Buat Nenek

Catatan: Eko Prasetyo

Kakek dan nenek saya adalah penganut Katolik yang taat. Tiap Minggu pagi, kakek tak pernah absen mengikuti misa kebaktian di gereja. Meski saya muslim, toleransi di antara kami sangat tinggi. Kakek dan nenek sangat menghormati ketika saya sedang salat. Karena bekerja di redaksi, tiap hari saya pulang larut pagi. Tak heran jika saya tidur menunggu setelah azan subuh. Selesai salat subuh, saya tidur hingga menjelang zuhur. Dan yang selalu membangunkan saya untuk segera bangun dan salat zuhur adalah mbah putri. Begitu pula jika ada kegiatan koor gereja atau mengikuti misa, saya selalu menyempatkan untuk mengantar kakek ke gereja. Di masa tuanya, kakek justru semakin aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di paroki setempat dan di Keuskupan Surabaya.

Sudah dua tahun ini, nenek saya menderita stroke sehingga jalannya sudah tidak seperti orang normal, tertatih-tatih. Kakek pun kena stroke meski tak seberat nenek. Karena itu, ikatan batin antara kami sangat kuat. Pernah saya berniat untuk kos karena tak ingin merepotkan mereka, tapi karena tak tega melihat wajah tua nenek yang melas, niat itu saya batalkan.

Saya pernah berterus terang kepada kakek dan nenek bahwa saya ingin sekali menikah tahun ini dan telah memiliki calon pendamping. Mereka bertanya siapa calon isteri saya. Saya menjawab bahwa perempuan terkasih itu berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Kami saling mengenal saat pertama bersua di Jawa Pos, tempat saya bekerja sekarang. Mereka tampak ragu. Lalu, nenek berpesan kepada saya agar mencari calon isteri yang baik dan memperhatikan saya.

Nenek mengatakan bahwa dia kasihan terhadap saya. Kerja sore, pulang pagi, dan mengurus keperluan kami bertiga sehari-hari. Nenek bertanya apakah saya akan meninggalkan mereka setelah menikah nanti. Saya tidak segera menjawab. Sejujurnya, justru saya yang iba mendengar hal tersebut.

Saya memeluk tubuh renta itu erat-erat. Keluarga nenek dan kakek saya memang tergolong pas-pasan. Ketika anak-anak mereka tidak tahu tentang keadaan orang tuanya yang mulai sakit-sakitan, saya mengikrarkan dalam hati untuk menjaga kakek dan nenek saya itu. Nenek saya berterus terang bahwa dia takut saya akan meninggalkan mereka setelah menikah. Hati saya tidak diciptakan dari batu, karena itulah saya menahan air mata karena terharu.

Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dia mendengarkan doa saya saat saya ingin memperkenalkan calon pendamping saya kelak kepada nenek dan kakek. Bersamaan dengan kedua orang tua saya yang datang ke Surabaya awal Maret lalu, saya membawa serta calon isteri saya tersebut ke rumah nenek. Saya ingin membuktikan kepada keluarga bahwa saya benar-benar serius menjalin hubungan kasih dengan pujaan hati saya dan sangat mencintainya.

Tentu saja kedatangan saya dan calon pendamping hidup saya membuat terkejut nenek dan kakek saya. Awalnya, saya agak ragu karena perempuan tercinta adalah wanita berjilbab. Pasalnya, keluarga besar saya di Surabaya semuanya penganut Katolik yang taat, Calon isteri saya kemudian mencium tangan dan pipi nenek. Sambutan nenek saya ternyata di luar dugaan. Nenek sangat bahagia dan sering melempar tawa renyah. Belum pernah saya melihat nenek seceria itu. Saya ikut merasakan kebahagiaan tersebut. Alhamdulillah ya Rabbi atas kebahagiaan pada hari itu.

****

Belakangan, nenek kembali jatuh sakit. Strokenya kambuh. Kadang, saya harus segera bangun ketika nenek memanggil nama saya. Saat dia merintih dan meminta bantuan untuk buang air besar, saya benar-benar tak tega. Tubuhnya makin kurus. Sampai-sampai tubuh saya yang juga kurus masih sanggup menggendong beliau sendirian ke kamar mandi.

Pernah karena sudah tak bisa menahan, nenek terpaksa berak di kasur. Nenek berkali-kali meminta maaf kepada saya karena merasa merepotkan saya. "Mboten mbah, mboten nopo-nopo, " jawab saya setengah terisak. Laki-laki segagah apa pun pasti runtuh karena mendengar ucapan nenek saya. Kakek saya sendiri membantu mencuci seprei yang kena kotoran tersebut. Sedangkan saya membersihkan tubuh nenek dan mencuci pakaiannya. Suasana benar-benar senyap, hanya terdengar rintihan nenek yang mengerang kesakitan. Mata saya masih pucat karena kurang tidur. Pagi itu juga, nenek masuk rumah sakit. Saya yang hampir-hampir tak sanggup bekerja pada hari itu sempat tertidur di paviliun 12 RS RKZ Surabaya, tempat mbah putri dirawat.

Meski dijaga oleh anak-anaknya, nenek kadang menanyakan kepada pakde atau bude saya apakah saya sudah makan ketika berangkat ngantor. Subhanallah. Apa yang bisa saya lakukan selain berdoa memohon kesembuhan bagi wanita senja yang sangat saya kasihi tersebut meski kami berbeda keyakinan. Saya merindukan keceriaannya.

****

Dini hari saat pulang kantor, saya tengok sebentar kamar nenek dan kakek. Di meja makan, tak tersedia makanan apa-apa, tak seperti dulu saat nenek masih sehat tiga tahun yang lampau. Urat-urat di tangan saya nampak akrab tanda bahwa tubuh saya tambah kurus. Lapar perut saya tak mengapa, asal nenek dan kakek saya sudah makan. Sayang, mereka tak menyantap makanan orang sehat. Sehingga, untuk sekadar makan nasi pecel saja nenek tak berani memakannya. Tiap hari, hanya tempe dan tahu tanpa garam dengan kecap manis.

Manakala tangan lemahku tak berdaya untuk menengadah, biarlah hati ini bicara tentang permohonan. Wajah tua nenek tercinta, tak lupa kecupan manis kuberi di keningnya yang berkerut saat pulang kerja. Ampuni dosa-dosaku ya Allah. Ampuni dosa kedua orang tuaku...

(eramuslim, 16 April 2008)

Kumandang Azan Sore Itu


Catatan: Eko Prasetyo

Kawasan sekitar Raya Darmo dan Wonokromo sehari-hari memang amat padat. Jika sore, arus lalu lintas tak jarang macet dan tersendat. Jika sore melintas di depan Masjid Al-Falah di Raya Darmo, saya teringat kejadian dua tahun yang lampau. Seorang laki-laki separo baya bertampang lusuh dan menggelar tikar di pinggir trotoar kini tak pernah saya jumpai lagi.

Awalnya, saya menyangka bahwa orang itu adalah gelandangan ataupun pengemis. Sebab, hampir tiap sore saya melihatnya di tempat yang sama. Namun, sore itu, sore yang kesekian saya melihatnya, ada hal yang terus membekas di hati saya hingga sekarang.

Kumandang azan Ashar bergema sayup-sayup dari Masjid Al-Falah. Terdengar indah dan menggugah hati untuk segera menghadap Allah. Kebetulan, saat itu saya membelokkan motor ke masjid tersebut untuk mengikuti salat Ashar berjamaah. Suasana teduh dan basuhan air wudu membuat wajah segar kembali karena cuaca di Surabaya yang amat terik terasa membakar kulit waktu itu.

Usai salat, saya bermaksud kembali ke kantor. Tegukan air mineral terasa segar membasahi kerongkongan yang haus. Cuaca sore itu benar-benar panas. Tak terbayang, jika panasnya surya di dunia saja sudah amat menyengat seperti ini, lantas bagaimana bila manusia sudah berada di Padang Mahsyar saat matahari hanya berjarak satu jengkal di atas kepala? Mahasuci Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya.

Bermaksud menggeber motor bergegas kembali, di seberang trotoar dekat POM bensin, saya tak sengaja melihat laki-laki paro baya yang biasa saya jumpai sedang tegap berdiri. Tetap sama dengan penampilannya yang agak dekil, namun gelaran tikarnya menjadikan orang itu berbeda daripada biasanya.

Entah, terlepas orang tua itu gelandangan atau bukan, namun aksinya saat itu membuat hati saya bergetar kagum. Saya tak menyangka dan tak percaya ketika melihat orang tua itu sedang salat. Detik demi detik berlalu, saya tak lagi berselera mempercepat laju motor saya. Dari kejauhan, saya termangu dan merasa bersalah.

Mungkin, dia miskin. Atau, barangkali dia memang gelandangan karena pakaiannya memang sungguh tak layak untuk dipakai. Tapi, perbuatannya mampu membuat saya tercenung.

Di tengah lalu lalang padatnya arus kendaraan, di tengah padatnya aktivitas kerja, ada hamba Allah yang tak alpa menunaikan kewajibannya, salat. Kadang, dengan alasan sibuk dan menuntaskan pekerjaan, kita lalai dan mengabaikan waktu salat. Dunia serasa mendapat tempat istimewa ketimbang perbuatan yang pertama dihisab di akhirat nanti. Slogan waktu adalah uang terkadang membuat kita lengah dan mau diperbudak oleh dunia. Uang dianggap segala dan dipuja bak dewa.

****

Laki-laki paro baya tadi membawa ingatan ini tak kala saya untuk pertama kalinya mengucap dua kalimat syahadat di Masjid Al-Akbar. Tak banyak saksi saat itu. Nasihat ustad yang membimbing saya bersyahadat untuk tidak meninggalkan salat masih terngiang. Salat adalah tiang agama. Dan orang yang tidak mendirikan salat berarti telah merobohkan tiang agama. Saya sujud sesyukur-syukurnya saat menjadi mualaf saat itu. Ini agama yang paling indah dan ajarannya menyentuh serta menyejukkan hati.

Sejak hidayah itu menyapa lewat mimpi di tiga malam berturut-turut, saya makin mantap untuk memeluk Islam dan menjadi umat Rasulullah. Mendengarkan tausiyah dan belajar salat adalah kenikmatan luar biasa yang saya rasakan dan tak bisa diungkapkan dengan kata.

Sungguh, ketika saya lalai dan mengutamakan pekerjaan ketimbang salat tepat waktu, saya malu pada laki-laki tua tadi. Bahwa Allah SWT tak pernah melihat hamba-Nya dari harta dan fisiknya, tapi ketakwaannya. Bukankah sebaik-baik hamba yang mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa?

Menatap orang tua tersebut berdiri hingga sujud menghadap kiblat membuat hati saya menjadi gerimis. Mungkin, dia tampak rendah di hadapan sesamanya, namun di hadapan Allah belum tentu.

Senja segera menjelang. Saya kembali dengan berpeluh takjub. Tikar kusam tergelar sebagai sajadah. Wajah lusuh dan mungkin saja menahan lapar terpekur bermunajat. Dia hamba Allah, aku pun hamba Allah. Wajahnya yang tak pernah lagi terlihat di sudut trotoar itu tetap terkenang hingga kini. Semoga Allah melindunginya.

Ampuni kekufuran hamba Yaa Rahman, Yaa Rahiim.. Jadikanlah lidahku terbiasa bersyukur dan mengucap ampunan kepada-Mu. Amiin

Graha Pena, April 2008
Mengenang bapak tunawisma di Wonokromo

(tulisan ini dimuat di eramuslim, 27 April 2008)

Langit Nyaris Pecah




Oleh: Eko Prasetyo

”Ada dua kejadian yang membuat langit hampir saja pecah..”


Bumi yang semakin tua terhampar luas sejauh mata memandang. Lalu, langit menaungi tanpa syarat. Seluruh alam bertasbih menurut peredarannya. Semua jadi pertanda kebesaran-Nya. Allah bisa sangat lembut dengan sifat-Nya yang Maha Pemurah. Tapi, Allah pun bisa sangat murka jika hamba-hamba-Nya berbuat kemunkaran di luar batas. Ada dua kejadian yang membuat langit hampir saja pecah.

Pertama, langit nyaris pecah karena manusia menganggap bahwa Allah itu mempunyai anak.

Dalam Alquran, hal itu ditegaskan pada ayat:
"Hampir saja langit pecah dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu) karena mereka menganggap Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak," (QS Maryam: 90-91).

Tidak bisa dibayangkan betapa dahsyatnya murka Allah karena menilai bahwa Allah memiliki anak. Allah yang memiliki sifat mukhalafatu lil hawadits (berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya) disamakan dengan manusia (yang berkembang dengan cara beranak) yang justru diciptakan untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya.

Untuk itu, Allah menegaskan dalam Alquran surat Al-Ikhlash ayat 3-4, ”Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.”

Pada zaman teknologi serbacanggih seperti saat ini, peristiwa yang berkaitan dengan kejadian alam atau apa pun kerap dikaji dengan sebab ilmiah atau logika. Misalnya, musibah tsunami, longsor, banjir bandang, gempa bumi, dan lain-lain. Peristiwa yang disebabkan oleh kejadian alam tersebut selalu dikaji dan dijelaskan dengan alasan-alasan ilmiah. Padahal, selalu ada hal yang tak bisa dijelaskan dengan logika atau akal manusia. Di situlah kebesaran Allah akan semua rahasia dan ketetapan-Nya.

Karena itu, penyamaan Allah dengan makhluk ciptaannya –manusia– merupakan perbuatan yang sangat tercela. Apalagi menganggap bahwa Dia Yang Mahaperkasa mempunyai anak: Allah akan sangat murka.

Kejadian kedua yang membuat langit hampir saja pecah adalah keagungan Allah.

Dijelaskan dalam Alquran surat asy-Syura ayat 5:

"Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Allah) dan malaikat-malaikat bertasbih memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS asy-Syura: 5)

Begitu indah bahasa Alquran menggambarkan kejadian itu. Di mana para malaikat bertasbih memuji kebesaran Allah SWT serta memohonkan ampunan bagi manusia di bumi. Dan kejadian tersebut nyaris membuat langit pecah.

Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar..

Betapa indah dan agungnya Allah. Kekuasaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Sampai-sampai takkala Nabi Musa ingin melihat Allah SWT di Bukit Tursina, lalu Allah menampakkan kebesaran-Nya pada langit, bukit tersebut hancur dan Nabi Musa jatuh pingsan. Langit pun hampir saja pecah karena takjub dan tak mampu melihat kebesaran dan keagungan Ilahi Rabbi. Subhanallah.

Kejadian ini sering luput dari kajian kita. Satu kejadian luar biasa, meski berbeda sebab, yang dapat mengakibatkan langit nyaris pecah.

Mengambil Hikmah

Di antara dua peristiwa yang hampir membuat langit pecah itu, banyak hikmah yang dapat dipetik.

Terkadang, tanpa kita sadari, saat kita berkuasa, kita berperi laku hendak menyamai Allah.

Merasa sebagai atasan, kita memperlakukan bawahan kita sekendaknya. Seolah, atasan adalah pemegang nasib bawahan. Tanda tangan atasan seakan sangat menentukan masa depan bawahannya. Hasilnya, senyum karena kontrak kerja diperpanjang atau muka sedih karena kontrak kerja berakhir.

Bahkan, uang bisa dianggap sebagai dewa dan layak disembah. Dengan uang, orang bisa membeli kekuasaan. Dengan uang, darah seseorang seakan tak ada nilainya. Dengan uang, dunia seolah bisa direngkuh.

Penguasa bisa mengebiri rakyat. Sebab, ini memang sudah jadi tren di negara kita. Politik jadi senjata untuk memperalat rakyat. Yang menentang ”diamankan.” Bahkan, pada era sebelumnya, darah rakyat penentang kekuasaan ”dihalalkan.”

Tak semestinya manusia berbuat menyerupai kekuasaan Allahu azza wa jalla. Bahkan, atas diri sendiri pun, manusia tidak memiliki hak. Allah lah yang sangat berhak berlaku takabur (Al Mutakabbir). Sebab, Dia-lah yang Maha Memiliki Segala Keagungan.

Karena itu, sudah seharusnya kita bersyukur dan merendah memohon ampunan Allah SWT. Tidak sepantasnya seorang hamba itu bangga dengan kekuasaan, uang, ataupun kepandaian. Sebab, semua itu harus dipertanggungjawabkan kelak pada hidup sesudah mati, kehidupan yang kekal: akhirat.

Sedangkan mendengarkan suara petir yang keras saja kita dibuat kaget dan takut, apalagi bila langit itu pecah. Saat kita menertawakan orang lain, saat kita membentak bawahan, saat kita menghukum murid yang bebal, pernahkah terlintas bahwa langit hampir saja pecah karena kesombongan kita. Maka, jangan membuat langit nyaris pecah karena Allah murka jikalau dengan bertasbih memuji keagungan-Nya saja langit nyaris pecah.

Graha Pena, 8 April 2008

Detik-Detik Sakaratul Maut Rasulullah


sumber: unknown

Inilah bukti cinta yang sebenar-benarnya tentang cinta, yang telah dicontohkan Allah SWT melalui kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit mulai menguning di ufuk timur, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya.

Rasulullah dengan suara lemah memberikan kutbah terakhirnya, “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka, taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, Alquran dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku. Dan kelak, orang-orang yang mencintaiku akan masuk surga bersama-sama aku.”
Kutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasul yang tenang menatap sahabatnya satu per satu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya.Usman menghela nafas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Isyarat itu telah datang. Saatnya sudah tiba. Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” keluh hati semua sahabat kala itu.
Manusia tercinta etrsebut hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap Rasulullah yang berkeadaan lemah dan goyah ketika turun dari mimbar. Di saat itu, kalau mampu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu. Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba, dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi, Fatimah tidak mengizinkannya masuk. “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian, dia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah.
“Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku. Orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya tersebut hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara. Dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut,” kata Rasulullah. Fatimah menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut telah datang menghampiri. Rasulullah pun menanyakan kenapa Jibril tidak menyertainya. Kemudian, dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut roh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka. Para malaikat telah menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.
Tapi, semua penjelasan Jibril itu tidak membuat Rasul lega, matanya masih penuh kecemasan dan tanda tanya. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” tanya Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak, sepeninggalanku?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril meyakinkan.
Detik-detik kian dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan-lahan, roh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakitnya, sakaratul maut ini.” Perlahan terdengar desisan suara Rasulullah mengaduh. Fatimah hanya mampu memejamkan matanya. Sementara, Ali yang duduk di sampingnya hanya menundukan kepalanya semakin dalam. Jibril pun memalingkan muka.
“Jijikkah engkau melihatku hingga engkau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril sambil terus berpaling.
Sedetik kemudian terdengar Rasulullah memekik kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku,” pinta Rasul pada Allah.
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali pun segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku. Peliharalah salat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya. Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii, ummatii, ummatiii?” Dan berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran kemuliaan itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi. Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Saat Perut Lapar



catatan: Eko Prasetyo

Entah, kapan kali terakhir saya melihat foto seorang bocah kurus kering sekarat yang di sampingnya ditemani burung bangkai. Foto yang pernah menjadi salah satu foto terbaik dunia itu diambil di salah satu negara Afrika. Sang fotografer begitu jitu membelalakkan mata dunia lewat foto tersebut. Beberapa waktu kemudian, sang fotografer mengalami depresi berat dan bunuh diri setelah mengambil gambar itu.

Pesan sosial dalam foto tersebut begitu dalam. Burung bangkai di samping bocah itu bagai malaikat maut yang siap mencabik-cabik tubuh sekarat tersebut. Menggetarkan. Betapa di sudut dunia yang semakin renta ini, lapar bisa menjadi pembunuh. Bukan salah Tuhan membuat takdir. Bukan salah pemimpin yang lalai. Bukan salah kita yang terkadang masih acuh. Bukan salah siapa. Sebab, menyalahkan adalah sikap yang menertawai kekerdilan sendiri.

Di Indonesia, kasus balita busung lapar dan bayi kurang gizi mencapai angka yang mengkhawatirkan. Sekitar 25 persen penderita di antaranya meninggal. Ramainya bursa kampanye untuk pemilihan kepala daerah, bahkan kampanye tersembunyi pemilihan presiden yang masih jauh pada 2009, telah menghabiskan uang miliaran rupiah. Tujuan utamanya: mencari dukungan! Seperti yang sudah-sudah, pergantian kepemimpinan bak aroma sedap malam yang harumnya mudah hilang dalam sekejab.

Menjadi pemimpin adalah tugas mulia. Namun, jika ada pemimpin yang tidak tahu terdapat 20.000 lebih balita meninggal di antara 210 juta lebih rakyatnya, ini sangat ironis. Jumlah itu bukan angka kematian yang disebabkan penyakit umum, tapi lapar. Ya, rakyat lapar!

Andai ada pemimpin yang tulus menengok langsung wajah-wajah lesu tanpa gairah karena lapar di Wamena, Kupang, Ponorogo, Kendari, Sampang, Boyolali, atau di mana pun di area kekuasaannya. Tanpa jas, tanpa dasi, tanpa basa-basi. Tanpa omong kosong tentang birokrasi kompleks. Satu bangsa, sakit satu anggota badan, terasa di seluruh tubuh. Mereka butuh makanan, bukan janji kesejahteraan. Orang lapar hanya terpikir satu kata: makan.

Manakala satu kaki saya tak mampu menyangga badan untuk menunaikan salat Jumat kala itu, merebah menghadap kiblat mengucap syukur dalam empat rakaat zuhur ini. Teringat, bayi perempuan berusia empat bulan di sebuah kampung di Nginden, Surabaya, yang menderita hydrocepallus. Bantuan duafa dari sebuah lembaga amil untuk keluarga bayi tersebut menggerakkan nurani saya. Saya yang tidak punya apa-apa akhirnya menjual ponsel lawas saya karena keinginan untuk melihat bayi cantik tersebut bisa survive. Meski, uang tersebut tak ada artinya buat biaya pengobatannya. Saat menggendongnya, keharuan membuncah kala teringat pada foto bocah malang di Afrika tersebut. Bahagia sekali melihat ibu dari bayi itu tersenyum dan memeluk tubuh saya.

Cat: Nama fotografer itu Kevin Carter, fotografer Reuters. Foto tersebut dimuat di New York Times pada 1994. Carter memenangi Pulitzer untuk foto berita terbaik tahun
itu.

Surabaya, November 2007