” (HR at-Tirmidzi).

Saya merenungi apa yang ada dalam benak orang-orang yang pesta miras itu. Mereka hanya melampiaskan kesenangan sesaat. Mereka tak sadar bahwa mereka telah menyakiti diri mereka sendiri. Sungguh, saya benar-benar tak habis pikir. Banyak orang sakit yang menginginkan segera sehat, tapi di luar sana sebagian orang menyakiti diri sendiri dengan pesta miras.

Dalam kondisi yang kurang sehat, saya benar-benar menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk bersyukur atas nikmat sehat. Ketika sehat, kita memang kerap alpa untuk bersyukur. Bentuk rasa syukur itu mungkin bisa diwujudkan dengan memelihara kebersihan agar tubuh selalu sehat dan lain-lain.

Ketika sakit menyapa, barulah kita sadar bahwa betapa besarnya karunia Allah akan kesehatan. Alhamdulillah, ada hikmah di balik sakit ini.

Rabbizidni ilman warzuqni fahman...

Graha Pena, 12 Mei 2010
prasetyo_pirates@yahoo.co.id