Yang Terdalam (Untuk Aliya Tersayang)

Oleh: Eko Prasetyo

Aliya adalah gadis cilik berusia tujuh tahun. Kulitnya legam, kurus, dan dekil. Sehari-hari, mengamen di Terminal Jombang. Suatu ketika, dia berkelahi dengan sesama teman pengamennya. Dia dipukul setelah berebut uang dari seorang penumpang.

Wajahnya yang lebam membuat iba seorang kawan saya yang kebetulan ada di situ. Aliya diketahui hidup dengan neneknya. Ternyata, dia yatim piatu. Kawan saya berinisiatif untuk memondokkan dia di sebuah pesantren dekat rumahnya di Jombang.

Saya saat itu dikabarkan tentang keberadaan Aliya yang menyedihkan. Kemudian, saya menawarkan kepada sahabat saya itu untuk menjadi kakak asuh Aliya. Saya bersedia menanggung kebutuhan sehari-hari dan pendidikan Aliya di situ. Namun, saya meminta kepada kawan saya tersebut untuk merahasiakan identitas saya sampai saya bisa bertemu langsung dengan Aliya.

Selanjutnya, Aliya menjalani rutinitas barunya sebagai santriwati. Dia senang memiliki kakak asuh meski belum pernah melihat sosok kakaknya tersebut. Kepada kawan saya dan istri kawan saya itu, Aliya mengatakan ingin bertemu dengan kakak asuhnya yang tidak lain adalah saya.

Kesibukan dan aktivitas saya yang padat di kantor membuat niat saya mengunjungi Aliya selalu gagal. Akhirnya, kawan saya menyampaikan ide untuk bertemu di Sidoarjo saja, di tempat salah seorang familinya. Saya pun sepakat. Akhirnya kami bisa bertemu di Sidoarjo ketika saya libur kerja.

Aliya sebelumnya sengaja tidak diberi tahu bahwa dia akan dipertemukan dengan saya. Dia hanya tahu akan diajak jalan-jalan ke Sidoarjo oleh kawan saya dan istrinya. Saya sempat mengirimkan SMS ke calon istri saya bahwa saya akan bertemu dengan adik asuh saya tersebut.

Alhamdulillah, saya akhirnya bisa bertemu dengan Aliya. Dia tampak ceria. Beberapa kali, dia memamerkan baju dan jilbab pemberian kakak asuhnya. Dia memang banyak diceritakan tentang kakak asuhnya oleh kawan saya dan istrinya. Saya sangat terharu melihat wajah bocah polos tersebut.

"Apa masku mau ya ketemu aku?" ujar Aliya.
"Lho Mas-mu mesti seneng ketemu kamu. Tapi, apa kamu mau punya mas tukang koran? kata saya.
"Biarin aja," sergahnya.
"Kan orangnya baik," lanjut Aliya.
"Dari mana kamu tahu kalau orangnya baik?" tanya saya.
"Pak ustad (kawan saya) yang cerita," tuturnya bersemangat.
"Orangnya ganteng nggak ya?" ucapnya penasaran.

Kawan saya dan istrinya hanya tersenyum mendengar itu. Saya bersyukur bisa melihat Aliya. Kepolosan dan keceriaannya membuat semangat kerja serasa bertambah.
"Kapan dong bisa ketemu Masku?" rengek Aliya kepada istri kawan saya.
"Nanti tho, Nduk (sebutan Nak untuk anak perempuan di Jawa), kamu iso ketemu karo masmu kuwi," kata istri sahabat saya tersebut lantas tersenyum menatap saya.

Saya sempat mengajak Aliya dan kawan saya makan di sebuah restoran di Sidoarjo. Aliya sama sekali tidak menaruh curiga bahwa dia sebenarnya telah bertemu dengan kakak angkatnya. Memang, saya hanya diperkenalkan sebagai saudara kawan saya yang sehari-hari mengawasi perkembangan Aliya di pesantrennya.

Seusai pertemuan tersebut, saya mengatakan kepada Aliya bahwa suatu saat kakaknya akan mampir ke Jombang untuk mengunjunginya.
"Aku kenal karo masmu," kata saya di akhir perjumpaan kami sore itu.

Ya, saya menetapi janji saya untuk menemui Aliya di Jombang. Pada saat pertemuan kedua itu, Aliya tidak menyangka bahwa saya adalah kakak asuhnya. Begitu senangnya dia hingga tak sempat berkata selama beberapa saat.

Saya menelepon calon istri saya ketika itu bahwa saya telah bertemu dengan Aliya. Saya menyampaikan bingkisan dari calon istri saya tersebut kepada Aliya. Aliya menerimanya dengan sangat senang. Mengharukan.

Saya tak menyangka bisa sebahagia saat itu. Istri teman saya sempat meneteskan air mata melihat begitu gembiranya Aliya bisa bertemu kakaknya. Namun, kebahagiaan itu kini menjadi bagian dari masa lalu. Setelah sempat dirawat inap di rumah sakit setempat karena demam berdarah, Aliya mengembuskan napas terakhir setelah trombositnya sangat rendah.

Kawan saya menyesal karena gagal mencarikan darah di PMI setempat. Untuk ke PMI Surabaya, dia akan sangat terlambat mengingat kondisi Aliya yang sangat lemah dan kritis.

Kabar tersebut sampai ketika saya masih harus menyelesaikan mengedit berita sebelum deadline pukul 12 malam. Mata saya tak sengaja basah. Tangan saya bergetar tak mampu menggerakkan mouse dan mengetik. Begitu berat rasanya kehilangan salah seorang tercinta. Innalillahi wa innailaihi raji'uun.

Saya tak lekas pulang saat itu. Setelah suasana redaksi sudah sepi, saya melaksanakan shalat gaib untuk almarmahumah. Badan saya terasa lemas. Saya tak mengira secepat itu kebahagiaan datang dan secepat itu pula kebahagiaan pergi. Tapi, Allah mahatahu. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Sebab, saya yakin rencana Allah itu sangat indah. I love you, Aliya.

Grahapena, 8 Agustus 2008
(kukecup cahaya rembulan yang merendah mengibar kerinduanku)

Pak Jumari



Oleh: Eko Prasetyo

Pagi-pagi sekali, Pak Jumari sudah membersihkan halaman sekolah. Ya, dia memang bekerja sebagai tukang kebun di sebuah sekolah dasar tempat keponakan saya sekolah. Sudah lebih dari tiga tahun saya mengenalnya. Kalau saja saya tidak mengantarkan keponakan ke sekolah tersebut, bisa jadi saya tak pernah mengenal sosok sederhana beliau.

Kulitnya hitam karena banyak terbakar terik matahari. Otot tangan dan tulang belikatnya menonjol seolah menjadi saksi kerja kerasnya menjalani hidup. Meski usianya sudah beranjak senja, sekitar enam puluh tahunan, Pak Jumari masih tampak segar dan semangat. Siang itu, ketika menjemput keponakan, saya mengajak beliau untuk makan siang bersama di sebuah warung.

Pak Jum –demikian saya biasa menyapa beliau– mengungkapkan bahwa dirinya sudah 13 tahun bekerja sebagai tukang kebun di sekolah dasar tersebut. Dari obrolan kami, saya menyimpan rasa kagum kepada Pak Jum. Beliau menuturkan, jarak antara rumah ke sekolah tempat dia bekerja sekitar 1 km. Meski demikian, beliau berangkat dengan berjalan kaki. Kendati jam kerjanya mulai pukul enam pagi, Pak Jum sudah berada di sekolah itu setengah jam sebelumnya.

Beliau mengatakan sudah sangat bersyukur meski gajinya per bulan tak seberapa. Berkumpul dengan para guru dan anak-anak membuat dia mengaku kerasan bekerja di situ. ”Kulo mboten nyuwun nopo-nopo kalih Gusti Allah, mung sehat thok sampun cekap Mas (Saya tidak minta apa-apa kepada Allah, sehat saja itu sudah cukup kok Mas),” tuturnya. Subhanallah, saya memetik pelajaran sederhana dari etos kerja Pak Jumari.

Kini, saya tak pernah lagi melihat Pak Jumari jika sedang menjemput keponakan saya di sekolah tersebut. Saya pun tak bisa melihat beliau sedang menyapu atau membersihkan halaman sekolah itu. Sebab, beberapa waktu lalu, Pak Jum dikabarkan telah meninggal karena sakit diabetes menahun. Saya baru tahu kabar itu dari orang tua siswa dan guru sekolah tersebut. Innalillahi wa innailaihi rajiuun.

Meski demikian, saya masih menyimpan beberapa nasihat yang pernah dilontarkan Pak Jum. Mulai etos kerja sampai nasihat agar bekerja sepenuh hati. Dari kesemuanya itu, saya menyimpulkan bahwa bekerja itu adalah amanah.

Saya merenung, betapa banyak orang yang menyepelekan arti amanah dalam bekerja. Saya pernah merasa jengkel saat mengurus perpanjangan KTP beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, jam kerja di kelurahan atau instansi-instansi pemerintah lainnya adalah pukul setengah delapan pagi. Namun, hingga pukul sembilan lebih saya menunggu di kelurahan, tak ada orang di situ. Mungkin, jamak terjadi bahwa banyak pegawai pemerintahan yang ngantor telat. Seharusnya masuk pukul setengah delapan pagi, mereka baru masuk kerja pukul sembilan, bahkan sepuluh pagi. Ada pula pegawai yang sudah pulang sebelum jam pulang kantor. Masya Allah.

Tak jarang, di antara para pegawai pemerintahan itu, ada yang jalan-jalan pada saat jam kerja. Yang memprihatinkan, mereka jalan-jalan dengan masih memakai pakaian dinas. Terus, bagaimana dengan pelayan publik yang menjadi tugas mereka? Sering pula saya temui, kadang produktivitas kerja kalangan pegawai tertentu tidak menonjol. Yang tampak, pegawai kantoran yang main komputer, duduk enjoy, dan ngobrol sambil ngopi. Profesionalitas kerja yang termasuk amanah sering terabai. Masuk kantor telat seakan tak merasa bersalah. Tapi, jika gaji telat, mereka sudah berkoar-koar, mengeluh, dan sebagainya. Masya Allah.

Padahal, jika seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan pahala dari Allah, dia telah menunaikan kewajibannya. Dia pun berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Bekerja termasuk amanah yang harus dijaga. Sebab, Islam pun mengajarkan tentang pentingnya bersikap profesional.

Allah berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui” (Al-Anfal: 27).

Cuaca di atas Kota Surabaya cukup terik siang itu. Saya tertegun di depan pagar sekolah saat menjemput keponakan. Tak tampak lagi wajah Pak Jumari yang biasa menyapa saya dengan rendah hati. Tentang sikap amanah, saya resapi dari tutur kata dan semangat bekerja Pak Jumari. Selamat jalan Pak Jum, semoga Allah memberikan tempat yang baik di sisi-Nya.


(Mengenang Pak Jum)

dimuat: eramuslim (24 Juli 2008)

Bisnis Ijazah Instan

Catatan: Eko Prasetyo

Hidup di zaman sekarang benar-benar harus kuat iman. Pasalnya, apa-apa serbaduit. Mau buang air kecil saja harus bayar. Ketika saya belanja ke Pasar Keputran, Surabaya, uang Rp 10 ribu cuma dapat tempe, tahu, plus minyak goreng setengah kilo. Meski demikian, saya bersyukur bahwa dini hari nanti punya persiapan sahur dengan lauk istimewa: Tempe! Alhamdulillah. Karena masih bujangan, mungkin saya masih bisa mengirit pengeluaran. Saya tak bisa membayangkan bahwa banyak orang miskin yang tak mampu beli beras.

Saya punya langganan bakul cabai di Pasar Keputran. Si penjual sudah sepuh, sepantaran nenek saya. Dulu sebelum kena stroke, nenek sayalah yang belanja ke pasar tersebut. Tiap belanja, nenek tak pernah absen beli cabai di ibu bakul lombok itu. Witing akrab jalaran soko kulina. Karena sering bersua, mereka menjadi layaknya sahabat karib. Stroke telah membuat kaken dan nenek saya tak mampu berjalan sempurna seperti dulu. Kini sayalah yang mengalih alih tugas belanja. Si mbah penjual lombok tadi sebenarnya tidak menjual cabai segar. Dia mengaku, tiap pukul dua pagi ada truk pengangkut cabai dari daerah lain untuk dibawa ke Surabaya. Nah, tiap ada cabai yang jatuh dari truk tersebut, cabai itulah yang dijarah oleh sebagian penjual, termasuk si mbah tadi, untuk dijual kembali. "Nek tuku larang (Kalau beli, mahal)," tuturnya.

Karena hidup bertiga dengan penghasilan saya plus pensiunan kakek, jelas kami harus benar-benar hemat. Lha piye wong semua harga kebutuhan pokok serbamahal. Karena itu, saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa banyak orang yang membelanjakan uangnya untuk hal yang salah seperti membeli ijazah instan. Saya mafhum, mungkin mereka belum pernah merasakan sulitnya mencari seperti kami dan rakyat kecil lainnya.

Saat membaca berita cover story di Metropolis Jawa Pos edisi kemarin (18/9) dan hari ini, saya terkesiap. Betapa tidak, tak perlu susah-susah kuliah, orang bisa dengan mudah mendapatkan ijazah instan seharga Rp 8 juta.

Dengan minimal Rp 8 juta, titel apa saja bisa Anda dapatkan. Tinggal pilih mau sarjana ekonomi, hukum, atau psikologi. Tak perlu duduk di dalam kelas selama empat tahun. Bahkan sehari pun tak perlu. Proposal skripsi dan skripsi sudah ada yang mengerjakan. Pokoknya tinggal bayar. Dalam waktu sekitar sebulan, semuanya beres (Metropolis Jawa Pos, 18/9/08).

Bahkan, si konsumen ijazah instan akan mendapatkan indeks prestasi 3,01. Nilai yang lumayan, karena nilai itu diperoleh tanpa harus mengikuti kuliah sama sekali. Peminat ijazah instan tersebut pun tidak sedikit. Disebutkan tim Jawa Pos bahwa segmen pasar terbesar ijazah instan adalah instansi pemerintahan (PNS dan guru) serta lembaga negara non-pemerintah (legislatif). Mahasiswa putus kuliah masih kalah besar. Masya Allah.

Ah, saya sedikit menggerutu dalam hati. Untuk mencapai sarjana, saya pernah harus jualan kopi di Jl Basuki Rahmat hingga jadi cleaning service di Gramedia. Mereka yang punya duit dengan mudahnya mendapatkan ijazah sarjana tanpa harus kuliah dan susah payah. Duit kini bak dewa, dipuja dan berkuasa. Jika ada uang, urusan lancar. Jika tak punya uang, jangan pernah ngimpi jadi sarjana di sini! Masya Allah.

Subuh sudah melambaikan tangannya. Mata ini begitu lelah dan mengantuk. Sesampai rumah, saya tengok kamar kakek nenek saya. Mereka masih terlelap. Saya lantas mendesah. Hari ini saya hanya berhasil belanja tempe lagi. Beli dua ribu rupiah sudah bisa dimakan bertiga. Sambil menggoreng tempe tanpa garam buat mbah berdua, saya membayangkan punya uang Rp 8 juta seperti mereka yang membeli ijazah instan. Tentu saja saya menginginkan sekali-sekali di meja makan kami tersaji sayur segar dengan lauk daging atau apalah selain tempe. Tentu itu akan sangat membahagiakan kami bertiga ketimbang beli ijazah yang tak banyak menolong perut kami ketika lapar. Oh Tuhan.


Graha Pena, 29 September 2008
Eko Prasetyo
(bimbang, rapikan bekas kecup mesraku agar tak tertengok cemburu)

Sujud Syukur di Akhir Ramadhan





Oleh: Eko Prasetyo

Malam tak pernah seindah itu. Suara-suara orang mengaji bergaung dan bergema di seluruh pelosok Kota Pahlawan. Langit dan bumi merendah bak menyambut malaikat yang bertasbih memuji Ar-Rahman. Sepuluh malam terakhir di bulan suci Ramadhan menjadi saksi kebahagiaan tak terperi dalam hidup saya, Eko Prasetyo.

Saya lahir dan besar di keluarga penganut Katolik yang taat. Kami tinggal di Bekasi. Tiap Minggu, tak pernah alpa kami beribadat ke gereja. Masa kecil sampai remaja terasa begitu membekas dengan kebahagiaan keluarga kami. Nama baptis saya adalah Yohanes. Nama tersebut masih menempel di ijazah terakhir saya sebelum akhirnya hidayah itu menyapa pada 2005.

Pada Agustus 1999, saya hijrah ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Negeri Surabaya (Unesa, dulu IKIP Negeri Surabaya).

Singkatnya, saya kemudian tinggal bersama kakek dan nenek saya.

Hari-hari awal menjadi arek Suroboyo begitu saya nikmati. Jauh dari orangtua adalah awal saya belajar untuk mandiri. Meski selalu mendapat uang saku tiap bulan, saya mulai kasihan dengan ibu yang cuma berjualan kue dan menjadi penjaga kantin sebuah sekolah menengah pertama di Bekasi. Saya ingin bisa memiliki pendapatan sendiri.

Singkatnya, saya kemudian nyambi mengajar privat selepas kuliah. Lumayan, dari hasil memberi les privat tersebut, saya bisa menambah uang saku dan beli bensin. Sempat cuti kuliah pada semester lima karena telat membayar SPP, saya pernah bekerja sebagai cleaning service di sebuah toko buku. Sebagai mahasiswa, saya mulai menyadari bahwa betapa berbedanya dunia kerja dengan dunia mahasiswa yang penuh dengan idealismenya.

Sungguh, saya menyadari betapa susahnya hidup di kota besar seperti Surabaya. Apalagi, gaji sebagai cleaning service itu tak sampai Rp. 500 ribu saat itu! Namun, semua itu memiliki hikmah bagi saya. Sukses itu tidak turun langsung dari langit, tapi harus ada usaha! Do'a, usaha, dan kerja keras. Itulah fondasi sukses. Karena itu, tekad saya bulat, saya harus bisa menjadi sarjana, meski sarjana pun terkadang sulit untuk mencari kerja.

April 2004, kebahagiaan menyelimuti saya dan keluarga. Ya, saya resmi mengakhiri pendidikan di Unesa bersama ribuan wisudawan lain di Islamic Center, Surabaya. Tak pernah terbayang di benak saya bahwa anak seorang ibu penjaga kantin dan bapak supir bisa jadi sarjana. Menjadi raja sehari sebelum esoknya bingung harus membuat lamaran kerja ke sana-sini. Meski demikian, rasa haru dan bangga menyelinap di hati saat saya kali pertama memakai toga.

Setelah lulus, saya memutuskan untuk tetap tinggal di Jawa Timur. Saya bersyukur, setelah menganggur beberapa lama, akhirnya saya mendapat pekerjaan sebagai guru SMP di Kabupaten Malang. Meski penghasilan sebagai guru sangat kecil, saya begitu menikmati profesi tersebut.

Awal 2005, nenek saya sakit dan diopname di RS RKZ Surabaya. Saat itu, karena tak ada di antara anak-anaknya yang bisa jaga malam, akhirnya saya memutuskan ke Surabaya dan menjaga beliau. Meski, konsekuensinya saya harus keluar dari pekerjaan saya. Dan di situlah awal saya mengalami hal yang kemudian mengubah hidup saya.

Tiap pukul empat sore, saat jam besuk, saya sudah ada di RKZ untuk menjaga nenek. Menyuapi saat beliau makan dan mengambilkan pispot saat beliau buang air kecil, menjadi pengalaman pertama saya merawat orang sakit.

Malam ketiga nenek sakit, saya tak kuat menahan kantuk tertidur dengan posisi duduk di samping paviliun beliau. Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Saat itulah, saya bermimpi yang menurut saya aneh. Dalam mimpi tersebut, saya melihat diri saya yang seolah-olah melakukan gerakan-gerakan yang kelak saya ketahui adalah shalat. Ketika terbangun, saya tak menghiraukannya. Saya berpikir, mungkin itu hanya bunga tidur saja karena terlalu capai.

Namun, saya tak menyangka, pada malam keempat mimpi itu datang lagi. Saya bermimpi melihat diri saya melakukan ruku yang kelak saya ketahui juga bagian dari shalat. Begitu cepat sehingga saya terbangun dan ketakutan. "Ada apa ini, Tuhan?" ucap saya dalam hati setengah ketakutan.

Entahlah, saat itu mulai terlintas rasa penasaran saya terhadap Islam. Ketakutan saya masih berlanjut. Malam kelima, mimpi itu datang lagi dan kali ini saya melihat diri saya bersujud. Setelah tiga malam berturut-turut bermimpi aneh, saya sadar bermimpi melihat diri saya sedang shalat. Keinginan saya mengetahui Islam menjadi besar mulai saat itu.

Setelah nenek sembuh, kejadian itu berlalu dan hanya saya simpan dalam hati. Diam-diam, saya mulai mempelajari Islam dari buku-buku yang saya beli. Puncaknya, keluarga kami merayakan Paskah dan saya sempat bermalam di Gereja Katedral Surabaya. Menjelang subuh, saya hendak keluar dan membeli makan. Ketika bersiap menggeber motor, saya mendengar sayup-sayup adzan Subuh. Entah mengapa, saya mendadak mematikan mesin motor dan mendengarkan kumandang adzan tersebut. Mulai Allaahu Akbar sampai Laa ilaaha illallaah, meski tak tahu artinya saat itu, hati saya bergetar hebat. Indah sekali lantunan suara adzan Subuh tersebut.

Kepada seorang kawan, saya mulai mengutarakan niat untuk masuk Islam. Meski, saya tahu bahwa keputusan itu akan sangat berisiko karena keluarga saya adalah pemeluk Katolik yang sangat taat. Tiga hari setelah peristiwa itu, saya mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Al-Akbar Surabaya. Hanya ada saya, dua sahabat saya, dan seorang ustadz pembimbing. Allahu Akbar! Saya menjadi muslim. Damai sekali. Dua sahabat saya memeluk saya dan menangis. Suasana begitu mengharukan kala itu.

Saat saya berterus terang kepada orangtua bahwa saya telah menjadi mualaf, ayah saya sangat murka. Begitu marahnya hingga saya mendapat tamparan di wajah. Hari-hari awal menjadi muslim begitu berat saya rasakan. Namun, saya yakin bahwa Allah Mahatahu. Saya menghormati dan sangat menyayangi orangtua saya. Ketika itu, yang bisa saya lakukan hanya berdo'a bagi ibu dan bapak saya. Di Surabaya, suasana diskriminasi dari keluarga sempat saya rasakan. Hal yang wajar karena menjadi muslim saya dicap sebagai pengkhianat. Meski demikian, semua saya syukuri tanpa henti mendo'akan kedua orangtua tercinta.

Akhirnya, malam membahagiakan bagi kami itu datang di bulan suci Ramadhan pada 2006. Malam setelah mengikuti shalat tarawih menjelang Ramadhan berlalu, saya mendapat telepon dari ibu di Bekasi. Secara mengejutkan ibu mengatakan bahwa beliau dan bapak telah masuk Islam setelah bermimpi melihat saya shalat.

Allahu Akbar! Mahaindah Engkau, ya Allah. Tak sanggup berucap sepatah kata, malam itu juga saya sujud syukur dan tiada henti menangis. Menangis bahagia. Cinta itu datang berupa hidayah yang tak ternilai dengan apa pun di dunia ini. Teriring salam terindah untuk Rasulullah, kuucapkan syukur Alhamdulillah atas karunia ini.

Dimuat: kotasantri.com dan swaramuslim.com

Flower in The Desert



"Sebuah ruang yang kosong memberimu kesempatan untuk mengisinya."
Kalimat tersebut pernah diucapkan Putu Wijaya (novelis dan budayawan) di Gedung Kesenian Buleleng, Bali, pada 19 November 1996.

Terus terang, kalimat tersebut sangat memotivasi saya. Karena itu, saya mafhum ketika Andy F. Noya mengundurkan sebagai pemred Metro TV atau Dhimam Abror yang keluar dari jabatannya sebagai pemred harian Surya.

Saya tersentuh ketika seorang rekan wartawan muda berkisah tentang keputusannya untuk mundur dari surat kabar tempat dia bekerja. Banyak yang menganggap keputusannya keluar adalah hal yang bodoh. Apalagi, mencari kerja sekarang sangat sulit dengan persaingan yang sangat tinggi pula. Namun, dia berharap keputusannya itu tidak salah. Saya akhirnya bisa memahami sikapnya.

Perempuan muda itu menuturkan, menjadi wartawan adalah impiannya. "Ternyata tak seindah yang dibayangkan," ujarnya dengan nada berat. Di pengujung April dia kembali ke kotanya, Jogjakarta. ya, dia telah resign. Selembar tulisan berjudul "Kenapa Saya Ingin Jadi Wartawan" saat dia melamar jadi wartawan dikembalikan kepadanya. Dia menjadikan lembaran tersebut sebagai prasasti.

Tak sempat berpamit kepada rekan-rekan wartawan lainnya, dia mengucapkan kalimat perpisahan kepada saya suatu sore, ketika kami terakhir bertemu.

"Aku pulang. Kembali ke barat. Aku bukan kalah. Aku bukan pecundang," terakhir saya menangkap lirih suaranya menahan kesedihan.

Saya menghela napas pagi ini. Banyak sekali kisah yang saya lalui. Berada di sebuah kapal besar sebagai kelasi rendahan harus siap menantang ombak ganas sewaktu-waktu. Sebagai pemuda, saya tidak terbiasa menyerah dengan keadaan. Tantangan dan risiko adalah hal yang wajar dalam kehidupan. Berani hidup harus berani menghadapi tantangan. Meski semua ini telah Dia gariskan, kita tetap tidak boleh menyerah pada keadaan. Sungguh, hati saya bergetar mendengar kisah jurnalis muda tersebut. Tegap, saya memberikan salam perpisahan kepadanya.

Dulu, Agung Putu Iskandar, wartawan Jawa Pos yang juga kawan perempuan tersebut, pernah mengungkapkan hal serupa. Yakni, betapa tidak mudahnya menjadi seorang wartawan. Kini saya mulai mempercayainya. Bukan karena terlambat percaya, tapi saya terlalu mengagumi profesi seorang jurnalis sehingga tak berani mengamini kata-kata itu lebih dulu.

Tentang Bang Andy, Pak Abror, dan mantan wartawan itu, keputusan mereka pun bisa jadi terjadi pada saya atau orang lain. Sebuah ruang yang kosong memberimu kesempatan untuk mengisinya. Entah kapan.


Graha Pena, 5 Sept 2008

Eko Prasetyo
(maaf rindu, aku terlambat memelukmu saat dia gagal membawa pulang cintaku)

Mudahnya Memaafkan




Oleh: Eko Prasetyo

Beberapa waktu lalu, saya tak sengaja menyerempet sebuah mobil toyota kijang di Jl A. Yani. Jalan memang agak macet sore itu. Dan saya memang agak terburu-buru sore itu. Bagian spion kiri mobil tersebut agak lecet akibat senggolan dengan motor saya.

Pemilik mobil itu kemudian minggir dan menyapa saya, "Hei goblok! Matamu sudah buta ya?"

Saya lalu meminta maaf karena tidak sengaja menyenggol mobil orang itu. Dari penampilannya yang perlente, saya jelas ora ono apa-apane. Meski demikian, saya berusaha tetap tenang dan terus meminta maaf. Tapi, orang itu malah tidak terima dan terus memaki-maki saya.

"Aku gak terimo! Kamu harus ganti spion mobil saya. Motomu picek yo (Matamu buta ya)! Naik sepeda motor nggak liat-liat!" kata laki-laki tersebut.
"Akan saya ganti Pak spion yang kegores itu. Maafkan saya Pak," ujar saya.
"Alah gak usah akeh omong. Aku minta kamu ganti sekarang," katanya dengan nada tinggi.

Orang itu tampak sinis memandang saya. Mungkin, dia mengira saya tak akan mampu membayar kerugian sebesar harga spion mobilnya. Apalagi, melihat tampang saya yang kucel begini.

Kemudian, dia kembali menghampiri saya. "Sudah aku minta 200 ribu saja. Sekarang," ujar laki-laki itu.

"Waduh Pak, uang saya cuma 115 ribu iki," jawab saya sambil memperlihatkan isi dompet saya untuk meyakinkan dia.

"Motomu picek yo," ucapnya tidak terima dengan kata-kata saya.

"Kekurangannya saya ambilkan di kantor saya dulu ya Pak karena di sana ada ATM," tawar saya dengan nada memelas.

Eh dia malah nggak terima. Dia menuduh saya dan semakin memaki-maki.

Karena agak kesal, saya kemudian bilang, "Sudah deh Pak, saya ganti 500 ribu. Tapi, uangnya saya ambil di kantor dulu. Di sana soalnya ada ATM," jawab saya.

"Alah rai koyok awakmu mosok duwe duwit," kata dia terus-menerus menghina saya.

Kalau nggak percaya, silakan ikut saya ke kantor yang dekat dari sini (orang itu akan saya ajak ke Graha Pena)," jawab saya.

Alhamdulillah dia mau saya ajak ke Graha Pena. Setelah mengambil uang di ATM, saya benar-benar menyerahkan uang sebesar Rp 500 ribu ke orang tersebut.

Laki-laki itu kelihatan bingung dan bertanya kepada saya, "Memangnya kamu kerja di sini? Di mana? Saya kan cuma minta 200 ribu?"

Saya tidak lantas menjawab pertanyaan orang itu. "Saya minta maaf Pak sudah menyenggol mobil Bapak. Saya sangat berterima kasih sudah diingatkan agar berhati-hati. Matur nuwun Pak," tutur saya kepadanya.

Wajah laki-laki itu tambah bingung. Mungkin dia bertanya-tanya wong dia tadi marah dan memaki saya, tapi saya justru berterima kasih sudah diingatkan.

"Ini kartu nama saya Pak. Silakan main-main ke kantor saya kapan-kapan. Maaf ya Pak, saya harus segera kerja karena ada rapat hari ini. Silakan hubungi saya nanti. Nomornya ada di kartu nama saya itu," ujar saya meninggalkan laki-laki tadi yang masih melongo melihat saya ngacir sebelum sempat berkata-kata.

Alhamdulillah, hari itu saya bisa meredam marah dan tidak membalas makian/hinaan dari bapak tadi. Bapak itu tidak lama kemudian mengirimkan SMS dan berkali-kali meminta maaf kepada saya. Saya membalas SMS beliau dan berterima kasih sudah diingatkan. Dia tambah bingung.

"Mas Eko nyindir saya ya?" tulisnya heran dalam SMS balasannya.

"Lho bapak nggak sadar sudah menasihati saya? Bapak marah-marah tadi itulah yang saya maksud mengingatkan saya agar saya lebih berhati-hati lagi jika di jalan raya," balas saya.

"Mas saya benar-benar minta maaf atas sikap saya tadi," balas dia.

SMS itu kemudian saya tutup dengan ucapan maaf dan terima kasih lagi.

Saya lalu merenung. Mungkin saja, di satu sisi, saya memiliki kelebihan dibandingkan orang itu meski saya berada dalam posisi yang lemah saat itu. Namun, saya memetik hikmah dari kejadian tadi. Yakni, menguasai emosi dan mencoba berpikir positif di saat-saat yang tidak menguntungkan. Sebagai pemuda, saya tetap harus menghormati orang yang lebih tua, tak peduli siapa pun dia dan tanpa melihat kelebihan diri sendiri. Dalam kamus kehidupan, tak ada kata dendam untuk saling menghargai dan mengasihi sesama makhluk Tuhan. Ah, cinta! Ingin kupeluk engkau erat-erat agar tak kabur saat emosiku di atas logika...

Graha Pena, Juli 2008
(merenung sendiri di Jawa Pos pukul tiga pagi)