Guru Pak Jenderal



Oleh: Eko Prasetyo

Pada 1973, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima penghargaan Adhimakayasa dan Trisakti Wiratama, puncak tertinggi prestasi lulusan terbaik Akademi TNI (waktu itu Akabri). Rekor SBY yang mengumpulkan tujuh bintang jasa selama pendidikan (1970-1973) tersebut belum tertandingi oleh taruna Akabri mana pun.

Yang menarik, rekor itu dipecahkan setelah 35 tahun, tepatnya pada 2008. Lebih menarik, si penyama rekor tersebut adalah anak seorang guru SD. Dia adalah Taufik Arifiyanto. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para lulusan terbaik Akabri adalah calon penyandang pangkat jenderal. Contohnya, selain SBY, ada Jenderal Agustadi (KSAD), Jenderal Sutanto (mantan Kapolri), dan lain-lain.

Seperti dilaporkan Jawa Pos (18/12/08), Haryanto, 45, ayah Taufik, tak bisa menyembunyikan perasaan bangganya saat menghadiri wisuda perwira remaja di Lapangan Sapta Marga, Akmil Magelang. Hal yang wajar karena penghasilan sebagai guru SD tentu tak mencukupi untuk memenuhi biaya pendidikan tiga anaknya, termasuk si sulung Taufik.

Ya, Haryanto mengaku harus gali lubang tutup lubang demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Dengan dibantu istrinya yang berdagang kain di pasar, Haryanto menuturkan terpaksa berutang untuk menambal kebutuhan keluarga. Melihat Taufik disemati bintang penghargaan militer oleh presiden, Haryanto mengatakan perjuangannya demi anaknya tidak sia-sia.

Ada sebuah kisah tentang seorang guru SD. Beliau dikenal sabar dan mudah dalam memberikan materi di kelas sehingga gampang dipahami siswa. Tak heran jika dia menjadi salah seorang guru favorit di kelas, bahkan sekolah. Di antara sekian muridnya, sekian puluh tahun kemudian, ada yang berhasil merintis karir di dunia militer. Sang murid telah memangku jabatan mentereng, jenderal pula!

Si murid itu suatu ketika mengundang guru tersebut untuk datang pada sebuah perjamuan dalam reuni sekolah. Mengenang masa-masa sekolah tempo dulu memang indah. Apalagi, keberhasilan seorang murid di kelak kemudian hari dalam merintis masa depannya tak lepas dari peran guru.

Sang guru datang tak lagi gagah seperti saat masih aktif mengajar puluhan tahun lampau. Dia menyapa para murid-muridnya itu, termasuk si jenderal, hanya dengan senyum kecil. Suaranya sudah parau, senja pun jelas menapak di wajah sang guru. Meski demikian, guru tersebut masih ingat betul wajah-wajah yang menyambutnya, murid-muridnya.

Tiba saat si jenderal menyambut guru tersebut, dia mengatakan, "Saya dulu murid Bapak yang pernah Bapak jewer hingga telinga saya merah."

Entah apa maksud si jenderal dengan kalimat tersebut. Namun, sejurus kemudian, sang guru buka suara.

"Kamu (si jenderal) dulu nakal sekali, sangat nakal. Kamu juga malas sekali, sangat malas. Bahkan, guru-guru lain pun mengeluhkanmu. Tiada yang mau memperingatkanmu lantaran tahu peringatan mereka tak bakal kau gubris," tutur sang guru.

Suasana yang semula semarak ikut hening mendengarkan ucapan si guru.

"Akhirnya, saya berpikir bahwa saya harus bersikap tegas, apa pun risikonya. Demi membuatmu bisa menghargai orang lain serta meninggalkan sifat nakal dan malasmu, Bapak terpaksa menjewermu, mengancammu untuk membuka buku keesokan harinya dan memintamu mengerjakan PR-PR-mu," lanjutnya.

"Berhari-hari, berminggu-minggu, sekian lamanya kelembutanku dan guru lain tak kau gubris, maka jeweran itu kuharap sekali bisa menyadarkanmu, betapa aku sangat menyayangi murid-muridku, termasuk kamu," ucapnya.

"Jikalau jeweran itu tidak pernah ada, kau mungkin tidak berdiri di hadapanku sekarang ini dengan seragam berpangkat bintang kebanggaanmu, kau mungkin masih malas. Dan mungkin serta segala kemungkinan lainnya bisa terjadi. Kini kau sudah jadi jenderal, sedangkan aku tetap guru yang kini berkarat. Aku tak memintamu mengingatku. Aku sudah cukup bahagia dengan menjadi guru Pak Jenderal," ujarnya.

Kisah itu saya tulis dalam sebuah cerita pendek sekian waktu silam. Terlepas itu berdasar kisah nyata atau bukan, tulisan tersebut ikut meminta saya merenung, yakni apakah selama ini saya sudah menghargai jasa guru-guru saya.

Kadang, tanpa kita sadari, kita kerap marah dan sakit hati apabila mengingat kita pernah dihukum oleh guru. Tak jarang pula muncul sumpah serapah untuk mereka, para guru, saat hukuman menyapa.

Kini di sela-sela kesibukan di dunia media, saya menyambut baik adanya Klub Guru. Bersama Klub Guru, saya bertekad memberikan sesuatu untuk para guru demi mengembangkan kemajuan pendidikan di Indonesia, tentunya dalam kapasitas saya sebagai jurnalis.

Berubah ke arah yang lebih baik dan perubahan tidak harus menjadi jenderal. Tapi, keteladanan guru Pak Jenderal tadi menginspirasi saya untuk memberi wujud nyata memajukan pendidikan kita yang terkadang masih tampak muram ini.

Castralokananta, 16 Februari 2009

Ada, tapi seperti Tak Ada

Oleh: Eko Prasetyo

Jangan adamu seperti tidak adamu. Kalimat bijak tersebut kerap terngiang di telinga saya manakala saya sedang diliputi rasa capai dan lelah ketika bekerja. Mengapa? Sebab, kalimat itu selalu saya ingat agar saya tidak melulu mengeluh karena padatnya aktivitas.

Kiranya, tidak berlebihan bila saya menyebutnya demikian. Pasalnya, ritme kerja jurnalis atau editor amat berbeda dengan orang kantoran pada umumnya. Kami ibarat kelelawar karena bekerja atau mencari makan pada malam hari. Ketika banyak orang sudah terlelap tidur dan terbuai mimpi, kami harus merampungkan menu berita untuk disajikan kepada masyarakat.

Belum lagi perjuangan para reporter di lapangan. Mereka tak jarang pagi-pagi sekali harus berada di lapangan untuk meliput berita, sorenya kembali ke markas berita untuk setor berita. Kadang, mereka harus berhadapan dengan sulitnya menghubungi narasumber atau menuruti perintah para redaktur. Bahkan, ada rekan wartawan yang mengeluh karena beritanya tidak dimuat, padahal dia merasa setengah mati berjuang untuk menemui narasumber dan menulis beritanya.

Lelah seusai bekerja itu pasti. Namun, bekerja dengan mengandalkan pikiran amat melelahkan ketimbang bekerja dengan hanya mengedepankan kekuatan atau tenaga. Seringkali setelah pikiran begitu terkuras, stres siap menyapa.

Karena itu, saya selalu berusaha untuk mencintai betul-betul profesi yang saya tekuni saat ini. Saya ingin mencapai tahap bekerja seperti rekreasi. Saya berupaya mencintai sepenuh hati, tanpa terbatas apa pun dan syarat apa pun. Cinta tanpa syarat untuk sebuah profesi.

Detik pada saat saya menulis catatan pendek ini, saya sedang sakit. Tubuh saya demam, mual, dan sempat muntah darah. Mudah-mudahan saya tak terkena demam berdarah atau gejala tifus.

Bulan-bulan ini saya rasakan sangat berat. Saya kurang istirahat, apalagi saat ini saya terjun di program Untukmu Guruku 2009 Jawa Pos. Namun, saya baru sadar bahwa saya lalai karena tak mengindahkan kesehatan diri sendiri.

Sering, saya ditelepon pagi-pagi sekali oleh para guru yang ingin bertanya meski sebenarnya saya masih istirahat. Namun, saya tetap setia dan ramah melayani mereka. Bisa dibayangkan, kadang, pagi saya sudah harus berada di kantor untuk membantu program tersebut. Malamnya, saya harus bekerja di redaksi. Pernah, suatu ketika saya menerima SMS dari beberapa guru yang marah karena saya tidak mengangkat telepon dan membalas pesan singkatnya. Saya tak menjelaskan bahwa saat itu saya tengah ketiduran sehingga tidak tahu ada telepon masuk. Saya benar-benar kelelahan berat kala itu. Saya meminta maaf kepada beliau dan segera menjawab pertanyaannya tanpa mencari alasan pembenar.

Semoga laptop ini masih kukuh menjadi media penyambung lidah saya kepada beberapa guru yang tak sempat saya balas teleponnya. Saya sekarang jatuh sakit dan detik-detik
berlalu begitu cepat.

Wajah dan jari-jari ini ikut pucat. Saya benar-benar melalaikan mereka, anggota tubuh saya. Maka, kini saya hanya pasrah apabila sakit menyapa.

Namun, satu-satunya yang tetap saya pegang teguh adalah kalimat "Jangan adamu seperti tidak adamu". Saya yakin, saya jatuh sakit bukan karena saya kebanyakan duduk berleha-leha tanpa bekerja. Saya tak mau menjadi orang yang hanya duduk di meja kerja sambil bermain komputer dan tak ada produktivitas. Sungguh tak nyaman rasanya jika waktu terbuang sia-sia karena tidak bekerja. Sama sia-sianya membuat Surabaya menjadi merah jambu demi menyambut ritual Valentine. Celaka!

Castralokananta, 14 Feb 2009