La Tahzan Saudaraku! (untuk Palestina)



Catatan: Eko Prasetyo

Seusai kerja, sebelum pulang, saya kerap membuka media online lewat internet yang menyajikan berita-berita yang sedang hangat di masyarakat. Namun, dini hari itu, emosi saya serasa tersulut. Membaca salah satu berita internasional tentang Palestina membuat darah saya mendidih. Betapa tidak, dalam berita tersebut dipampang foto seorang balita yang tewas dengan tangan terputus karena serangan Israel. Bocah tersebut merupakan salah seorang korban di antara mayat-mayat orang dewasa yang menjadi kebiadaban Israel.

Sebagai muslim, tentu hati ini tidak sanggup menerima perlakuan brutal dan kejam bangsa Yahudi itu membantai saudara-saudara seiman di Palestina. Dunia Islam pun mengutuk keras tindakan di luar batas kemanusiaan Israel. Namun, tanpa membawa Islam pun, sudah tentu sebagai manusia, jiwa kita akan terketuk melihat darah anak-anak tak berdosa tumpah karena kekejaman Israel yang semakin menjadi-jadi.

Memang, tidak hanya saat itu saya melihat lewat situs berita luar negeri tentang korban-korban dari rakyat Palestina yang tewas akibat serangan militer Israel yang membabi-buta. Konflik di Timur Tengah memang membawa derita berkepanjangan, khususnya di bumi Palestina. Tapi, saya yakin, mereka tidak mati sia-sia. Darah mereka, para wanita dan anak-anak muslim Palestina tak berdosa itu adalah jihad.

Sejengkal tanah dan hak kemerdekaan mereka perjuangkan dari penjajahan Yahudi tersebut. Meski konsekuensinya harus dibayar dengan nyawa, hal itu tak menyurutkan semangat jihad melawan kaum zionis Israel. Tiap saat diliputi kemelut. Tiap hari nyawa orang-orang Palestina melayang karena melawan para serdadu Yahudi di wilayah-wilayah perbatasan.

***

Satu kisah menyedihkan dari pengalaman seorang wartawan asing, di jalur Gaza menjelang fajar dijaga ketat oleh tentara Israel. Panser-panser Yahudi dengan senjata lengkap tersebut seolah siap melahap dan menembak para pemuda Palestina yang nekat melintas atau melawan. Tidak ada lagi peace enforment ketika itu. Seorang wanita tiba-tiba muncul di kerumunan barisan serdadu zionis.

Dia kemudian berteriak ke arah para tentara tersebut seraya melantangkan takbir, ”Allahu akbar, Allahu akbar.” Di sela seruan wanita pemberani tersebut, dia sempat berkata, ”Rahimku ini akan terus melahirkan para pejuang untuk berjihad.” Tak lama kemudian, wanita itu rebah tersungkur ke tanah. Tubuhnya bersimbah darah setelah diberondong senapan otomatis milik tentara Israel. Innalillahi wa innailahi rajiuun. Seorang muslimah telah gugur sebagai syuhada.

Peristiwa itu menyulut kemarahan para pemuda pejuang muslim Palestina. Apa daya, kekuatan militer Israel jauh lebih baik daripada mereka. Namun, para kaum muslimin tersebut tidak gentar. Bersenjata batu dan sedikit senjata, mereka melakukan perlawanan ke arah tentara-tentara Yahudi. Tak pelak, korban-korban tewas pun banyak berjatuhan dari pihak Palestina.

Darah di mana-mana. Ini tanah kami! Darah muslimin tak akan jatuh dengan sia-sia. Ini bumi kami! Begitulah semangat para pemuda Palestina dalam melawan kekejaman Israel yang telah berpuluh-puluh tahun menyerobot tanah air mereka.

Si wartawan peliput tersebut akhirnya memutuskan untuk berhenti dari profesinya. Kali terakhir, pemandangan menyedihkan melihat seorang bocah laki-laki cacat karena kakinya putus akibat terkena serpihan ranjau di daerah konflik. Itu membuat hatinya miris. Dia tak menyangkal kekejaman Israel. Hingga anak-anak pun tak luput dari sasaran senjata para serdadu zionis tersebut. Masya Allah.

***

Kiranya, penghormatan dan doa teriring untuk perjuangan para saudara kami di Palestina. Darah para muslimah dan anak-anak tak berdosa itu tidak akan jatuh dengan sia-sia. Bahwa mati syahid lebih dipilih daripada tanah air diduduki oleh kaum Yahudi. Saudaraku di Palestina, percayalah bahwa perjuanganmu tak akan pernah sia-sia. Allah lebih tahu tentang jihad membela panji Islam yang kalian perjuangkan. Kami yang di sini selalu mengiringi doa akan harapan kedamaian di bumi Palestina yang menyimpan banyak sejarah para nabi.

Ini tanah kami! Ini bumi kami! Setelah keras menentang, diiringi teriakan takbir, pemuda-pemuda pemberani itu pun gugur diterjang timah panas serdadu Yahudi. Dan tidaklah tangisan para wanita yang kehilangan suami, anak, serta sanak saudaranya menjadi akhir dari perjuangan. Benar! Di rahim mereka, akan lahir syuhada-syuhada yang tak sudi bangsanya dijajah oleh Yahudi.

Mati sebagai syahid lebih disukai. La tahzan saudaraku! Jangan bersedih dan berhenti berjuang. Semoga Allah merahmati perjuanganmu. Dan tetapkan di hatimu bahwa Rasululullah pernah bersabda:”Sesungguhnya, besarnya pahala mengikuti pada besarnya cobaan. Susungguhnya, Allah apabila mencintai suatu kaum, pasti Dia menimpakan cobaan-Nya kepada mereka. Barang siapa yang ridha, dia akan mendapat keridhaan-Nya. Dan barang siapa yang marah, maka dia akan mendapat murka-Nya.”

Graha Pena, Mei 2008

Jakarta Oh Jakarta!

Catatan: Eko Prasetyo



Jakarta? ”Nice city,” begitu kata seorang kawan. ”Yaah, sampeyan belum tahu sih..” begitu jawab saya dalam hati. Kalau saja dia jeli atau keliling Kota Jakarta, mungkin bisa jadi dia bakal mengoreksi kata-katanya tadi. ”Home to over 10 million people, Jakarta is the capital city of Indonesia,” terang saya. Padahal, saya mafhum betapa ibu kota negara itu identik dengan macet dan sumpek. Di ujung-ujungnya, saya bertanya, ”So, why should you visit Jakarta?” Jawaban para bule pasti kurang lebih sama: ”Because we can find everything here..” Mungkin, ada benarnya. Meski padat, urbanisasi ke Jakarta justru meningkat.

Desember 2006, saya mengunjungi Jakarta. Meski bukan kali pertama, saya berdecak kagum dengan pesatnya pembangunan di sana. Gedung-gedung pencakar langit menjulang begitu megah. ”Yo iki sing bikin Jakarta sering banjir,” pikir saya. Sebab, banyak bangunan yang tinggi tanpa memperhatikan konstruksi serapan air. Akibatnya, jika datang hujan dan air kiriman dari Bogor, banjir menggenangi hampir 2/3 Jakarta,

Meski demikian Jakarta adalah kota yang supersibuk. Denyut nadi kehidupannya hampir 24 jam seiring perputaran uang di sana. Jujur, saya cukup norak melihat busway sliweran. Bagus sih busnya, tapi kasihan juga lahan-lahan warga yang digusur untuk proyek busway. Bisa-bisa, sepuluh tahun lagi orang jalan di depan rumah kena macet nih, gumam saya dalam hati.

Herannya, jargon ibu kota itu kejam tidaklah memengaruhi banyak orang. Kian banyak saja orang yang mengadu peruntungan di Jakarta. Angka urbanisasi tetap tinggi. Akibatnya, banyak pengangguran dan kemiskinan karena semakin sempitnya lapangan kerja, sementara tingkat persaingan sangat tinggi. Dari situ akhirnya bersambut dengan tingginya kriminalitas. Pencopetan di bus, penjambretan di terminal, perampokan di taksi, kekerasan disertai penganiayaan hampir setiap hari terjadi di Jakarta. Muaranya satu: urusan perut dan bertahan hidup. Masya Allah.

Cara-cara demikian atau kejahatan terjadi seiring tingginya kesenjangan sosial di ibu kota tersebut. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin tersudut. Rasa kasihan dan perhatian kepada kaum duafa mungkin hanya sedikit yang peduli. Muda-mudi makin trendi dan suka mejeng di mal. Katanya susah, tapi masih mampu kredit kendaraan dan rumah. Gengsi dianggap jauh lebih penting daripada kalah gaya. Konsumerisme nyaris menjadi budaya. Gaya hidup hemat seperti dianjurkan Nabi Muhammad tak banyak dianut. Ivestasi akhirat seperti zakat dan sedekah tak banyak diindahkan.

Korupsi para wakil rakyat di ibu kota pun terbilang tinggi dan bisa bikin geleng-geleng kepala. Korupsi itu sama seperti mencuri. Tak peduli maling ayam atau koruptor kelas kakap, harus dihukum secara setimpal.

Betapa kita harus berkaca dan menilik pada sabda Rasulullah: ”Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku pun akan memotong tangannya.” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari). Melihat ketimpangan sosial ini, saya teringat kembali pada hadis tersebut.

Bagi orang awam, pernyataan itu kedengaran sarkastis atau mungkin dalam bahasa George W. Bush disebut militan atau fundamentalis. Namun, bagi kalangan ulama, itu adalah salah satu dasar dalam proses law enforcement.

Kisahnya, seorang perempuan di zaman Rasulullah SAW sesudah fathu Makkah telah mencuri. Rasulullah lalu memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi perempuan tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau bersabda, ”Apakah kamu akan meminta pertolongan (mensyafa’ati) untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza wajalla?” Usamah lalu menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku ya Rasulullah.”

Pada sore harinya, Nabi SAW berkhutbah setelah terlebih dahulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Beliau bersabda, “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan jika seorang bangsawan mencuri, dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah), dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku pun akan memotong tangannya.” Setelah bersabda begitu, beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu.

Jakarta oh Jakarta. Dalam hati,saya berharap menjelang pulang ke Surabaya. Semoga kemiskinan yang sedemikian menonjol di ibu kota, atau kota-kota lain, dapat memicu kesadaran kita dalam berzakat dan menumbuhkan kepekaan sosial. Juga, pemerintah bisa bersikap tegas menindak para koruptor dan menegakkan keadilan. Semoga kita bisa memberantas KKN di negara ini menuju suatu baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Amiin..


Graha Pena, Juni 2008

Mengajar dengan Bahasa Cinta

Catatan: Eko Prasetyo

Julukan pahlawan tanpa tanda jasa yang diberikan kepada guru memang tak berlebihan.Mencurahkan perhatian dan membagi ilmu kepada anak didik adalah perbuatan mulia. Guru merupakan orang tua kedua, di mana mereka mengajarkan tentang pelajaran dan sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Tak terbayang pengabdian sekian hingga puluhan tahun di dunia pendidikan demi membentuk para tunas bangsa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Agaknya, terima kasih saja belum cukup untuk mengungkapkan rasa hormat kita kepada mereka akan bimbingan selama belajar di bangku sekolah.

Maka, sudah selayaknya pemerintah memberikan apresiasi kepada para guru. Sebab, jauh sebelum masa sertifikasi seperti sekarang, kesejahteraan para guru terbilang cukup memprihatinkan. Apalagi bagi guru yang mengajar di daerah-daerah terpencil dan jauh dari sentuhan informasi. Gaji yang mereka dapatkan kadang jauh dari kata cukup dan tak sepadan dengan pengorbanan serta pengabdiannya selama bertahun-tahun.

***

Ketika kantor kami pernah mengadakan program untuk guru di Jawa Timur, banyak pengalaman dan hikmah yang bisa saya petik dari beliau-beliau, para tenaga pendidik tersebut. Dalam suatu semiloka, saya sempat berbincang dengan beberapa guru. Di antara mereka mengaku bahwa menjadi guru adalah cita-cita mereka. Bahkan, di antaranya pun sadar bahwa tidak mudah untuk menghadapi kenyataan minimnya apresiasi terhadap para guru saat itu.

Tegar dan optimistis. Itulah spirit yang mereka usung dalam mendampingi anak-anak didik mereka. Mengajar dengan sepenuh hati. ”Saya mengajar bukan karena uang semata karena penghasilan guru tak seberapa. Namun, nasib para guru pun tolong diperhatikan,” tutur salah seorang guru. Ya, tidaklah kecil tanggung jawab yang disematkan di bahu para guru.

Tak sedikit orang tua yang mengeluhkan jika nilai anak mereka jeblok kepada guru. Tak jarang pula, para orang tua menuntut guru harus bisa membuat prestasi anak didiknya meningkat, atau minimal lulus ujian dengan angka baik. Sungguh, ini bukan hal yang semudah membalikkan telapak tangan. Namun, melihat kesabaran dan kecintaan para guru terhadap profesi mereka, pantaskah guru harus disudutkan dengan dilematika seperti itu? Ada guru yang menyambi memulung sampah plastik seusai mengajar di sekolah. Ada pula guru yang menyambi menjadi tukang pijat keliling kampung. Keadaan ekonomi serba sulitlah yang membuat mereka rela melakukannya. Pendapatan dari mengajar tak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga selama sebulan. Selama pekerjaan sambian itu halal, mereka mengaku ikhlas menjalaninya sembari tak melepaskan tanggung jawab mendidik murid-muridnya. Subhanallah.

Sebuah kisah dari seorang guru SD di Lamongan mampu membuat mata saya basah dan merenungi kembali betapa selama ini posisi guru di daerah seperti beliau tidaklah mudah. Guru tersebut bertutur bahwa pendapatannya dari hasil mengajar hanya sebesar Rp 150 ribu per bulan. Sebagai guru tidak tetap, kondisi tersebut memaksanya untuk bekerja sambian sebagai tukang becak. Sedangkan istrinya membantu ekonomi keluarga sebagai buruh tani. Malu? Tidak. Beliau melakukannya dengan tabah dan senang hati. Meski demikian, beliau memiliki cita-cita agar anaknya bisa mengenyam pendidikan sampai sarjana agar tak mengalami nasib seperti kedua orang tuanya. Cintanya pada profesi guru pun ditekuni dengan rasa tanggung jawab tinggi. Subhanallah.

Patah tumbuh hilang berganti. Namun, harapan itu terus menyala di sanubari sang guru untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Sementara masih banyak murid yang acap membuat gaduh di kelas, tidak menghormati saat gurunya menerangkan materi pelajaran, tapi perhatian dan buaian ilmu tetap diberikan oleh bapak dan ibu guru. Terkadang, saya merindukan masa lalu di saat mengenang semasa di bangku sekolah dasar kelas satu. Huruf demi huruf saya eja lewat tuntunan ibu guru. Setelah huruf, lalu menghafal kata dan mengucapkan kalimat lengkap. Saya atau kita mungkin belum tahu apa-apa tentang kalimat dan materi pelajaran waktu itu. Hingga akhrinya belajar memahami materi pelajaran dengan terapannya. Kita bisa karena guru. Kita belajar dengan tuntunan guru. Tugas mulia dan tanggung jawab guru atas kelangsungan pendidikan ada karena cinta. Sebab, mereka mengajar dengan bahasa cinta yang tak pernah meminta balas jasa dari murid lewat ilmu yang diberikannya. Terima kasih bapak dan ibu guru.

(sebuah pengalaman ketika Program Untukmu Guruku 2008 Jawa Pos)